Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=#FF0000>Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif</font><br />Penggandeng Preman Lereng Sindoro

Kebebasan beribadah kaum minoritas dijamin pemerintah kabupaten. Kini berfokus mengatasi kerusakan lingkungan.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelenteng Hok Hoo Bio berdiri megah di jantung pusat Kabupaten Wonosobo yang dingin. Dibangun pada 1949, kelenteng itu beberapa kali dipugar. Terakhir mantan presiden Abdurrahman Wahid hadir menyaksikan peresmian pemugaran oleh Bupati Kholiq Arif pada Desember 2009. Kelenteng ini seolah-olah menjadi simbol toleransi umat beragama di kota itu.

Penganut Konghucu, Tao, dan Buddha merayakan hari besar agama tanpa rasa takut. "Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman," kata Bupati Kholiq, Selasa pekan terakhir November lalu.

Ia menyilakan umat beribadah bebas. Ia mengatakan, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama-sama membayar pajak. Karena itu, Kholiq menegaskan, pemerintah bertanggung jawab memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah.

Pemerintah pun memberikan kemudahan bagi umat beragama yang hendak mendirikan tempat ibadah. Tentu ia melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, wadah dialog antariman kota itu. Warga suku Tionghoa, Imam Darmadi, mengatakan toleransi beragama di kotanya tinggi. "Sejumlah kiai dan habib kerap menghadiri undangan kami di kelenteng ini," ujarnya.

Di Wonosobo, kota yang membentang di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, juga ada setidaknya 6.000 penganut Ahmadiyah. Kholiq memberikan kebebasan kepada mereka buat beribadah. Mubalig Ahmadiyah, Sajid Ahmad Sutikno, mengatakan ketegasan Bupati membuat mereka aman. "Kami tidak punya masalah di sini," katanya.

Masalah sosial pun dihadapi Kholiq pada awal kepemimpinannya. Angka tawuran antarkampung, kerusuhan, dan kriminalitas cukup tinggi pada 2004-2010. Pada periode ini, kebakaran hebat menghanguskan pasar induk Wonosobo. Pencuri dibakar, perkelahian meledak, lalu toko-toko tutup lebih awal. Untuk mengatasi persoalan keamanan ini, sang Bupati merangkul para preman. "Mereka tidak boleh dibuang, kecuali melanggar hak orang lain," ujarnya.

Kholiq punya cara unik. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagamaan juga tradisi macapatan-tembang tradisional Jawa. Ia juga menggandeng komando distrik militer untuk memberikan terapi kepada para jawara itu.

Pekerjaan besar Kholiq lainnya adalah melakukan reformasi birokrasi. Jika reformasi birokrasi tidak terlaksana, ia menilai dirinya gagal sebagai bupati. Bupati menggunakan analisis jabatan dan struktur pemerintahan untuk menentukan pejabat. Strukturnya pun harus jelas. Karena Wonosobo tidak memiliki laut, dinas kelautan tak dibentuk.

Buah reformasi birokrasi ini setidaknya dinikmati Nurdi Raharjo. Pengusaha katering ini hanya butuh sebulan untuk mendapat izin. Pada saat mengurus izin usaha, ia tak mengeluarkan uang sepeser pun. Izin usaha itu meliputi surat izin usaha perdagangan, tanda daftar perusahaan, dan izin HO atau izin tempat usaha. "Surat izin turun dalam satu paket," katanya.

Kini perhatian Kholiq tercurah pada lingkungan. Wonosobo kehilangan 3 miliar meter kubik air karena 138 dari 582 mata air mati. Ia menyimpulkan hal ini merupakan akibat kerusakan lingkungan. Ia membatasi pertanian kentang, yang dinilai merusak lingkungan.

Sepanjang perjalanan dari jantung kota menuju kawasan Candi Dieng di dekat perbatasan Wonosobo-Banjarnegara, gunung dibabat habis untuk pertanian kentang. Bahkan kentang ditanam pada lahan dengan kemiringan di atas 70 derajat. Pertumbuhan tanaman ini mensyaratkan lahan terbuka tanpa pohon pelindung. Alhasil, tanah rawan longsor. Kholiq menggandeng Yayasan Kehati pimpinan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim untuk memulihkan kawasan ini. Mereka menggencarkan penanaman pohon di kawasan yang disebut "kakisu" alias kanan-kiri sungai itu.

Wonosobo juga menyusun kurikulum penyelamatan lingkungan di sekolah sejak 2010. Anak usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar diajari mengenal lingkungan dengan membentuk kelompok kebun bibit di sekolah masing-masing. Mereka bisa mengenal lingkungan sejak dini. Contohnya mengenalkan jenis-jenis pohon kepada anak-anak.

Galau Kholiq pada kerusakan lingkungan di kawasan Dieng berusaha diobati oleh kegiatan Aris Fathoni. Kepala Dusun Sidorejo, Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, ini menjadi pionir petani konservasi. Ia pun membentuk dan memimpin Kelompok Tani Konservasi Margo Rukun Desa Tieng. Kelompok ini mengkampanyekan gerakan menanam pohon untuk mengganti tanaman kentang. "Kawasan Dieng perlu diselamatkan," ucapnya.


H A. Kholiq Arif

Tempat dan tanggal lahir:

  • Wonosobo, 16 September 1968

    Pendidikan:

  • S-1 IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1992)

    Pekerjaan:

  • Wartawan Jawa Pos (1992-2000)

    Organisasi:

  • Wakil Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Tengah (2006-2009)

    Kekayaan:

  • Rp 114,5 juta (2005), Rp 315,4 juta (2008)
    Kabupaten Wonosobo
  • Jumlah kelurahan: 29 kelurahan
  • Jumlah desa: 236 desa
  • Jumlah kecamatan: 15 kecamatan
  • Jumlah penduduknya: 810.000 jiwa
  • Luas wilayah: 98.468 hektare
  • Potensi: ubi kayu atau ketela pohon, carica, kopi arabika, ubi jalar, teh, purwaceng, jagung, bawang merah, tembakau, kelapa, kakao, nanas, vanili, durian, kacang tanah, bawang daun, kubis, cabai besar, pisang, salak, bunga krisan, dan sansivera. Carica merupakan tanaman mirip pepaya dengan ukuran lebih kecil. Tanaman ini hanya bisa tumbuh di Pegunungan Dieng, Kecamatan Kejajar. Carica diperkirakan hanya bisa tumbuh di Dieng, Rusia, dan Argentina. Usaha pengolahan kayu meliputi kayu albasia, mahoni, jemitri, dan suren.

    Indeks Pembangunan Manusia

  • 2007: 68,91
  • 2008: 69,55
  • 2009: 70,08
  • 2010: 70,52

    TahunJumlah Pendapatan Asli DaerahJumlah Belanja Daerah
    2005Rp 23, 3 miliarRp 353,7 miliar
    2006Rp 30,6 miliarRp 461,2 miliar
    2007Rp 36,5 miliarRp 565,3 miliar
    2008Rp 38,1 miliarRp 661,3 miliar
    2009Rp 46,3 miliarRp 719,7 miliar
    2010Rp 60 miliarRp 679,6 miliar

    Olenka Sampai Che Guevara

    Duduk menghadap layar komputer, Bagas Era Setiawan meliuk-liukkan tubuhnya, mengikuti genderang perang yang terdengar dari pengeras suara. Gerakannya seperti hendak menghindar dan menyerang. "Saya main PlayStation setelah tadi lelah baca buku, biar enggak bosan," kata pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sapuran ini.

    Pada Senin terakhir November lalu, Bagas berada di antara bocah-bocah lain. Mereka sama sibuknya dengan game di komputer masing-masing. Suara dar-der-dor senapan permainan terdengar bersahut-sahutan, menembus jajaran rak penuh buku. Rak-rak ini memisahkan ruang baca dan ruang bermain game.

    Begitulah suasana sehari-hari Perpustakaan Al-Bidayah di Desa Puntuksari, Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Perpustakaan ini merupakan tempat favorit Bagas dan banyak bocah lain di desa itu setelah pulang sekolah. Mereka datang untuk bermain, sekaligus membaca-baca. "Saya suka baca komik One Piece," kata Imam Cahyo Saputro, siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Sapuran.

    Bagas dan Cahyo, yang tinggal tak jauh dari perpustakaan, mengatakan suka datang karena pengunjung tak harus terus-menerus membaca buku. Mereka juga bisa asyik bermain game komputer. Letak perpustakaan yang berhadapan dengan lapangan sepak bola Kecamatan Sapuran juga jadi pertimbangan. Jika bosan membaca, mereka bisa pindah ke lapangan untuk main bola atau menonton pemuda kampung berlatih sepak bola. Sebaliknya, jika bosan berada di lapangan, mereka tinggal jalan beberapa langkah untuk kembali membaca-baca buku.

    Anak-anak betah di Perpustakaan Al-Bidayah karena tak ada prosedur rumit untuk menikmati koleksinya: cukup menulis nama dan tanda tangan. Yang mengelola juga dianggap asyik, tak ingin membuat urusan rumit. Perpustakaan ini sekaligus membuka usaha fotokopi serta menjual perlengkapan sekolah dan kantor. Usaha ini dikelola koperasi. Di halamannya ada gazebo sederhana, untuk sekadar minum es buah. Di dekat pagar halaman depan, Agus, yang juga rajin terlibat penataan buku perpustakaan, menjual es buah pada sebuah gerobak sederhana.

    Al-Bidayah punya delapan rak buku dan empat pasang meja-kursi. Di ruang lain, ada galeri seni karya masyarakat desa. Di ruang baca tersedia setidaknya 5.000 buku. Ada buku tuntunan lengkap perawatan jenazah dan cara beternak ayam. Ada novel berbobot Olenka karya Budi Darma. Ada juga buku Che Guevara: Revolusi Rakyat. Sebagian besar koleksi buku itu mereka beli dengan swadaya masyarakat, hibah dari penduduk sekitar, serta bantuan perpustakaan daerah Wonosobo dan perpustakaan Provinsi Jawa Tengah.

    Perpustakaan desa ini beroperasi di bangunan bekas kantor desa. Bangunan ini sesungguhnya bukan kantor, melainkan rumah seperti yang dimiliki kebanyakan penduduk Sapuran. Bupati Wonosobo Kholiq Arif memberi izin kepada masyarakat untuk memanfaatkan bangunan milik desa sebagai perpustakaan. "Saya dorong masyarakat untuk rajin membaca agar wawasan mereka terbuka," ujar Kholiq.

    Al-Bidayah merupakan satu dari 80 perpustakaan desa di Wonosobo hasil dorongan Bupati Kholiq. Pada 2011, Al-Bidayah menjadi juara pertama nasional perpustakaan desa. Lomba diadakan Perpustakaan Nasional. Sebagai juara, Al-Bidayah mendapat hadiah uang pembinaan Rp 17 juta. Di tingkat provinsi dan kabupaten, Al-Bidayah juga kerap juara.

    Kepala Perpustakaan Al-Bidayah Dimas Ari Pamungkas mengatakan perpustakaan ini didirikan lima tahun lalu. Awalnya hanya sebuah ruang baca berukuran 3 x 6 meter di dalam Musala Baiturrahman, Desa Puntuksari. Ruangan itu disebut pojok buku Taman Pendidikan Quran. Embrio perpustakaan Al-Bidayah ini digagas Dimas Ari dan Muhtarom, guru mengaji di desa itu. Al-Bidayah berarti yang utama atau pertama. "Kami memang tinggal di desa. Kami tak ingin seperti katak dalam tempurung dan ketinggalan informasi," kata Dimas.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus