Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAM kuliah normal tidak berlaku bagi para mahasiswa yang sedang berkutat di sebuah laboratorium di sudut kampus Universitas Jember, Jawa Timur. Menjelang sore, ketika waktu kuliah sudah berakhir, sekitar 30 orang berbaju praktikum putih asyik mengulik tepung singkong di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian. Ada yang sibuk menuangkan adonan tepung singkong, ada yang memegangi nampan segi empat dari aluminium untuk menampung hasil ayakan. Sesekali, dosen pembimbing mereka, A. Subagio, memberikan aba-aba: jangan terlalu lurus atau keriting.
Mereka memilih singkong sebagai obyek penelitian karena tanaman ketela pohon banyak ditanam petani di Jawa Timur, yaitu di Kabupaten Trenggalek, Pacitan, dan Ponorogo. Penelitiannya sendiri sudah dimulai pada 2005, dimotori Subagio, yang dibantu 12 orang mahasiswanya. ”Idenya untuk kesejahteraan rakyat dan ketahanan pangan,” kata Subagio, yang meraih gelar master dan doktor dari Graduate School of Agriculture and Biological Sciences, Osaka Prefecture University, Jepang.
Kendala utama di awal penelitian adalah minimnya peralatan, terutama yang harganya mahal, seperti scanning electron microscope, alat pemindai. Beberapa tahap penelitian pun harus dilakukan di laboratorium di Jepang.
Setelah mematangkan riset di laboratorium dan lapangan, tim peneliti akhirnya menerapkan teknologi riset itu di Trenggalek sebagai proyek percontohan. Trenggalek dikenal sebagai lumbung singkong Jawa Timur. Tapi, selama bertahun-tahun, singkong di sana hanya dikonsumsi sendiri atau dijual sebagai bahan baku ke pasar dan pabrik makanan. Dari total produksi singkong pada 2007 sebanyak 394.207 ton, misalnya, hampir 80 persen dikeringkan menjadi gaplek, dan sisanya dikonsumsi sendiri.
Setelah tiga tahun teknologi itu diterapkan, kini di Trenggalek berdiri 63 kelompok tani dengan anggota sekitar 1.460 petani singkong, tersebar di 13 kecamatan. Mereka aktif mengolah singkong menjadi tepung singkong yang dilabeli Modified Cassava Flour (Mocaf) dan beragam produk turunannya, terutama berbagai jenis makanan kecil. Dalam setahun terakhir, petani di Trenggalek bisa memproduksi sedikitnya 200 ton tepung singkong modifikasi ini.
Tepung versi modifikasi ini memang menjadi harapan kawasan Trenggalek dan sekitarnya. Sebab, tepung olahan ini dinilai memiliki banyak kelebihan dibanding terigu, tapioka, atau tepung gaplek. Pada 2008, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah menargetkan peningkatan produksi tepung singkong modifikasi hingga dua juta ton pada 2012, sekaligus menggantikan sekitar 30 persen kebutuhan tepung terigu nasional.
Saat ini, kapasitas produksi tepung singkong made in Universitas Jember baru mencapai 360 ribu ton per tahun. Dengan penanaman massal sekitar 2 juta hektare, pemerintah optimistis bisa mengurangi ketergantungan kita pada tepung terigu impor. Kini lahan untuk budi daya singkong di Indonesia baru mencapai 600 hektare. Mulai tahun ini direncanakan 50 pabrik berkapasitas 50 ton per bulan didirikan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Trenggalek.
Penelitian singkong di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian itu mengikuti garis besar kebijakan Universitas Jember. Menurut Kepala Lembaga Penelitian Universitas Jember Cahyo Adibowo, dalam kurun sepuluh tahun (1999-2009), program penelitian diarahkan ke agroindustri atau program pengembangan bidang pertanian berkelanjutan. Program penelitian akan dilanjutkan sesuai dengan rencana strategis yang dibicarakan akhir tahun ini.
Tak aneh jika 70 persen program penelitian di Universitas Jember bergerak di bidang pertanian. Itu tak hanya semata mencari kreasi pengolahan hasil-hasil pertanian, tapi juga mencakup pengembangan pendukung pertanian, misalkan penelitian untuk mencari pupuk alternatif. Jurusan Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, misalnya, telah mengeluarkan pupuk organik cair berbahan baku ikan segar pada awal tahun lalu.
Pupuk itu sudah diujicobakan ke berbagai tanaman, seperti padi dan jagung. Pupuk ini pun sudah diterapkan untuk tanaman hortikultura seperti tomat, melon, semangka, dan jeruk, juga pada tanaman perkebunan seperti vanili. Hasilnya mencengangkan: pupuk ikan segar bisa mengurangi pemakaian pupuk anorganik (pupuk kimia) hingga 80 persen.
Menurut dosen dan peneliti, Achmad, ratusan petani di wilayah Jember dan Bondowoso sudah menggunakan pupuk ikan itu. Kelompok-kelompok tani di wilayah eks Karesidenan Besuki (Jember-Bondowoso-Situbondo-Banyuwangi) juga sudah menyatakan minat untuk menggunakannya setelah bertahun-tahun bergantung pada pupuk kimia yang harganya mahal dan tidak ramah lingkungan. Belum lagi kelangkaan pupuk juga selalu datang setiap tahun.
Penelitian pupuk ikan dan pengolahan singkong tadi adalah contoh penelitian yang dilakukan untuk menjawab masalah di lingkungan seputar kampus. Riset untuk menjawab persoalan masyarakat juga dilakukan di bidang sosial budaya, yang difokuskan pada masalah spesifik daerah. Contohnya penelitian sosial ekonomi perkebunan kopi-kakao dan tembakau di wilayah Jember dan sekitarnya. Yang terbaru adalah penelitian sosiologi budaya masyarakat Madura untuk menjajaki rencana pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir di Pulau Madura dan Jembatan Surabaya-Madura.
Lembaga penelitian kampus ini sekarang memiliki sepuluh pusat penelitian sesuai dengan bidang garapannya: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Pengembangan Sumber Daya Air dan Irigasi, Budaya Madura dan Jawa, Teknologi Pangan dan Gizi, Biologi Molekuler, Agrobisnis dan Koperasi, Wanita, Kependudukan, Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo