Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan ING Aetna
Kami tidak dapat memahami maksud tulisan TEMPO di Rubrik Ekonomi dan Bisnis yang berjudul Mereka Buru-buru Hengkang, pada edisi 21 September 2003, halaman 140.
Kami sangat menghargai upaya TEMPO berusaha mengkorfimasi kabar bahwa Manulife akan mengakuisisi ING Aetna. Berdasarkan tulisan TEMPO, tampaknya TEMPO juga telah mendapat tanggapan yang cukup jelas dari ING Aetna bahwa tidak ada rencana akuisisi terhadap perusahaan kami.
Namun, TEMPO tetap berspekulasi dengan mengatakan, ”Jika jadi mundur, ING Aetna akan menjadi ....”. Spekulasi ini sangat kami sayangkan, dan telah disangkal dalam pemberitaan di beberapa media massa yang menyatakan bahwa perusahaan yang diakuisisi ternyata adalah perusahaan asuransi lain dan bukan ING Aetna.
TEMPO juga menyebutkan bahwa ING Aetna belum mau terbuka dan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan TEMPO. Hal ini tidak benar. Kami telah menjawab semua pertanyaan TEMPO melalui e-mail pada Jumat, 12 September 2003, pukul 17.21 WIB. Reporter TEMPO telah mengkonfirmasi bahwa dia menerima e-mail tersebut dan kami juga telah melakukan beberapa pembicaraan telepon dengan yang bersangkutan.
Sangat disayangkan bahwa pemberitaan yang tidak sesuai dengan kaidah jurnalisme yang bertanggung jawab ini telah menyebabkan ketidakpastian di masyarakat dan mengakibatkan munculnya keraguan atas keberadaan kami di Indonesia. ING telah cukup lama beroperasi di Indonesia, dan kami memiliki komitmen jangka panjang untuk tetap berbisnis di Indonesia.
BRAM BOON
President Director PT ING Aetna Life Indonesia
Studi Kasus Jalan Tol
Salah satu bentuk kebodohan intra-sektoral dalam penyusunan kebijakan infrastruktur publik adalah studi kasus jalan tol Bumi Serpong Damai (BSD)-Bintaro-JORR (Ulujami-Veteran-Pondok Pinang).
Bawaan lahir bangsa kita yang mengakar di setiap lini kehidupan, yaitu selalu melihat masalah secara sepotong-potong (shortsighted) dan tidak terbiasa menganalisis dalam suatu gambaran utuh, berdampak pada pengambilan keputusan publik yang hanya menyelesaikan permasalahan dari satu sisi saja.
Dengan asumsi memperlancar akses dari BSD ke Jakarta melalui Bintaro sebagai bagian dari integrated JORR (Jakarta Outer Ring Road), pihak developer membuka jalan tol BSD-Bintaro tanpa memperhitungkan beban jalan dan daya tampung wilayah Bintaro dan sebagian Jakarta Selatan (kawasan Deplu, Veteran, Tanah Kusir, dan sekitarnya).
Akibatnya, setiap hari warga Bintaro dan sekitarnya mendapat banjir kiriman berupa ribuan kendaraan yang datang dari wilayah Serpong, BSD, Pamulang, dan sekitarnya yang berebut akses masuk ke Jakarta untuk sama-sama menderita sebelum memulai hari barunya.
Apabila jalan tol BSD-Bintaro tersebut dibuka bersamaan dengan selesainya JORR seksi W2 (Ulujami-Veteran-Pondok Pinang), tentu keadaannya akan lain. Beban yang diderita tentu akan berkurang dengan pengalihan sebagian arus lalu-lintas melalui jalan tol.
Bayangkan berapa banyak inefisiensi yang terbentuk dari kebodohan tersebut, berapa opportunity cost dari dua jam waktu terbuang percuma hanya untuk saling berkutat memperebutkan akses ke pusat kota, ditambah kerugian psikis akibat stres berkepanjangan. Belum lagi menjamurnya ”jalan tol rakyat”, tempat warga menarik iuran untuk melewati jalan lingkungan dengan tarif yang lebih mahal dari tol resmi.
Jasa Marga, yang dari awal begitu bernafsu mengambil alih proyek JORR, seharusnya lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan tersebut. Jangan lagi terbawa melihat permasalahan secara parsial. Alasan klise soal harga pembebasan tanah, yang tentunya sudah tercakup dalam perhitungan nilai proyek, sudah bukan lagi komoditas yang dapat dijual ke publik.
Kita tidak perlu mendengar pernyataan juru bicara atau Direktur Utama Jasa Marga mengenai perubahan jadwal yang terus diundur-undur. Yang harus dilakukan oleh Jasa Marga sebagai bagian dari komitmennya adalah penyelesaian JORR seksi tersebut tepat waktu. Kalau tidak, tutup saja sekalian jalan tol BSD-Bintaro agar kita sama-sama back to square one tetapi tidak ada pihak yang saling lempar tanggung jawab.
Atau, mungkin Dirut Jasa Marga ingin lebih ”memahami” persoalan dengan ikut bersama-sama warga Bintaro untuk stres setiap hari dan terkena stroke sama-sama?
DODI REZA ALEX
River Park GF2/19
Bintaro Jaya
Impor Tepung Terigu
Adanya 857 kontainer tepung terigu impor yang tertahan di seluruh pelabuhan di Indonesia membuktikan bahwa persoalan impor tepung terigu patut dicermati semua pihak. Apalagi ada sekitar 376 kontainer yang masih dalam perjalanan memasuki wilayah Indonesia.
Di Surabaya, misalnya, ada 3.217 ton tepung terigu ilegal yang siap dimusnahkan atau direekspor. Sebanyak 214 kontainer tepung ilegal tersebut sudah sebulan berada di Kantor Wilayah VII Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) Tanjung Perak, Surabaya. Alasan untuk mengekspor kembali atau dimusnahkan adalah karena surat pendaftaran barang (SPB) tepung itu sudah berakhir 25 Agustus 2003, sementara terigu tersebut belum juga diurus importirnya.
Perlu diketahui, berdasarkan Surat Edaran Bea dan Cukai No. SE-20/BC/2003 tertanggal 19 Juni 2003 tentang impor produk pangan dalam kemasan, terutama yang tidak berdasarkan SNI (standar nasional Indonesia), diwajibkan kepada importir tepung terigu untuk melampirkan SPB. Surat edaran itu sebagai pelengkap SK Menperindag No. 573/MPP/Kep/II/2002 tentang SNI Wajib Tepung Terigu.
Surat edaran itu memberi waktu 30 hari kepada para importir untuk melengkapi SPB. Bila lewat waktu yang ditentukan, sanksinya tepung terigu akan direekspor atau dimusnahkan.
Permasalahan impor tepung terigu ternyata berkaitan erat dengan komitmen pemerintah untuk melindungi konsumen dari tindakan importir tepung terigu yang tidak mempedulikan ketentuan baku dari pemerintah bahwa setiap produk pangan impor haruslah mempunyai sertifikat SNI. Khusus SNI tepung terigu, harus dilakukan fortifikasi (penambahan unsur vitamin) terhadap produk tepung terigu.
Konsorsium untuk Transparansi Informasi Publik (KUTIP) meminta pemerintah agar memperketat konsekuensi dispensasi di pintu laboratorium uji tahap II demi menjamin bahwa tepung terigu itu layak dikonsumsi masyarakat. Jangan sampai pedagang kecil yang memakai bahan baku dari tepung terigu dan konsumen dirugikan, baik karena mutu penganan yang buruk maupun lantaran kesehatan yang terganggu karena tidak melewati uji SNI.
Diharapkan kepada semua pihak yang menjadi importir, khususnya yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Industri Pangan Indonesia (ASPIRIN), agar dapat membantu komitmen pemerintah dalam menjaga kesehatan dan gizi masyarakat.
HANS SUTA WIDHA
Jalan Mangga 52A
Matraman, Jakarta Timur
Tanggapan Markas Besar TNI-AL
Sehubungan dengan pemuatan berita di Majalah TEMPO edisi 15-21 September 2003, halaman 11, dengan judul Mau Beli Kapal Perang? Silakan Saja, yang memuat hasil jajak pendapat publik, perlu kiranya kami memberikan tanggapan sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya pihak TNI Angkatan Laut menyambut baik upaya-upaya yang dilakukan oleh Tempo Interaktif untuk mengetahui sejauh mana pendapat sebagian masyarakat terhadap upaya pemerintah daerah.
Namun, penggunaan istilah ”kapal perang” dalam artikel tersebut sangat tidak tepat karena yang sebenarnya dimaksud adalah ”kapal patroli terbatas jenis KAL (kapal Angkatan Laut)”. Soal ini pernah dijelaskan oleh Kepala Staf TNI-AL, Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh, dalam berbagai kesempatan, termasuk pada saat wawancara Kasal dengan Sdr. L. Baskoro dan Sdri. Agriceli Harlindawati dari Tempo News Room pada 4 September 2003.
Dengan demikian, mohon kepada redaksi Majalah TEMPO dan jajarannya agar menyimak kembali apa yang telah dijelaskan oleh Kasal tersebut, agar hal ini tidak menimbulkan hal kontra-produktif terhadap upaya pemahaman publik yang benar mengenai hal ini ataupun menimbulkan polemik baru yang akan semakin membiaskan pokok persoalan yang sebenarnya. Untuk itu, besar harapan kami agar Majalah TEMPO berkenan meralat pemberitaan tersebut.
ADIYAMANA SAPUTRA, S.I.P.
Laksamana Pertama TNI
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut
—Terima kasih atas koreksi Anda.
Pahami Keadaan Kami, Baru Berpendapat
Saya ingin menanggapi tulisan TEMPO edisi 14 September 2003, berjudul Biar Panglima Tahu..., agar konflik di Aceh cepat selesai.
Kalau ada orang dari luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) datang ke kota-kota besar di Aceh saat ini, pasti tidak akan percaya bahwa provinsi ini sudah sepenuhnya aman. Padahal, kini banyak orang yang berada di luar rumah sampai hampir tengah malam sambil ngobrol-ngobrol atau sekadar minum di kedai kopi. Keadaan ini jauh berbeda dengan situasi beberapa bulan sebelumnya, atau pada saat sebelum Aceh dijadikan daerah darurat militer. Pada saat itu situasi selepas magrib sangat sepi, bahkan cenderung mencekam.
Sebagai salah seorang penduduk di wilayah Aceh, saya berpendapat bahwa keadaan saat ini jauh lebih menyenangkan daripada sebelum adanya darurat militer di Aceh. Paling tidak, saat ini saya berani pulang ke rumah sepulang kerja, walaupun hari sudah malam. Saya yakin bahwa apa yang saya rasakan saat ini juga dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Aceh, kecuali anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentunya.
Namun, akhir-akhir ini saya perhatikan sudah timbul lagi keresahan dalam masyarakat Aceh, terlebih-lebih para pegawai negeri. Hal ini berkaitan dengan hampir berakhirnya masa darurat militer selama enam bulan. Kami berpikir dan merasa bahwa, apabila darurat militer dicabut, GAM yang saat ini terkesan menyembunyikan diri akan keluar lagi tanduknya dan akan mengacaukan situasi lagi seperti waktu-waktu yang lalu. Ancaman yang terbesar dari GAM tampaknya dialamatkan kepada para pegawai negeri di Aceh. Selama ini kami terus-menerus menerima teror dari GAM, apalagi dengan adanya upacara dan perayaan hari ulang tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Sumpah Kesetiaan terhadap NKRI.
Selama ini kami terpaksa mendua karena demi keselamatan kami, terutama putra-putri kami. Setelah kami berusaha memberanikan diri bersikap terang-terangan membela NKRI, ada beberapa pejabat dan organisasi yang menginginkan agar darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam segera dihentikan. Ini sama saja dengan upaya membumihanguskan Aceh dan termasuk membunuh kami, penduduk Aceh yang masih berhati Merah Putih.
Pada Majalah TEMPO 14 September 2003, dalam artikel Biar Panglima Tahu …, dituliskan bagaimana minimnya pendapatan para pedagang beras di Pasar Kampung Baru, Banda Aceh, yang berdampak pula pada minimnya jumlah setoran pajak pendapatan. Setahu saya, belum pernah ada perang yang menguntungkan. Dalam setiap peperangan, pasti ada korban jiwa dan kerugian baik materiil maupun imateriil. Naif sekali rasanya kalau hanya karena pendapatan beberapa orang dan pemasukan pajak berkurang kemudian memutuskan menghentikan status darurat militer. Dengan kata lain, usulan seperti itu tampaknya tidak memperhatikan keselamatan dan nasib orang-orang yang lebih banyak, dan juga tidak memperhatikan keutuhan dan persatuan di negara yang kita cintai ini.
Pada saat Sipadan dan Ligitan lepas dari tangan Indonesia, banyak sekali pihak yang mencela pemerintah, yang dituduh tidak serius mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu, mengapa sekarang, pada saat pemerintah dan aparat terkait berusaha mempertahankan keutuhan negara ini, ada lagi orang yang mencela dengan alasan yang sangat naif sekali?
Melalui surat ini saya mengimbau kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air agar memahami dulu keadaan di Aceh yang sebenarnya secara gestalt, baru kemudian berbicara atau berpendapat. Janganlah kepentingan pribadi atau kelompok tertentu kemudian mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
DRS. YUSRIL
Desa Keude Geudong, Aceh Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo