Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepotong hari pada awal Desember 2007. Saya diundang mengajar siswa kelas dua SMA di kawasan Bandung. Kegiatan ini menjadi pengisi waktu luang sejak saya pensiun sebagai guru besar emeritus Universitas Padjadjaran pada 1999. Saya senang menjalaninya, semata agar anak-anak Indonesia di masa depan lebih peduli pada lingkungan. Apalagi hari-hari ini seluruh dunia disibukkan dengan petaka akibat perubahan iklim dan kerusakan ekologi.
Siang itu suasana hati saya campur aduk. Saya senang karena banyak guru sekolah kini kreatif memberikan materi pelajaran lingkungan bagi muridnya. Tapi juga sedih lantaran anak-anak muda yang saya temui seakan tak peduli terhadap kerusakan lingkungan. Padahal akibatnya sudah terlihat nyata berupa bencana di sekitar kita.
Pada awal tahun ini saja, banjir dan tanah longsor terjadi di mana-mana. Bandung tak luput. Hujan deras sebentar saja membuat kawasan Cimandiri, Junjungan, Pasteur tergenang. Padahal beberapa tahun lampau kawasan ini dikenal sebagai daerah resapan. Bila hujan turun merata di Bogor, Puncak, dan Cianjur, sudah pasti rumah sebagian warga Jakarta terendam.
Telah lama saya menduga bencana alam itu bakal terjadi. Tanda-tanda kerusakan telah muncul sejak saya masuk kawasan Bogor pada era 1960. Saat itu Puncak sudah mulai macet dan disesaki vila. Hutan di sepanjang jalan berganti warung dan gedung. Lalu lintas juga sudah padat. Pencemaran menjadi-jadi. Penduduk banyak kehilangan lahannya.
Sebagai Direktur Kebun Raya Bogor, saat itu saya sudah memperhitungkan kerusakan lanskap kawasan tersebut, juga pengaruhnya bagi Ibu Kota Jakarta. Apa lagi pada 1970-an, gejala kemacetan di kawasan itu semakin terasa. Saya sering menentang kebijakan pembangunan di sana secara keras, dengan melontarkan kritik melalui media.
Waktu itu pemerintah bukannya segera menata kembali kawasan itu, melainkan melakukan kebijakan insidental. Misalnya melarang truk melewati Puncak, tapi mobil pribadi dibiarkan bebas. Padahal kerusakan justru muncul ketika mobil pribadi berbelok ke mana saja, dan membuat banyak orang kian berminat membeli lahan di Puncak.
Salah satu pejabat yang saya kritik adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ketika berniat membuat lahan parkir di atas Sungai Ciliwung. Kebijakan itu ditempuh untuk mengatasi kemacetan. Parkir belum seperti sekarang dan sangat mengganggu. Lokasi yang paling banyak dibicarakan adalah di Jalan Veteran, belakang Istana Negara, sampai ke Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Saya menentang keras rencana itu. Jika sungai ditutup dan tak kena matahari, penyakit mudah berbiak. Apalagi air Sungai Ciliwung sering membawa sampah dari hulu. Sejak awal saya menyarankan lebih baik menata ulang kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur, serta menjadikan kawasan Sungai Ciliwung sebagai aset wisata laiknya di Belanda dan Venesia, Italia. Kenapa? Bila kawasan itu jadi aset wisata, banyak orang yang tinggal di sana merasa perlu ikut memelihara. Mereka punya perasaan memiliki. Untungnya, Bang Ali mengurungkan niatnya. Namun disayangkan juga, dia tidak menjadikan kawasan sungai itu sebagai aset wisata.
Kerewelan saya membuat risi petinggi negeri. Pernyataan kontroversial di sejumlah koran membuat saya mendapat julukan sebagai tokoh pewayangan Bratasena. Tatkala orang meributkan kemacetan di kawasan Puncak, saya dengan santai menanggapi, ”Biar saja macet. Tak usah dibenahi. Lama-lama orang kan bosan ke sana.” Saya bersikap seperti itu semata karena sudah terlalu banyak mengkritik tapi pemerintah tak juga bereaksi membenahi kawasan itu.
Sikap kritis membuat saya dipanggil oleh seorang menteri. Kalau tidak salah, Menteri Pariwisata. Beliau menyampaikan, Presiden Soeharto marah dengan kritik saya, terutama soal Puncak dan kemacetan. Informasi itu saya tanggapi dengan santai. ”Syukurlah,” ujar saya. Sikap saya ini membuat Pak Menteri bertanya: ”Kok, syukur?” Saya bilang, ”Ya, syukur. Artinya, Pak Harto membaca kritik saya.”
Kecintaan saya pada lingkungan ada dasarnya. Masalah lingkungan bukan sesuatu yang statis, tapi selalu berevolusi. Dan semuanya membuahkan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Hanya dalam lingkungan hidup yang baik, manusia bisa berkarya dengan optimal.
Rasa cinta lingkungan itu terpupuk sejak kecil. Saya suka bertualang dan bercocok tanam. Bahkan sejak lulus sekolah rakyat di Temanggung, Jawa Tengah, pada 1941, dan MULO di Yogyakarta pada 1944, saya sudah bercita-cita menjadi ahli pertanian. Namun saya sempat nyasar menjadi pelaut, semata karena senang melihat kapal, dan masuk sekolah pelayaran di Cilacap pada 1944.
Meski begitu, saya tak pernah bisa mengubur cita-cita menjadi ahli pertanian. Selepas SMA di Yogya pada 1947, saya mendaftar di Fakultas Pertanian Klaten, cikal bakal Universitas Gadjah Mada. Tiba-tiba Belanda menyerbu, saya terpaksa bergabung dalam revolusi dan mengangkat senjata.
Terus terang, yang memukau dan membuat saya bertahan berjuang adalah semangat Soekarno-Hatta. Pidato Bung Karno yang berjam-jam membakar semangat hidup saya. Pada 1946 saya pernah mengikuti kursus yang diberikan dua founding father tersebut, yaitu Gempar, Gerakan untuk Makmur dan Patuhnya Rakyat. Saya sempat pula dikirim ke Banten.
Pada 1949, begitu selesai perang, saya berniat melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian UGM. Saya masuk dan menjadi angkatan pertama di kampus itu. Pada 1954 saya lulus dengan predikat cum laude dan diberi kesempatan menjadi dosen.
Pada 1955 saya beruntung mendapat beasiswa dari Departemen Luar Negeri untuk kuliah di University of California at Berkeley, Amerika. Di situlah awal mula nama saya berubah. Ketika mendaftar, saya ditanya nama lengkap. Saya jawab, Soemarwoto. Mereka tetap bertanya karena di negeri itu setiap orang selalu memiliki first name, nama kecil, dan last name atau surname—nama keluarga. Maka jadilah saya menggabungkan nama Otto—dari Otok—nama panggilan kecil saya di rumah, dengan Soemarwoto, nama pemberian orang tua saya.
Waktu itu hanya ada empat orang Indonesia di Berkeley. Setahun kemudian, datang empat orang lagi, yaitu Ali Wardhana, Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan J.B. Sumarlin. Di negeri Abang Sam itu pula, saya bertemu Idjah Natadipradja, yang kemudian menjadi istri saya. Idjah, asisten dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sebelumnya mengikuti program pertukaran staf. Namun akhirnya ia mengambil magister di kampus itu. Ia tertarik memperdalam biologi, sementara saya pada tanaman. Pada 1960 saya berhasil menggondol doktor dan kembali ke UGM.
Usia saya waktu itu masih muda, 34 tahun, dan diangkat menjadi guru besar. Saya menjadi profesor termuda di Indonesia. Ada enaknya, ada juga tak enaknya. Dukanya, banyak suara minor yang mengatakan saya naik pangkat terlalu cepat, meloncat tinggi dalam satu tahun. Saya juga kehilangan banyak teman karena mereka yang sebaya sering kikuk berhubungan dengan saya karena perbedaan pangkat. Sebaliknya, yang senior juga merasa tak klop berkomunikasi dengan saya.
Pada 1960-an tawaran studi berdatangan. Salah satunya undangan ke Moskow, melihat laboratorium fisiologi di Akademi Ilmu Pengetahuan Soviet. Saat itu mereka sedang mempromosikan teori Lysenko, yang menolak evolusi Darwinisme. Sepulang dari Moskow, saya diminta memimpin Kongres Ilmu Pengetahuan yang diadakan oleh Himpunan Sarjana Indonesia. Organisasi itu onderbouw PKI. Saya menolak. Tawaran itu buat saya aneh, wong saya bukan anggota, kok, diminta memimpin kongres.
Boleh jadi, penolakan itu pula yang membawa saya ke Bogor. Pada 1964 saya diminta menjadi Direktur Lembaga Biologi Nasional sekaligus Direktur Kebun Raya Bogor. Delapan tahun lamanya saya tinggal di sekitar Istana Bogor, kenal dan dekat dengan Bung Karno serta menjadi saksi huru-hara politik.
Selama di Bogor, saya mendalami biologi molekuler. Sebuah bidang studi yang memerlukan peralatan rumit dan mahal. Ketika mendalami studi ini, saya semakin tertarik pada ekologi lingkungan, meski sebatas pada ekologi tumbuhan. Semua materi saya pelajari secara cepat, sekaligus dalam tugas sehari-hari di Kebun Raya Bogor dan kawasan sekitarnya.
Ketertarikan saya pada ekologi semakin tinggi begitu saya hijrah dari Bogor ke Bandung pada 1972. Saya ditawari menjadi guru besar Tata Guna Biologi Universitas Padjadjaran. Di situ pula saya mendirikan Lembaga Ekologi Unpad pada 23 September 1972. Semula lembaga itu hanya dikelola tiga orang, termasuk Idjah. Peralatannya amat sederhana, hanya pensil, kertas, dan mistar. Namun waktu itu kami bertekad menjadi pusat pengkajian ekologi.
Lembaga ini menjadi lembaga pertama yang fokus pada isu lingkungan dan didirikan oleh institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Belakangan namanya berubah menjadi Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Saya sendiri ditunjuk sebagai kepala dan bekerja di situ hampir 20 tahun. Sejak itu pendekatan multidisiplin berbasis ilmu lingkungan hidup terus dikembangkan. Di antaranya mata kuliah komunikasi lingkungan, psikologi, dan aspek ilmu lainnya.
Lembaga ini menggelar seminar nasional tentang lingkungan hidup dan pembangunan nasional pada Mei 1972. Banyak yang hadir. Saya sendiri tak menyangka, hasil seminar digunakan menjadi bahan delegasi Indonesia ke UN Conference The Human Environment di Stockholm, Swedia, Juni 1972.
Konferensi itu sangat bersejarah dan menjadi awal dari kesadaran global tentang lingkungan hidup dan melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan baru yang sifatnya menyeluruh. Penerapannya, antara lain, dalam penataan permukiman dan transportasi. Terutama kenapa jalur hijau, taman, dan fasilitas pejalan kaki semakin sempit, sementara pembangunan mal tambah menggebu.
Hasil konferensi itu menjadi bahan pula dalam pertemuan PBB selanjutnya di Unpad, Bandung, pada 1992. Lima belas tahun kemudian, materi ini juga menjadi dasar dalam pembahasan UN Conference on Climate Change di Bali.
Pusat Penelitian itu juga aktif melakukan analisis dampak lingkungan Waduk Saguling. Bersama tim yang beranggota antropolog, saya dan teman-teman berpikir keras bagaimana waduk bisa didirikan dan penduduk tetap untung. Biasanya dalam proyek pembangunan seperti itu penduduk kerap menjadi korban. Kami menemukan fakta, banyak warga sekitar Sungai Citarum memiliki budaya perikanan metode jaring terapung yang juga dikembangkan di Sungai Mekong, Kamboja. Hasil penelitian itu memuaskan Bank Dunia dan analisis kami dijadikan contoh negara lain.
Sejak memimpin lembaga itu, saya semakin sering melontarkan kritik. Pernyataan dan data yang saya lontarkan secara akurat sering dianggap kontroversial, terutama sikap saya yang menentang pembalakan hutan besar-besaran.
Pada awal 1970-an, sebagai presiden, Soeharto harus mengembangkan ekonomi yang sedang terpuruk. Hutan dipakai sebagai sumber utama. Begitu pula eksploitasi pertambangan dan pengembangan metode perkebunan yang baru. Kebijakan pembalakan besar-besaran inilah yang saya tentang, terutama lantaran Indonesia tak punya pengalaman mengawasi penebangan. Apalagi pembalakan itu dilakukan di hutan tropis. Jauh berbeda kondisinya dengan Amerika atau Eropa. Di sana, penebangan besar-besaran dilakukan di iklim sedang, yang pengaruhnya tidak langsung terasa.
Analisis saya tak salah. Terjadi green gold rush. Hutan menjadi modal pembangunan, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Penggundulan hutan terjadi secara hebat. Akibatnya, hutan menjadi mudah terbakar. Ujung-ujungnya, kerusakan lingkungan ini menyebabkan kemiskinan.
Sikap saya itu bertentangan dengan penasihat ekonomi Presiden, yang tak lain kawan-kawan saya di Berkeley, yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan J.B. Sumarlin. Ada di antara mereka yang sempat mendekati saya, mengajak bergabung. Tapi saya menolak karena visi saya berbeda dengan mereka. Mereka bisa memahami.
Meski begitu, saya tak bisa menutup mata ketika tenaga saya dibutuhkan. Pada 1978, saya diminta membantu membahas draf RUU Lingkungan Hidup. Saya bergabung dalam kaukus kelompok lingkungan hidup. Di situlah saya kembali berhubungan intens dengan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, kolega semasa di Berkeley.
Saya juga membantu pembahasan tentang analisis dampak lingkungan (amdal). Suatu saat, pemerintah membentuk tim karena ingin membangun pabrik bubur kayu di kawasan Toba, Sumatera Utara. Saya diundang untuk membantu membahas kelayakan studi amdalnya. Setelah saya pelajari dan melihat ke lapangan, saya merasa tak sreg dengan proyek itu. Sebagai ilmuwan, saya menyoal kelayakan proyek itu.
Dalam sidang tim, kami ditanya siapa yang tidak setuju dengan proyek itu. Saya mengacungkan jari dan menyampaikan alasan ilmiah penolakan saya. Tapi, dari segi politik, saya mempersilakan. Saya waktu itu berpatokan seperti Truman, yang mau mengebom atom Jepang. Para ilmuwan menolak putusan Truman karena bom itu berdampak besar dalam jangka panjang.
Saya lalu minta izin keluar, tak ikut pengambilan keputusan. Sidang diskors. Ketika saya kembali, sidang ditunda hingga pekan depan. Minggu depannya, saya tidak diundang. Seorang wartawan yang ngepos di Departemen Kehutanan membisiki saya, ”Pak, ini proyeknya Pak Harto. Hati-hati kalau beliau marah.”
Dan itu sudah saya duga. Saya memang tak dipanggil oleh Soeharto. Tapi adik saya, Soemarsono, kebetulan Dirjen Kehutanan di masa itu, dipanggil ke Binagraha. Dia diminta memberi tahu saya. ”Kakakmu itu jangan menentang pemerintah. Anti-pembangunan.” Beberapa menteri dan pejabat juga mengingatkan saya agar tidak bersikap kritis terus.
Saya sempat keder juga karena pesan itu keras sekali. Maklum, di masa itu, orang yang dianggap melawan pemerintah bisa mendapat perlakuan buruk. Sempat terpikir untuk menyingkir ke luar negeri. Kebetulan ada teman menawari pekerjaan. Pada 1980, kami sekeluarga hijrah ke Berkeley, Amerika. Saya menjadi guru besar tamu di kampus almamater.
Lucunya, sekembali ke Indonesia pada 1987, saya mendapat penghargaan Bintang Mahaputera. Waktu itu ada dua versi yang berkembang. Pertama, untuk membungkam. Kedua, karena memang saya berhak.
Keheranan itu bertambah ketika Emil Salim memanggil dan meminta saya menggantikan Soemitro menjadi Panitia Nasional Kalpataru yang akan pensiun. ”Pak Harto minta Bung jadi ketua,” katanya. Saya tak percaya karena dia sering dimarahi gara-gara polah saya. Tapi Emil meyakinkan saya, ”Pak Harto yang bilang, Pak Otto saja,” ujarnya. Saya tidak berusaha mencari tahu mengapa terjadi perubahan. Lagi pula, saya tak merasa berkepentingan.
Mungkin lantaran sudah menjadi komitmen hidup, setelah pensiun dari Unpad saya masih terlibat berbagai kegiatan menyangkut lingkungan. Saya menjadi konsultan beberapa perusahaan untuk menangani limbah mereka. Bahkan pada 2006 saya diminta membantu Sultan Hamengku Buwono X menyusun rencana pembangunan yang berwawasan lingkungan di Yogyakarta. Kegiatan lainnya, sekadar mengajar siswa SMA tentang perlunya perbaikan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo