Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Bajak Laut,</font> Jejak Zaman yang Hilang

DENGAN kapal mereka yang ramping dan gesit, para perompak menjelajah hampir setiap titik perairan Asia Tenggara. Gambaran tentang mereka sama sekali tidak indah: brutal, selalu akrab dengan kekerasan tatkala menunaikan tugas di laut lepas Selat Malaka.

Buku-buku sejarah bercerita tentang kerajaan di sepanjang Selat Malaka, Siak Sri Indrapura, Samudra Pasai, Malaka—dan masih banyak lagi—yang berkembang, berjaya, lantas terkubur. Kerajaan-kerajaan itu berakhir sudah, tapi para bajak laut terus hidup hingga kini. Kecuali satu masa, ketika kekuatan kolonial Inggris dan Belanda menggunakan mesin uap yang bergerak cepat dan memberantas mereka pada abad ke-19.

Sebenarnya, bajak laut lebih dari sekadar cerita kriminal. Ada yang beraksi dengan motif politik terhormat: memerangi kekuatan kolonial. Ada semangat antipenjajah yang menggerakkan mereka.

15 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAJAK LAUT. Tentu saja, banyak orang menganggap bajak laut itu doyan kekerasan, juga jahat bukan main. Lihat saja bukti sejarah yang berserakan. Di Asia Tenggara dan Nusantara berita mengenai bajak laut dapat dilacak sampai pada masa awal sejarah. Fa-Hsien dalam perjalanannya pulang dari India ke negeri Cina (413-414) mengatakan ”laut (Asia Tenggara) penuh dengan bajak laut, barang siapa ketemu dengan mereka akan menemui ajalnya”. Lebih khusus lagi berita Chia-tan (785-805) menyebut bahwa ”penduduk Kerajaan Ko-ko-seng-chih yang terletak di sebuah pulau di sebelah barat laut Kerajaan Fo-shih (Sriwijaya) sebagian besar adalah bajak laut, sebab itu penumpang jung sangat takut”.

Pada abad ke-12 dilaporkan bahwa Fo-lo-an, sebuah kerajaan yang tunduk kepada Fo-shih, berhasil menangkis serangan jahat bajak laut. Dikatakan bahwa bajak laut itu dipukul mundur oleh angin yang dipercaya ”adalah karena pengaruh sang Buddha”.

Saat itu ada beberapa tempat di Asia Tenggara yang ditakuti pelaut Cina, yaitu negeri Sha-hua-kung, yang penduduknya ”mempunyai kebiasaan untuk turun ke laut dan merampok, orang yang ditangkap dijual ke Sho-po”. Juga beberapa pulau yang didiami perampok ganas, Malo-nu. Mereka ini menangkap orang yang kapalnya karam, ”membakar mereka di atas api dengan jepitan dan memakannya”.

Pada kira-kira tahun 1330-1340, menurut Wang Ta-yuan, terdapat bajak laut di Lung-ya-men. Mereka ini penjaga jalur pelayaran di sekitar Selat Singapura. Di samping itu Ibn-Batutah melaporkan bahwa ketika kapalnya tiba di Qaqullah, sejumlah perahu sedang mengadakan persiapan untuk melakukan pembajakan di laut. Ditambahkan lagi bahwa mereka menindak kapal yang tidak mau membayar pajak, karena setiap jung yang mampir di pelabuhan ini harus membayar upeti.

Dari semua laporan itu dapatlah disimpulkan bahwa kurang dari sembilan abad lamanya, dari abad ke-5 sampai ke-14, sosok bajak laut yang wilayah operasinya banyak terpusat di Selat Malaka itu tampak jahat. Suatu gambaran yang sejak 1987 ditentang sejarawan Adrian B. Lapian. Di hadapan senat guru besar Universitas Gadjah Mada, melalui disertasinya, ”Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut”, Lapian mempermaklumkan: sebaiknya berhati-hatilah kalau omong tentang bajak laut.

Semenjak abad ke-15 keadaan memang mulai berubah. Laporan-laporan mengenai aktivitas bajak laut tidak lagi datang dari orang Cina atau negeri Arab, tetapi dari orang Eropa. Banyaknya kapal Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 yang mencari rempah-rempah dari Maluku telah meninggalkan laporan tentang kegiatan bajak laut di sana. Di Suma Oriental yang ditulis Tome Pires sekitar tahun 1515 tersebutlah peranan orang Bajau sebagai bajak laut yang berpangkalan di pulau-pulau kecil dekat pantai barat Semenanjung Sulawesi Selatan, tapi wilayah operasi mereka jauh dan luas hingga ke Sumatera. Sambil membajak kian kemari, mereka menangkap orang untuk dijual sebagai budak.

Itu jelas berbeda dengan laporan Belanda, yang menyebut bahwa bajak laut yang menguasai perairan bagian timur pada abad ke-17 dan ke-18 berasal dari Papua atau Papoesche zeerover. Sedangkan pada abad ke-18 dan ke-19, dunia ini dikuasai bajak laut Tobelo, yang mendominasi perairan laut Kerajaan Ternate, mulai dari Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, sampai ke Teluk Tomini. Selain itu, ada terlaporkan mengenai bajak laut Lanun, Mangindanao, dan Balangingi yang sangat ditakuti di wilayah Sulawesi, khususnya Filipina Selatan, abad ke-18 dan ke-19.

Laporan serta pembahasan mengenai aktivitas bajak laut dari sumber-sumber Eropa dapat dilihat sebagai perhatian belaka, tanpa tendensi. Namun pada abad ke-19 negara-negara Eropa di Asia Tenggara kemudian memproklamasikan ekspansinya sebagai mission civilisatrice atau misi untuk membawa peradaban kepada bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dengan demikian ada anggapan bahwa upaya memberantas bajak laut adalah ”misi suci”—untuk memberantas sistem perbudakan dan perdagangan budak. Dalam antusiasme ini pula sering kali mereka menggolongkan semua pelayaran pribumi yang mencurigakan sebagai bajak laut.

Inggris memang serius memberantas bajak laut di Asia Tenggara waktu itu. Kerajaan itu bertekad menjadikan laut daerah yang aman bagi perdagangan maritim Barat, sekaligus menggunakan dalih ini untuk mengadakan intervensi dalam pemerintahan pribumi setempat. Spanyol dan Belanda pun mengeluarkan peraturan yang menegaskan pelanggaran atau kejahatan yang harus dianggap aktivitas bajak laut. Umumnya setiap perahu pribumi yang membawa senjata tanpa izin penguasa kolonial bersangkutan dinyatakan sebagai bajak laut, meski ia belum melakukan tindakan pembajakan di laut bebas. Bahkan, untuk mempermudah penertiban dan pengambilan tindakan hukum, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan wilayah laut bebas sampai ke daerah pantai dan pelabuhan.

Akhirnya, dengan keunggulan teknologi berupa mesin uap dan senjata api yang dimiliki negara-negara kolonial sejak pertengahan abad ke-19, perlawanan pribumi—baik yang berbentuk kerajaan maupun yang berkelompok sebagai bajak laut—mulai lumpuh. Praktis, menjelang abad ke-20 perairan Asia Tenggara sudah dapat dikuasai kekuatan kolonial.

Di samping itu, perubahan sistem ekonomi yang tidak lagi menggunakan tenaga budak ikut mempengaruhi kegiatan bajak laut. Dengan kata lain, mereka kehilangan pasar untuk hasil tangkapannya selama ini. Sedangkan kemajuan pengetahuan geografis tentang perairan menghasilkan peta hidrografi yang lebih cermat, sehingga pengawasan kolonial dapat ditingkatkan dan tempat persembunyian bajak laut semakin berkurang.

Tetapi perkembangan baru ini belum berarti kehancuran total dari kekuatan pribumi. Banyak yang meninggalkan aktivitas laut lantas beralih ke darat dan berhasil memperbaiki martabat juga kekayaan mereka, seperti Tumenggung Johor, tetapi rakyat lautnya semakin terdesak dan menjadi suku terasing.

Ada juga yang memilih menyesuaikan dengan keadaan dan bergabung dengan penguasa baru. Ini, misalnya, terlihat dalam kasus suku Dayak Laut di Sarawak, yang dianggap bajak laut dan dikalahkan oleh Raja Brooke II. Mereka dirangkul untuk ikut dalam kekuasaannya kemudian dijadikan kekuatan sosial yang berpengaruh.

Kekuatan kolonial akhirnya memang menjadi kekuatan yang berwewenang tunggal untuk mengambil tindakan kekerasan di perairan Asia Tenggara. Tetapi ini berarti pula bahwa setiap tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menghantam dan menghancurkan kekuatan pribumi yang telah ada dapat dilihat sebagai pelanggaran atau kejahatan dan tindakan bajak laut. Meminjam istilah Adrian B. Lapian, kekuatan kolonial telah menjelma menjadi tipe ideal Raja Laut. Sebab, walaupun mereka berasal dari luar Asia Tenggara, kedudukan mereka di sini yang telah ditanamkan sejak abad ke-16 (Spanyol), abad ke-17 (Belanda), abad ke-18 (Inggris), dan abad ke-19 (Prancis), telah kukuh dan memegang peranan penting di perairan Asia Tenggara. Bahkan akhirnya berkembang menjadi kekuatan adikuasa dengan teknologi maju dan monopoli tenaga uap.

Sejarah yang Tenggelam
Dalam historiografi Asia Tenggara, bajak laut dianggap sebagai the people without history. Padahal mereka justru merupakan elemen penting yang mempengaruhi perubahan lanskap budaya dan sejarah Asia Tenggara. Pendekatan kesejarahan mengenai bajak laut sebagaimana dipelopori oleh Adrian B. Lapian jelas menghasilkan rekonstruksi sejarah alternatif atas beberapa kelompok masyarakat ”tanpa partisi” di Asia Tenggara, yang selama ini bukan saja termarginalkan dan tenggelam dalam banyak kesalahpahaman dalam memaknai.

Menyelami sejarah petualangan bajak laut akhirnya memang bukan hanya membuat kita lebih hati-hati mengartikan bajak laut, tetapi juga melihat sejarah masyarakat khas yang bertempat tinggal atau hidup dari laut. Inilah proses panjang perjalanan kompleks yang menjadi cikal bakal terbentuknya perdagangan inter-Asia di era modern. Kisah para bajak laut di perairan Asia Tenggara adalah potret sejarah Asia Tenggara dalam hubungan aspek politis yang lebih luas.

Potret historis bajak laut itu tentu menjadi bahan penting ketika dalam proses globalisasi sekarang merebak kegiatan bajak laut di wilayah maritim Asia Tenggara, termasuk masalah perdagangan.

Nenek Moyang Perdagangan
Bajak laut boleh dikatakan kelanjutan (extension) dari kegiatan berburu, aktivitas ekonomi yang paling awal. Dan perburuan bagi masyarakat bahari adalah penangkapan ikan. Lebih jauh lagi, laut adalah tempat berusaha yang bebas, persis hutan bagi orang darat yang kerap mengembara untuk mengumpulkan makanan. Karena itu, konsep kepemilikan tidak berlaku di sini. Tiap orang atau kelompok bebas saja mengambil untuk keperluan nafkah masing-masing. Dari sana dapat dipahami bahwa berbagai masyarakat pantai menganut ”hak tawan karang”. Segala sesuatu yang datang terdampar dari laut dianggap sebagai ”ikan” dan jadi milik mereka yang berhasil menangkapnya atau penguasa daerahnya.

Dalam konteks itu adalah menarik mencermati kata berniaga dalam bahasa Indonesia yang seasal dengan kata baniaga dalam bahasa Tagalog adalah padanan dari kata ”asing”. Jadi, benar jika kegiatan bajak laut di masa awal itu sering sukar dipisah-pisahkan dengan perdagangan. Kapal niaga yang di laut bebas berpapasan dengan kapal dagang lain yang lebih lemah ada kalanya berubah menjadi pembajak lantaran ia sanggup memperoleh barang muatan dengan kekerasan. Karena itu pula fenomena bajak laut sudah dikenal sejak ada berita tentang pelayaran dan perdagangan lintas laut.

Dalil sejarawan Fernand Braudel yang menghubungkan kegiatan bajak laut di laut tengah dengan kemakmuran di perairan wilayah yang bersangkutan juga bisa dipakai untuk melihat ramainya aktivias bajak laut. Makin besar volume yang diperdagangkan, makin meningkat pula aktivitas perompakan. Jika perdagangan lesu, barang dagangan yang potensial dirampas akan berkurang, sehingga dorongan untuk mengadakan kegiatan bajak laut akan berkurang pula. Kegiatan bajak laut bagaimanapun memerlukan investasi yang tidak sedikit. Jadi, kelompok yang mempersiapkan sebuah perompakan mengharapkan hasil yang memuaskan. Karena itu, ketika masa konjungtur sedang menurun, tentu hasilnya tidak bisa diharapkan. Jeblok saja.

Ini, misalnya, terlihat dalam kasus Kerajaan Sulu. Kedudukan Sulu dalam jalur perdagangan ke negeri Cina melibatkan suatu sistem ekonomi yang menguntungkan. Ibu Kota Jolo merupakan entrepot yang ramai tempat menjual barang dagangan dari Cina dan Eropa serta hasil hutan, tripang, dan sarang burung dari Asia, termasuk juga budak belian. Kebutuhan untuk memperoleh hasil hutan dan hasil laut setempat menimbulkan pula kebutuhan akan tenaga penggarap dan dengan demikian pasar budak menjadi bertambah penting. Dalam upaya memperoleh tenaga budak ini, orang Balangingi muncul sebagai leveransir yang sangat tersohor. Dengan ekspedisi tahunan yang teratur, mereka menjelajahi perairan Asia Tenggara sambil menangkap orang dan mengangkutnya pulang untuk dijual sebagai budak. Dari orang nelayan (fishermen) yang kalem mereka menjadi nelayan orang (fishers of men) yang sangat ditakuti.

Kini, dengan mengaitkan keadaan itu dengan kondisi beberapa abad lalu, termasuk dalam kejahatan maritim dan perdagangan manusia, dapat disimpulkan bahwa fenomena perompak dan kejahatan maritim era modern di perairan Asia Tenggara bukanlah fenomena baru. Buku-buku sejarah bercerita tentang kerajaan di sepanjang Selat Malaka, Siak Sri Indrapura, Samudra Pasai, Malaka—dan masih banyak lagi—yang berkembang, berjaya, lantas terkubur. Kerajaan-kerajaan itu berakhir sudah, tapi para bajak laut terus hidup hingga kini.

J.J. Rizal, Sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus