Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Metode ’Killing Mud Softly’

Pekan depan, 4.000 bola semen seberat 400 ton dicemplungkan ke pusat semburan lumpur Lapindo. Bakal mengurangi semburan hingga 70 persen.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika digambarkan dalam sebuah adegan film, maka 12 desa yang terendam di dalam lumpur Lapindo itu akan terlihat sebagai sebuah adegan artistik sekaligus horor abad ini. Saat ini volume total lumpur yang menyembur sejak 29 Mei diperkirakan sudah mencapai 10 juta meter kubik. Dua belas desa di tiga kecamatan sudah tergenang. Setiap hari sumur itu mengeluarkan 126 ribu meter kubik lumpur.

Dalam diskusi ilmiah Semburan Lumpur Porong, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, awal Desember lalu, Nurhadi, salah satu warga yang jadi korban, mengkritik dua teknologi snubbing unit dan relief well yang gagal mematikan semburan lumpur Lapindo. Tapi, Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo belum menyerah.

Pekan depan tim nasional bentukan Presiden Yudhoyono itu akan menjajal metode lain: menyumbat lubang sumur dengan 4.000 bola semen. Penanaman beton pertama rencananya akan dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Peluang suksesnya?

Maaf, teknik buatan Kelompok Keahlian Fisika Sistem Kompleks Institut Teknologi Bandung (ITB) ini belum memiliki catatan prestasi. ”Metode ini belum pernah diterapkan di dunia,” ujar Indroyono Soesilo, Ketua Kelompok Pakar Tim Nasional. Namun, dia menekankan, metode ini tidak dimaksudkan untuk menghentikan semburan lumpur, tapi mengurangi debitnya sampai 70 persen.

Ketua Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan menyatakan, mengurangi debit lumpur tak kalah penting dibanding menghentikan semburan lumpur. Jika berhasil, ancaman jebolnya tanggul penahan lumpur bakal berkurang.

Menurut Indro, ada dua alasan me-ngapa teknologi bola beton dipilih. Pertama, pembuatannya mudah dan bisa segera dilaksanakan. Kedua, metode ini lebih murah dibandingkan dengan teknologi lainnya.

Sumur penyelamat, misalnya, membutuhkan biaya US$ 90 ribu per hari atau Rp 24,6 miliar per bulan. Teknologi selubung payung yang ditawarkan ahli Rusia, Pavel V. Korol, juga kelewat mahal. ”Mereka minta uang muka US$ 5 juta atau Rp 45,5 miliar,” kata Indro.

Sementara itu, untuk membuat 4.000 bola beton cuma dibutuhkan Rp 1,6 miliar. ”Kami masih menawar harga yang lebih rendah,” ujar Basuki Hadimuljono, Ketua Tim Nasional. Ongkos mencemplungkan bola itu, yang akan dibundel menjadi 1.000 set, juga tidak mahal.

Adalah Umar Fauzi, Satria Bijaksana, dan Bagus Endar Nurhandoko yang menggagas metode ini. Ketiganya pakar pada Kelompok Keahlian Fisika Sistem Kompleks ITB. Umar lulusan program doktor fisika batuan dari Universitas Cologne, Jerman. Satria adalah doktor dari Memorial University of New Foundland, Kanada, dalam sistem magnetik material, sedangkan Bagus Endar Nurhandoko adalah doktor lulusan Universitas Kyoto, Jepang, yang sedang mempelajari sifat material batuan akibat pengaruh aliran fluida, terutama yang terjadi di lapisan sub-surface.

Ketiga ahli ini yakin bola-bola beton akan memperkecil volume semburan lumpur. Ini akibat berkurangnya luas saluran sumur. Kinerja bola beton kian efektif karena sifat lumpur yang kental dan bentuknya yang berupa suspensi.

Bola itu tak cuma berperan menyumbat lumpur. Strukturnya, ujar Satria, akan menjadi penopang lubang semburan sehingga tidak runtuh mendadak. Bola juga akan meredam energi semburan sehingga daya rusak semburan berkurang. ”Dengan seribu bola yang dijebloskan, pengurangan energi semburan lumpur menjadi signifikan,” ujarnya.

Menurut Umar, energi semburan lumpur teredam karena lumpur harus berbelok-belok melintasi celah-celah bola saat naik ke permukaan. Usaha keras ini akan membuat lumpur itu kelelahan. ”Lumpur boleh lewat, tapi megap-megap,” katanya.

Tiga sekawan ini telah menguji efektivitas bola-bola beton itu di laboratorium. ”Penggunaan 300 bola saja bisa meredam aliran sampai 80 persen,” ujar Umar.

Meskipun uji coba di laboratorium berjalan mulus, ketiganya mengaku harus berhati-hati menerapkan metode ini. Tahapan krusial terletak pada saat pertama kali memasukkan bola beton. Mereka tidak ingin terjadi perubahan kekentalan (viskositas) lumpur sehingga menjadi lebih cair.

Karena itu, bola beton akan dimasukkan secara bertahap: 25 sampai 100 set per hari. Untuk memantau perubahan yang terjadi di dalam sumur, trio ini menyiapkan sistem sensor khusus (lihat infografik). Bagaimana jika lumpur malah menggerus dinding sumur?

”Ini malah menguntungkan,” kata Bagus. Tergerusnya pinggiran sumur membuat bola melesak makin ke dalam. Lama-kelamaan bola itu akan menyumbat mata lumpur. Akhirnya, semburan lumpur mungkin mati. ”Soundtrack metode ini adalah Killing Mud Softly,” ujar Bagus. Ia membuat pelesetan lagu lawas berjudul Killing Me Softly. Mudah-mudahan semburan lumpur itu bisa benar-benar dibunuh.

Untung Widyanto, Ahmad Fikri (Bandung) dan Rohman Taufiq (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus