Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
September 1964. Saya boyongan dari Yogyakarta ke Bogor, Jawa Barat. Pemerintah meminta saya menjadi Direktur Lembaga Biologi Nasional, sekaligus Direktur Kebun Raya Bogor. Ini tugas baru karena empat tahun sebelumnya, 1960–1964, saya menjadi Guru Besar Ilmu Bercocok Tanam pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saya orang Indonesia ketiga yang menjadi Direktur Kebun Raya Bogor. Sebagai direktur, saya mendapat rumah dinas. Letaknya di dalam kebun, di belakang Istana Bogor, persis di samping museum. Rumahnya besar, bangunan tua peninggalan Belanda.
Ternyata, saya satu-satunya direktur yang tinggal di rumah dinas itu. Banyak pegawai mengatakan, rumah itu seram. ”Banyak jurignya (setan—Red.)” Tak ada yang berani tinggal di situ.
Tapi kami tak merasakan apa-apa setelah sekian hari, berminggu-minggu, bahkan hingga delapan tahun lamanya. Kami sekeluarga menikmatinya, meski harus berganti pembantu karena tak satu pun mau tinggal di sana. Anak-anak bahkan bisa bermain sepeda di dalam rumah.
Mungkin justru itulah berkah yang kami dapatkan. Tinggal di tengah kebun bukan saja membuat saya dan keluarga lebih dekat dengan lingkungan, tapi juga membuat saya menjadi saksi atas peristiwa politik di halaman Istana Bogor.
Setahun tinggal di sekitar Istana Bogor, pecahlah peristiwa Gerakan 30 September. Hari-hari setelah itu, areal kebun raya terasa tegang. Tentara ada di mana-mana, lengkap dengan senjata. Pengawasan sangat ketat. Tak sembarang orang bisa keluar masuk kawasan itu.
Kami sekeluarga tetap di situ, padahal tank-tank Cakrabirawa hilir mudik di jalan kebun sekitar Istana. Malah, suatu pagi, ketika saya berkendaraan mengelilingi kebun, di satu pertigaan jalan, ada tank Cakrabirawa melaju kencang, dan brak…! Kendaraan yang saya kendarai ditabrak gajah besi tentara itu. Saya terlempar ke tanah. Beruntung saya tidak meninggal, hanya luka-luka.
Pertengahan 1960-an adalah masa yang berat. Sepanjang hari, kawasan sekitar Istana Bogor tak ubahnya arena adu kekuatan. Para pendukung Bung Karno, khususnya Divisi Siliwangi, bertemu pasukan Soeharto dari Divisi Diponegoro di Kebun Raya Bogor. Hampir tiap hari ada tentara berdiri diam di balik pohon dan semak. Kadang mereka ada di sekitar rumah, mendekat ke Istana, atau berlindung di balik pohon besar. Istri saya yang sering memergoki pasukan rahasia itu. Kalau ditanya sedang apa, mereka menjawab, ”Nggak ada apa-apa, Bu. Mau berburu kalong.” Memang, pohon di depan rumah kami banyak kalongnya.
Tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apakah ada penangkapan menteri yang berlindung di Istana? Juga tak jelas. Hanya suatu pagi, masih bulan-bulan awal 1966, saya diminta membawa keluarga keluar dari Kebun Raya itu seharian. Lagi-lagi, alasannya, ”Pak Harto mau berburu kalong.”
Jadilah hari itu, saya membawa keluarga pergi berkeliling kota dan pulang setelah malam menjemput. Sejak itu, situasi di sekitar rumah semakin tidak nyaman. Truk-truk wara-wiri. Tak jarang, pagi-pagi saya dan keluarga mendapati teras belakang rumah sudah dipenuhi tentara.
Kami merasa seperti tinggal di kandang singa. Di sekitar rumah penuh tentara, di luar kebun pendukung Soekarno hilir-mudik berdemonstrasi. Di Istana, Presiden Soekarno menjadi tahanan politik. Terus terang, saya deg-degan melihat situasi. Apalagi anak-anak masih kecil.
Yang jelas, masa di akhir 1960-an sungguh berat. Situasi tak sehat ini membuat saya memilih berkonsentrasi memikirkan kondisi tanaman dalam kebun yang mulai rusak sana-sini akibat banyaknya kendaraan tentara hilir-mudik. Namun, sesungguhnya saya sedih melihat perkembangan situasi. Apalagi ketika Bung Karno tak lagi di Istana Bogor dan dibawa ke Jakarta.
Bagaimanapun, selama setahun saya termasuk sering berinteraksi dengan Bung Karno. Hampir tiap akhir pekan Bung Karno selalu ke Bogor. Dan pagi-pagi sekali ia sering berkeliling, memberi perhatian atas kondisi Kebun Raya.
Pernah suatu ketika, saya ditegur karena ada drum aspal di jalan. ”Itu ada drum bikin orang jatuh.” Saya sempat bingung juga menjelaskan, karena drum itu sengaja ditaruh di situ karena masih dipakai membuat aspal untuk perbaikan jalan. Banyak sekali kritik terhadap kondisi kebun, dari yang besar sampai yang kecil-kecil. Misalnya, ”Kok nisan makam Belanda itu nggak dibersihkan?”
Sesekali Bung Karno menggelar acara di Istana Bogor. Saya dan keluarga otomatis selalu diundang. Sudah pasti, banyak pejabat dan para artis datang. Mereka menyanyi dan menari lenso, di antaranya Titik Puspa yang waktu itu masih muda sekali.
Kadang-kadang ada pergelaran wayang. Saya datang juga dan duduk di barisan depan, tapi selalu tak habis menonton. Sudah menjadi komitmen saya dan istri, tak pernah mau lama ikut acara seperti itu. Biasanya, setelah makan atau mengobrol sebentar, kami pamit pulang lewat pintu belakang. Anak-anak di rumah sendirian. Lagi pula saat itu kami punya bayi.
Tinggal di kawasan Istana mesti berurusan dengan prosedur pengamanan. Kami tak luput. Di awal-awal, tata cara itu sungguh terasa mengganggu. Pernah, suatu ketika, saya melewati penjaga dari luar. Penjaga itu menegur dan meminta saya membuka kacamata. Padahal itu kacamata baca. Saya turuti saja. Hari berikutnya masih begitu lagi. Akhirnya ketika saya harus ke Istana Merdeka Jakarta, saya lapor ke komandannya. Kenapa prosedur pengamanan kadang tidak masuk akal.
Meski sering bertemu Bung Karno, bukan berarti saya tidak bisa bersikap kritis kepada beliau. Suatu hari, saya pernah ditelepon menghadap di ruang kerjanya di Istana Bogor. Gara-garanya, saya menentang kebijakannya soal riset pangan nasional.
Ceritanya, ada seorang pemulia tanaman bernama Jagoes menggunakan teknik pembiakan tembakau, berhasil mengawinkan sifat-sifat unggul padi. Eksperimen Jagoes itu berhasil menghasilkan butir padi yang sangat besar. Panjangnya bisa dua sentimeter.
Selain Jagoes, ada lagi Marto Soewondo. Dia mengklaim dapat meningkatkan hasil panen, dari yang biasanya dua-tiga ton, menjadi 20 ton per hektare.
Tim dari Istana menemui saya. Sebagai guru besar ilmu bercocok tanam, saya diminta membantu mengembangkan riset itu, tapi saya menolak karena itu tak mungkin diterapkan di lapangan. Memang, dalam penelitian di laboratorium bisa saja seorang peneliti mengawinkan sifat unggul padi dan menghasilkan gabah berukuran besar. Kalau harus ditanam di sawah, sebagai program nasional, tentu perlu bibit banyak sekali. Mustahil dilakukan dalam kondisi saat itu. Selain itu, riset Marto juga belum pernah dibuktikan.
Penentangan saya sampai juga ke telinga Bung Karno. Begitu beliau di Bogor, saya ditelepon dan diminta menghadap di ruang kerjanya. Di situ saya dimarahi karena berkukuh menolak pendapat itu. ”Kamu ini memang kontrarevolusi.” Satu jam lamanya saya dikuliahi soal revolusi. Setelah itu tak ada apa-apa. Ia tidak mengusir saya dari Kebun Raya.
Sejak muda saya sebenarnya pengagum Soekarno. Pidatonya panjang dan berapi-api membakar semangat. Itu pula yang membuat saya ikut mengangkat senjata dan membuat karya sebagai ilmuwan. Namun, tak sedikit pun terlintas di benak saya untuk beralih profesi menjadi politisi.
Meski begitu, ada rasa kecewa dalam diri saya. Seandainya Bung Karno mau mengundurkan diri pada 1961, tepat setelah Irian Jaya menjadi wilayah Republik Indonesia, ceritanya akan lain. Dia bisa dikenang seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan. Tak perlu menjadi korban dari sejarah kelam huru-hara politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo