Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam desa di Langkat tenggelam ditelan banjir. Pada penghujung akhir tahun silam, utara Pulau Sumatera menyedot perhatian karena banjir di Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Akibat banjir itu, selain enam desa di Langkat, ada 36 desa di Aceh Tamiang yang terisolasi.
Musibah itu memang tak diduga. Prakiraan curah hujan yang dikeluarkan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bulan Desember memang tak menyebut kawasan itu bakal didera hujan lebat dan banjir bandang. Sebetulnya prakiraan hujan per tiga hari mampu memprediksi, namun sosialisasi rawan bencana belum terlaksana dengan baik.
Karena itu, memasuki awal tahun 2007, masyarakat harus waspada. Dalam prakiraan curah hujan BMG bulan Januari dan Februari, yang merupakan puncak musim hujan, kemungkinan curah hujan normal dengan intensitas 200-400 mm akan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Deputi Bidang Sistem Data dan Informasi BMG, Prih Harjadi, menuturkan intensitas hujan di wilayah Sumatera Utara dan NAD diramalkan akan berada di atas normal. Hasil pemantauan BMG lewat satelit menengarai, kondisi kawasan Lautan Hindia, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan masih mengkhawatirkan karena mereka memprediksi akan terjadi hujan lebat.
Wilayah Indonesia Barat, tepatnya di sekitar Bogor, Jawa Barat bagian timur, Jawa Tengah, sebagian Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua bagian tengah, juga akan kebagian curah hujan yang tinggi. BMG memperkirakan daerah-daerah tersebut akan mendapat curah hujan lebih banyak dari musim hujan sebelumnya. ”Sekitar 300 sampai 400 milimeter per bulan,” kata Prih.
Untuk sebagian wilayah Bengkulu, sebagian Lampung, sebagian Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur, diprediksi bakal mengalami curah hujan di bawah normal, yakni <100 mm per bulan. Kondisi ini juga diramalkan terjadi pada Maret di wilayah Jawa Barat bagian selatan, sekitar Cirebon, sebagian Jawa Tengah bagian tengah, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Utara, dan Papua bagian tengah.
Menurut analis iklim dari lembaga lingkungan nirlaba CIFOR (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional), Heru Santoso, meningkatnya jumlah titik hujan ini disebabkan oleh faktor perubahan iklim global karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Perubahan ini mendorong iklim menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan suhu, perubahan pola tutupan awan dan pola angin. Salah satu imbasnya adalah, perubahan pola musim iklim di beberapa wilayah sehingga musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Pola ini pun memberi peluang terjadi hujan lebih banyak di daerah kering, atau sebaliknya.
Walau intensitas hujan cukup tinggi, tak berarti semua wilayah akan terendam banjir. Menurut Kepala Bidang Informasi Meteorologi BMG, Endro Santoso, curah hujan bulanan bukan faktor utama penyebab banjir. Musibah banjir dapat diprediksi lewat prakiraan curah hujan harian dan kondisi daya dukung lahan. ”Tergantung sistem resapan tanah dan aliran airnya,” ujar dia.
Dari prakiraan curah hujan harian BMG, maka kuantitas hujan yang turun setiap hari akan memberi indikasi akan terjadinya bencana banjir. Sampai saat ini BMG telah memprediksi beberapa daerah rawan banjir, di antaranya Padang, Sungai Liat, Cilegon, Indramayu, DKI Jakarta, Kendal, Gresik, Jember, Pontianak, dan Makassar (lihat infografik).
Tak cuma banjir, ”Bahaya longsor pun mengintai saat hujan,” kata Kepala Seksi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi DESDM, Gatot M. Sudrajat. Berdasar peta prakiraan wilayah potensi gerakan tanah yang dikeluarkan PVMBG, bisa terjadi bencana longsor yang mengintai di 11 provinsi pada awal tahun ini (lihat infografik).
Selain faktor curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan turun, topografi yang berbukit pun menjadi penyebab utama longsor. Menurut peneliti dari Pusat Geoteknologi LIPI Bandung, Adrin Tohari, air hujan yang masuk ke rongga tanah di lereng gunung semakin besar dan membuat tanah kehilangan kekuatannya. Lamanya waktu hujan turun pun berpengaruh pada jenis tanah yang digempur.
Sepanjang tahun 1990-2005, Indonesia mengalami 1.031 kali tanah longsor dengan rata-rata 30 kejadian setiap tahun. ”Namun, di beberapa daerah, tingkat kejadiannya meningkat,” ujar Adrin. Daerah yang mengalami peningkatan itu biasanya berkontur alias berupa perbukitan terjal akibat proses tektonik maupun vulkanik masa lampau dan memiliki kemiringan lebih dari 15 derajat.
Untuk mengantisipasi bahaya di bulan basah ini, pemerintah dapat memberi perhatian lebih pada daerah yang berpotensi curah hujan tinggi, daerah rawan banjir, dan kawasan rawan longsor. ”Pemerintah dapat memberi peringatan dini di mana dan kapan tanah longsor akan terjadi,” ujar Adri.
Pemerintah pun sebaiknya menggalakkan kegiatan reboisasi dan perbaikan saluran air. Masyarakat juga bisa mengantisipasi bahaya ini dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat mendatangkan banjir, seperti tidak membuang sampah di daerah aliran sungai atau membangun rumah di sepanjang bantaran sungai.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah beradaptasi dengan kondisi iklim yang baru. ”Inilah salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim,” kata Heru.
D.A. Candraningrum, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo