Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kau tau rayap-rayap makin banyak di mana-mana
Di balik baju resmi merongrong tiang negara
Kau tau babi-babi makin gemuk di negeri kita
Mereka dengan tenang memakan kota dan desa
Rayap-rayap yang ganas merayap
Berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat
(Mogi Darusman, Rayap-Rayap, 1978)
Nama Mogi Darusman barangkali tak dikenal oleh generasi sekarang, yang tentu lebih mengenal Iwan Fals sebagai ”pengusung” lagu-lagu rock bertema protes sosial-politik pada dekade 1970. Tapi apa yang ditulis Mogi, khususnya yang terdapat dalam album Aje Gile (1978) sebagaimana dikutip di atas, tergolong sangat keras, straightforward, dan berani untuk masa itu—masa ketika cengkeraman rezim Soeharto masih sangat kuat. Yang menarik, apa yang diteriakkan Mogi 25 tahun silam—juga lagu-lagu Koruptor dan Aje Gile—masih sangat relevan menggambarkan Indonesia masa kini.
Di Indonesia, Mogi jelas bukan yang memelopori munculnya tema-tema protes sosial-politik dalam lirik rock era 1970—aliran musik yang sering disebut wartawan Kompas Budiarto Shambazy sebagai lagu-lagu rock yang ”abadi” (klasik). Sebelum Mogi, ada Remy Sylado, Harry Roesli, Leo Kristi, dan Gombloh & Lemon Trees. Seperti Mogi, Remy dan Harry lantang dalam mengecam ”budaya korupsi” di era Soeharto. Perhatikan lirik-lirik Remy dalam album Orexas (Organisasi Sex Bebas), Folk Rock, Nyanyian Khalayak, dan Bromocorah, atau Philosophy Gang dan Ken Arok milik Harry pada pertengahan 1970-an.
Dalam Bromocorah, Remy mempertanyakan apa bedanya bromocorah (garong) dan koruptor, jika sama-sama mendapatkan harta secara haram. Bromocorah dihukum, sementara koruptor justru dibiarkan berkeliaran. Inilah realitas Indonesia yang oleh Remy digambarkan sebagai ”negeri elok yang banyak cukongnya”. Sedangkan dalam lagu Peacock Dog (album Philosophy Gang, 1973), Harry menggambarkan Indonesia sebagai negara berwajah ganda: antara ”merak yang indah” dan ”anjing yang menyebalkan”. Kritik Harry terhadap rezim Soeharto sangat telak dalam Ken Arok (1977). Soal merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga diangkat oleh Barong’s Band (Eros Djarot dkk.) dan Keenan Nasution (Di Batas Angan-Angan, 1977).
Korupsi bukan satu-satunya problematika politik yang diangkat para musikus dasawarsa 1970 (lihat Denny Sakrie, Napak Tilas Anak Muda 1970-an, Kompas, 29 April 2002). Masalah Timor Timur pun tak luput dari perhatian mereka. Perhatikan lirik Leo Kristi dalam album Nyanyian Tanah Merdeka, Nyanyian Malam, dan Nyanyian Cinta. Leo memang tidak seperti Mogi, Remy, atau Harry, yang cenderung blak-blakan dalam mengkritik penguasa. Ia, misalnya, lebih menyoroti penderitaan korban perang Timor Timur: ”… Tubuh-tubuh terbujur kaku/Di antara altar dan bangku-bangku/Rumput sabana jadi merah/Ternak-ternak pun musnah/Saudara telah tiada/Entah di mana mereka…”.
Protes dan kritik sosial-politik merupakan bagian integral dalam classic rock. Ini tentu tak lepas dari setting sosial-politik waktu itu yang didominasi aroma Perang Dingin antara Timur dan Barat, seperti Perang Vietnam serta mewabahnya apa yang dikenal sebagai flower generation. The Beatles sebagai pelopor aliran musik ini, misalnya, sejak 1967—yang dianggap sebagai tonggak lahirnya classic rock—sangat keras dalam menyuarakan protes dan kritik terhadap kondisi sosial-politik, baik domestik maupun internasional. Kendati dalam Taxman (1966), Beatles sudah mulai melancarkan kritik terhadap para petugas pajak Inggris, sikap anti-kemapanan mereka semakin ”menjadi-jadi” dalam Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967) hingga Let It Be (1970).
Ketika Amerika Serikat dan para sekutu Baratnya gencar menempatkan komunisme Uni Soviet dan RRC sebagai ”musuh umat manusia”, John Lennon dan kawan-kawan justru dengan sinis ”mengajak kembali ke Uni Soviet” karena di Moskwa banyak gadis menawan (Back in the USSR). Beatles juga memanggil ketua Partai Komunis Cina waktu itu dengan sebutan Chairman Mao, dan karenanya ”we all want to change the world” (Revolution 1, 1968). Setelah Beatles bubar (1970), Lennon yang pindah ke Amerika tetap lantang meneriakkan slogan anti-kemapanan. Tidak mengherankan jika pada 1971 FBI pernah berniat mengusir Lennon dari Amerika, karena dikhawatirkan dapat menghalangi terpilihnya kembali Presiden Richard Nixon.
Pada era 1970, selain Beatles, di tingkat dunia tentu banyak nama lain seperti Bob Dylan, Pink Floyd, Joan Baez, Genesis, dan Sex Pistols, yang juga mengusung tema protes sosial-politik dalam musik mereka, terutama dalam memprotes perang di Vietnam. Tapi, seperti dikatakan Shambazy, jika tak ada Beatles, yang disebut classic rock pun tak akan pernah ada. Beatles tak cuma memelopori munculnya kritik politik dalam musik rock, melainkan juga menjadi panutan dalam hal sikap dan gaya hidup flower generation (rambut gondrong, celana jins ketat, sepatu hak tinggi, rok mini, seks bebas, ganja) yang cenderung menentang segala bentuk kemapanan.
Jika saat ini classic rock makin digandrungi bahkan oleh generasi yang lebih muda, bisa jadi—selain faktor nostalgia—karena pengaruh situasi politik, baik domestik maupun internasional, yang makin tak menentu, sementara aspirasi mereka ”tak terwakili” oleh musik masa kini. Classic rock, seperti namanya, memang akan tetap ”abadi” sebagaimana jenis musik klasik lainnya. Namun, apakah kritik-kritiknya mampu mempengaruhi terjadinya perubahan sosial-politik, tampaknya belum tentu. Bahkan Beatles saja tak mampu mempe-ngaruhi terjadinya perubahan sosial-politik. Apalagi di negara yang dikuasai para elite politik yang sudah kebal dan bebal terhadap berbagai macam kritik.
Riza Sihbudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo