Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA tentang mereka seperti cerita dari dunia lain. Dengan dana yang ketat dan penghargaan yang minim, para peneliti di perguruan tinggi itu bertahan di dalam dunianya yang seakan tak tersentuh dari kemegahan perguruan tinggi negeri dewasa ini.
Ada dedikasi seorang Hajrial Aswidinnoor yang seakan tidak berujung. Pakar pemuliaan padi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah delapan tahun mencari padi tipe baru bermalai lebat-minimal dengan jumlah bulir padi di atas 250 biji per tangkai-ini merasa bahwa waktu yang ia habiskan untuk risetnya masih kurang. "Delapan tahun itu baru waktu minimal dalam riset padi tipe baru," kata laki-laki berpenampilan sederhana ini.
Ada keuletan Soeprapto Ma'at, dokter dan apoteker dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, yang akhirnya berhasil menguak rahasia jambu biji. Menurut Soeprapto, yang berguna meningkatkan trombosit bagi pasien demam berdarah adalah daunnya, bukan buahnya. Selama lima tahun, ia meneliti, membedah kandungan daun jambu, serta mengujicobakan kepada para pasien. Belum ada ekstrak jambu klutuk temuannya yang bisa diproduksi massal saat ini. Tapi, dari pengakuannya, kita bisa menangkap rasa bangga dan militansi untuk bertahan di dunia penelitian.
Lalu Zullies Ekawati. Perempuan 41 tahun yang bergelar profesor farmakologi dan farmasi klinik Universitas Gadjah Mada itu telah menunjukkan betapa kayanya tanaman obat di negeri ini. Meski ia harus mengakui bahwa Indonesia masih kalah dengan Cina dalam hal pengolahan.
Tentu masih banyak lagi peneliti yang-di samping keuletan dan kreativitasnya dalam meneliti yang acap mencengangkan-namanya tak pernah muncul di surat kabar. Semua jerih payah ini akan berbuah menjadi kegembiraan jika hasil penelitian mereka dicatat dalam jurnal atau publikasi ilmiah, apalagi yang berstandar internasional. Ya, kegembiraan yang sederhana tapi sangat berguna buat masyarakat di sekitar dan amat berperan mendongkrak kinerja, prestise, dan kelas perguruan tinggi.
"Mereka itu kesepian. Apa yang mereka lakukan, mimpi mereka, suka-duka dalam meneliti, sering kurang diperhatikan universitas," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal.
Harus diakui, penelitian bukanlah jalur favorit seseorang masuk ke perguruan tinggi. Itulah yang menjelaskan mengapa jurusan ilmu murni-matematika, ilmu pengetahuan alam-tak begitu populer di antara calon mahasiswa dan orang tua. Jauh dari permintaan pasar dan bayangan gaji besar.
Riset yang dilakukan Pusat Data dan Analisa Tempo baru-baru ini menunjukkan bahwa responden cenderung memilih jurusan yang langsung berkaitan dengan kesempatan kerja. Akuntansi, ekonomi, manajemen, dan teknologi informasi masih menduduki tempat terhormat di mata masyarakat. Sedangkan ilmu murni seperti MIPA berada di antara jurusan yang tak menarik minat banyak orang. Penjelasannya pun gamblang: akan bekerja sebagai apakah lulusan jurusan ilmu murni? Peneliti? Sama sekali tidak menarik.
Gambaran tentang sosok yang menghabiskan banyak waktu di laboratorium tapi tak menghasilkan banyak uang memang begitu lekat di mata masyarakat. Dan pendapat seperti ini antara lain disebabkan oleh minimnya kontribusi pemerintah untuk mengembangkan jalur yang satu ini.
Sebelum porsi untuk pendidikan dari anggaran negara meningkat 20 persen tahun ini, biaya penelitian program doktor dalam negeri hanya Rp 200 ribu per bulan, selama tiga tahun. Karena itu, banyak ide penelitian yang brilian jadi melempem, kemudian hilang. "Mencari dana penelitian tambahan tak kunjung dapat, semangat menyusut, tapi tenggat mendekat. Jadi hanya melakukan case study," tutur Fasli. Kalau sudah begini, hasil penelitian tidak bisa masuk ke jurnal atau publikasi ilmiah-salah satu tolok ukur keunggulan sebuah perguruan tinggi.
"Kami sudah terbiasa membuat proposal untuk tambal-sulam dana," kata Hajrial, peneliti padi tipe baru di atas, yang pernah menggunakan uang pribadi untuk sewa sawah tempat penelitiannya. "Untuk kelanjutan dana setelah Desember nanti, harus dicari mulai sekarang."
Karena minimnya dana inilah, hanya sepuluh persen dari 155 ribu dosen (perguruan tinggi negeri dan swasta, data Direktorat Pendidikan Tinggi tahun 2007) yang melakukan tugas penelitian. Ya, produktivitas penelitian kita pun tak pernah bergerak jauh dari posisi juru kunci. Indonesia hanya menghasilkan 0,8 artikel ilmiah per satu juta penduduk. Bandingkan dengan India, yang mampu melahirkan 12 artikel per sejuta orang. Apalagi Malaysia sudah melaju dengan 21,3 artikel per sejuta penduduk. Berdasarkan beberapa model pemeringkatan-salah satunya dari The Times Higher Education Ranking-posisi perguruan tinggi Indonesia dibanding negara Asia lainnya terletak pada nomor tiga dari bawah, di atas Pakistan dan Iran.
Untunglah, semangat meneliti di tangan sosok seperti Hajrial, Soeprapto, Zullies-dan banyak lagi-tak pernah mati. Bahkan mereka umumnya menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga adalah contoh yang tetap menghasilkan produk riset. "Universitas lain yang lebih kecil, seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Jember, tetap punya riset unggulan," kata Fasli.
Ini dunia baru kita. Perguruan tinggi harus dikembalikan ke posisi yang tidak menomorduakan penelitian ilmiah. Perguruan tinggi tanpa aktivitas riset bagai harimau tanpa belang dan taring: tak ada karakter dan wibawanya. Satu lagi yang patut dicatat, "Jika hanya untuk mencari duit, mencari mahasiswa, dan riset untuk proyek pemerintah, itu sudah bukan zamannya," kata Gumilar Rusliwa Somantri, Rektor Universitas Indonesia.
Banyak persoalan dunia yang membutuhkan jawaban dari hasil riset-termasuk dari perguruan tinggi. Dalam sepuluh tahun ke depan, jumlah manusia di muka bumi bisa mencapai 10 miliar. Manusia terus bertambah, begitu pula persoalannya. Perguruan tinggi juga ditantang untuk menjawab tiga tantangan besar: ekonomi dunia, energi dan lingkungan, serta populasi yang kian melonjak. Riset yang bisa memperkuat ketahanan ekonomi dan terwujudnya energi alternatif sangat dibutuhkan. "Untuk itulah, riset yang dilakukan IPB saling terkait untuk mendukung ketahanan pangan," kata Rektor IPB Herry Suhardiyanto.
Untunglah "masa kegelapan" penelitian berakhir sudah. Menurut Fasli, dana penelitian untuk 2009 ini jumlahnya melompat hingga tiga kali lipat dibanding 2008, yaitu Rp 500 miliar. "Virus" penelitian juga makin ditularkan di kalangan mahasiswa. Untuk itu, direktorat ini menggelontorkan dana Rp 6 juta per proposal penelitian mahasiswa yang dianggap layak. "Melalui pekan ilmiah nasional mahasiswa, kemampuan riset para mahasiswa dapat muncul," kata Fasli, meyakinkan bahwa jumlah peserta peneliti muda meningkat dari tahun ke tahun.
Ini sungguh kabar positif. Sebab, motivasi mahasiswa mengikuti kuliah tidak hanya terbatas pada mendapat gelar dan kerja bergaji bagus. Menjadi peneliti juga keren. Salah satu contohnya adalah Galih Nugroho, 22 tahun, mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Tahun lalu, dia dan kawan-kawannya mendapat dana dari pemerintah untuk penelitian tentang pengganti bungkus bumbu mi instan dari bahan rumput laut yang bisa larut dalam air mendidih, bisa dimakan, dan tidak berbahaya. Ide tersebut diperoleh gara-gara ia sering menjatuhkan bungkus bumbu ketika memasak mi.
Bungkus mi instan dari bahan rumput laut itu bukan satu-satunya hasil karya Galih. Dia sudah kecanduan meneliti sejak semester kedua. Galih, yang kini sedang menjalankan penelitian untuk skripsi, masih maju dalam lomba penelitian yang diadakan Direktorat Pendidikan Tinggi. Ya, ada dana yang tersedia, dan ada mahasiswa seperti Galih yang bakal meramaikan dunia penelitian yang dulu begitu sepi perhatian.
TIM EDISI KHUSUS PERGURUAN TINGGI 2009 Penanggung Jawab: Bina Bektiati
Kepala Proyek: Irfan Budiman
Penyunting: Bina Bektiati, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shabab, Leila S. Chudori, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, M. Taufiqurahman, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji
Penulis: Ahmad Taufik, Anne L. Handayani, Bagja Hidayat, Bina Bektiati, Dwidjo U. Maksum, Harun Mahbub, Irfan Budiman, Kurniasih Suditomo, Kurniawan, Muchamad Nafi, Purwani Dyah Prabandari, Sunudyantoro, Widiarsi Agustina, Yandi M. Rofiyandi
Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Anang Zakaria (Surabaya), Anwar Siswadi (Bandung), Aris Andrianto (Purwokerto), Bibin Bintariadi (Malang), Dini Mawuntyas (Surabaya), Irmawati (Makasar), M. Syaifullah (Yogyakarta), Jems de Fortuna (Kupang), Mahbub Junaidy (Jember), Rofiqi Hasan (Denpasar), Rohman Taufiq (Surabaya), Supriyanto Khafid (Mataram)
Bahasa: Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Riset Foto: Aryus P. Soekarno (kepala), Bismo Agung, Mazmur A. Sembiring
Desain: Danendro Adi, Gilang Rahadian, Fitra Moerat Sitompul, Hendy Prakasa, Kiagoos Auliansyah, Aji Yuliarto, Tri Watno Widodo, Hadi Winata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo