Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Wali Kota Banjar Herman Sutrisno</font><br />Pak Dokter yang Mengubah Desa

Dia membangkitkan Banjar, kota kecil itu, menjadi pusat pertumbuhan. Layanan dasar kesehatan dan pendidikan masyarakat terpenuhi.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI belum lagi menyengatkan sinarnya. Jumat pagi dua pekan lalu, sekitar pukul 06.15, delapan puluhan sepeda meluncur dari alun-alun Kota Banjar, Jawa Barat. Herman Sutrisno memimpin di barisan paling depan. Berkecepatan tak kurang dari 22,5 kilometer per jam, Wali Kota Banjar itu mengambil "rute datar" menuju Kecamatan Langensari. "Kami harus selalu menempel. Kalau tidak, tertinggal jauh," kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Yayan Heriana, yang berada di posisi buncit bersama Tempo, yang juga ikut bersepeda.

Menurut Yayan, sepeda ria ini kegiatan rutin Pak Wali Kota saban Jumat. Jalur putar yang tadi dilewati, sekitar 35 kilometer, merupakan rute normal. Kadang Herman mencari rute lain: jalan sempit, naik-turun, masuk-keluar desa. Bagi Herman, olahraga ini bukan sekadar menyalurkan hobi, tapi juga untuk melihat dari dekat perkembangan kota yang dipimpinnya. "Saya bisa tahu apa ada jalan yang sudah rusak. Kalau naik mobil, belum tentu terasa," ujar Herman.

Lelaki kelahiran Tasikmalaya ini mengenal seluk-beluk Banjar sejak tiga dekade lalu. Selepas kuliah pada 1979, dia ditugasi di Cisaga, Kabupaten Ciamis, sebagai dokter kecamatan. Wilayah ini berbatasan dengan Banjar—waktu itu masih satu kabupaten. Ia kerap blasak-blusuk ke pelosok, termasuk ke Banjar. Ketika itu, desa-desa masih gelap dan banyak jalan berupa tanah merah atau kerikil. Listrik baru masuk pada pertengahan 1980-an. Ia makin mengenal daerah tersebut saat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ciamis pada 1987.

Ketika Banjar mandiri sebagai kota pada 2003, Herman, yang menjadi formatur pemekaran, terpilih memimpin wilayah tersebut. Harapan masyarakat terhadap daerah yang terletak di ujung tenggara Jawa Barat—sekitar tiga jam perjalanan dari Bandung—itu begitu besar. Berbekal pengalaman mengelola Ciamis, dia menyiapkan segudang rencana. Selain membangun infrastruktur kota, seperti pengembangan jalan dan jembatan, dia berfokus pada peningkatan layanan dasar, yaitu kesehatan dan pendidikan.

Di bidang pengajaran, sebelum pemerintah pusat mencanangkan program Bantuan Operasional Sekolah, Herman sudah mengembangkan proyek "Angka Prediksi Drop Out" pada 2004. Setiap anak yang dinilai tidak dapat bersekolah lantaran kekurangan biaya dibantu Rp 250 ribu per tahun. Itu untuk siswa sekolah menengah pertama. Buat murid sekolah menengah atas, bantuannya Rp 500 ribu per siswa.

Agus Saputra, siswa kelas III SMA Negeri 3 Banjar, salah satu anak yang menikmati program ini. Dia nyaris putus belajar karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah Rp 100 ribu per bulan. "Alhamdulillah, orang tua saya tinggal menyiapkan Rp 700 ribu tiap tahun," kata Agus, yang menerima bantuan sejak kelas I. "Cukup meringankan beban orang tua," ujar siswa lain, Denda.

Kepala Seksi Pendidikan Menengah, Dinas Pendidikan, Asep Parjaman, mengatakan siswa yang ingin menerima bantuan tinggal mengisi formulir. Data itu kemudian diajukan ke pemerintah kota untuk diseleksi. Begitu Wali Kota meneken surat keputusan, dana langsung dikirim ke rekening sekolah. Hingga tahun ini, sudah sekitar 8.000 siswa menikmatinya.

Untuk pelayanan kesehatan, Herman membebaskan biaya berobat puskesmas bagi mereka yang membawa kartu penduduk. Hal yang sama berlaku jika mereka berobat ke rumah sakit daerah. Bedanya, yang satu ini hanya diberlakukan bagi warga miskin. Setahun berjalan, ternyata tak banyak warga berobat ke puskesmas. Usut punya usut, tahulah Herman mengapa hal itu terjadi. "Puskesmasnya memang gratis. Tapi perginya naik ojek. Itu berarti mereka harus membayar Rp 10-15 ribu," ujarnya.

Pak Dokter ini pun punya ide mendekatkan tempat layanan ke masyarakat. Dia membangun 42 pos kesehatan desa di 25 desa dan kelurahan. Setiap pos memiliki tenaga medis bidan dan perawat. Sedangkan dokter datang seminggu tiga kali. Puskesmas pun diperbanyak dari dua menjadi empat. Warga pun berduyun-duyun berobat. Indeks kepuasan masyarakat terhadap kesehatan terus naik. Rata-rata di atas 77 persen setiap tahun. "Di Banjar, yang susah itu uang. Kalau makanan, gampang."

Uang dan daya beli memang tantangan berat Herman. Bayangkan, ketika baru pemekaran, pendapatan Kota Banjar hanya sekitar Rp 3 miliar. Tak ayal, ia harus banyak berimprovisasi. Di antaranya memberi sumbangan Rp 10 juta kepada Koperasi Jemaah Masjid. Uang ini menjadi modal bergulir. Ada pula program "Rp 1 Miliar 1 Desa" per tahun yang dimulai pada 2007. Dari dana itu, Rp 350 juta guna membangun infrastruktur desa, yakni jalan dan jembatan. Sebanyak Rp 300 juta untuk pengembangan usaha produktif, seperti industri rumah tangga. Sisanya, Rp 350 juta, untuk mendirikan badan usaha milik desa.

Awalnya, sebagian besar badan usaha milik desa berfokus pada kegiatan simpan-pinjam. Lambat-laun kegiatannya berkembang ke kredit konsumtif, jasa, dan perdagangan. Ini yang terjadi di Badan Usaha Milik Desa Mekar Pratama di Desa Mekarharja, Kecamatan Purwaharja. Bahkan, tahun depan, mereka akan berekspansi ke Kabupaten Cilacap, mengingat posisinya di perbatasan dengan Jawa Tengah. Usaha-usaha seperti inilah yang turut menambah pendapatan daerah, yang kini membengkak menjadi Rp 41 miliar.

Tak semua sukses, karena ada juga badan usaha milik desa yang tumbang. Malah ada pengurus yang menyelewengkan duit perusahaan. "Ada yang nakal. Dua orang sudah masuk Kebon Waru," kata Herman merujuk pada Kantor Kejaksaan Negeri Banjar.

Untuk mencegah hal seperti itu terulang, Herman selalu mengingatkan anak buahnya agar selalu berhati-hati. Dia menekankan, pengguna anggaran berada di level kepala dinas. Karena itu, haruslah pintar memilih orang. Dia punya prinsip, seorang kepala daerah itu seperti kepala kebun binatang, harus pandai menilai manakah yang dianggap harimau, monyet, ayam, atau lainnya. Herman memberi contoh, jika orang itu dianggap ayam, dia bisa dikasih pekerjaan dengan cara penunjuk­an karena mudah diawasi. "Kalau ayam dikasih daging, pekerjaan tidak akan beres," katanya.

Dalam menilai orang itulah kadang Herman tak sejalan dengan anak buahnya. "Dia bilang harimau, saya bilang monyet," ujarnya sambil terkekeh. Bukan hanya soal orang, kadang dia pun tak sepaham dalam hal program yang ditawarkan. Misalnya, walau mengincar investor agar berbondong ke Banjar, dia melarang masuknya pasar retail modern, seperti Alfamart dan Indomaret, sejak 2008. Alasannya: bisa membunuh pedagang tradisional. "Giant juga pernah mengajukan izin, tapi saya tahan."

Walau berbeda, selalu ada jalan karena dia membuka pintu diskusi lebar-lebar. Ruang kerjanya terbuka menerima tamu dari banyak kalangan, terlebih warganya. Demikian pula dengan pendapa yang terletak di seberang alun-alun. Oleh Herman, pendapa itu difungsikan sebagai kantor sekaligus tempat menerima tamu dan siapa pun yang ingin bertemu dengannya.

Sikap inilah yang membuat dia dekat dengan masyarakat Banjar. Karena itu, tak aneh, pada pemilihan kepala daerah 2008 dia meraih 92,17 persen suara dan masuk Museum Rekor-Dunia Indonesia. Rekor yang hingga kini belum terpecahkan oleh kepala daerah mana pun.


Herman Sutrisno

Tempat dan tanggal lahir:

  • Tasikmalaya, 3 April 1951

    Partai: Golkar

    Perolehan suara: 90.220 suara atau 92,17 persen (Pilkada 2008)

    Riwayat Pendidikan:

  • Universitas Padjadjaran, S-1, Fakultas Kedokteran, lulus 1978
  • Universitas Padjadjaran, S-2, Magister Manajemen, lulus 1999
  • Universitas Pasundan, S-3, lulus 2009

    Riwayat Pekerjaan:

  • Ketua DPRD Kabupaten Ciamis (1987-1992)
  • Kepala UPF UGD Rumah Sakit Umum Ciamis (1993-1996)
  • Direktur Rumah Sakit Umum Ciamis (1997-1998)
  • Direktur Rumah Sakit Umum Banjar (1998-2004)
  • Wali Kota Banjar (2003-sekarang)
    Data Kota Banjar

    Luas: 13.200 hektare

    Jumlah penduduk:

  • 179.151 (2007), 180.767 (2008), 183.046 (2009), 185.043 (2010), 197.331 (2011)*

    Peta:

  • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; sebelah utara, barat, dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis (kasih peta)

    Pertumbuhan Ekonomi:

  • 4,82 persen (2008), 5,13 persen (2009), 5,28 persen (2010), 5,74 persen (2011)*

    Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia:

  • 74,25 (2009), 74,72 (2010), 75,63 (2011)*

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah:

  • Rp 311,82 miliar (2008), Rp 340,91 miliar (2009), Rp 365,08 miliar (2010), Rp 357,17 miliar (2011), Rp 387,84 miliar (2012)

    Pendapatan Asli Daerah:

  • Rp 24,4 miliar (2008), Rp 26,2 miliar (2009), Rp 35,17 miliar (2010), Rp 41,34 miliar (2011), Rp 41,83 miliar (2012)
    Kampung KB ala Herman

    PENAMPILAN Abdul Hajar bak pengantin sunat. Kain sarungnya yang terikat di pinggang menjuntai hingga kaki. Matanya menatap persawahan. Sesekali bibirnya tertarik, seperti menahan sakit. Jumat dua pekan lalu, seharian dia memilih istirahat di ruang depan rumahnya di Kampung Sindang Mulya, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat.

    Sehari sebelumnya, Abdul menjalani operasi kecil, vasektomi. Operasi dilakukan di Puskesmas Purwaharja. Ayah empat anak itu tak ingin memiliki keturunan lagi. Lima tahun terakhir, ia juga tidak bekerja karena stroke. "Saya kasihan, istri terus makan pil KB," kata pria 58 tahun itu.

    Dengan pertimbangan masalah ekonomi, ratusan laki-laki di kampungnya melakukan hal yang sama. Rata-rata berusia 45 tahun ke atas. Mereka yang menjadi akseptor mendapat "fasilitas" antar-jemput. Mereka juga diberi Rp 350 ribu dari pemerintah kota. Itu sebagai kompensasi karena setelah operasi, untuk sementara, mereka dilarang bekerja berat.

    Sejak 2007, Wali Kota Banjar Herman Sutrisno memang menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) di wilayahnya. Salah satu caranya adalah membuat program "Kampung KB". Saat itu, ia membuat lima kampung percontohan. Kini kampung KB sudah "mekar," jadi 21. "Dulu persoalan KB tidak tergarap karena saat itu sedang sibuk proses pemekaran Kota Banjar dari Ciamis," ujar Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Banjar Obang Subarman.

    Kampung-kampung KB memiliki penampilan khas: gerbang desa berupa gapura beratap ijuk dengan tulisan "Selamat Datang di Kampung KB". Begitu kita masuk, di setiap persimpangan jalan tampak plang yang menunjukkan arah jalan. Lagi-lagi nama jalan itu menyiratkan "semangat" kampung tersebut, semangat ber-KB. Misalnya Gang Kondom, Gang Spiral, Gang Implan, Gang Pil, Gang Suntik, dan Gang IUD.

    Ciri khas lain adanya saung—bentuknya semacam gazebo—yang disebut "saung sawala". Inilah tempat multiguna, bisa dipakai untuk berbagai acara. Di Kampung KB Dusun Balokang Patrol, Desa Jajawar, seperti yang dilihat Tempo, misalnya, saung tersebut selalu penuh orang. Ada kegiatan Bina Keluarga Balita, yakni pemeriksaan kesehatan anak dan pendidikan untuk anak usia dini, yang rutin diselenggarakan tiga kali sepekan.

    Di saung itu pula digelar penyuluhan untuk anak-anak remaja, seperti pengenalan alat kontrasepsi, pengenalan alat reproduksi, dan penyuluhan tentang narkoba. Adapun untuk mereka yang berusia lanjut, ada kegiatan yang isinya mengajari mereka menjaga kesehatan.

    Bukan hanya soal KB yang menjadi perhatian Herman. Kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga diadakan. Herman melakukannya dengan cara mendirikan Unit Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera, yang terdapat di setiap kampung. Tujuannya agar istri tidak bergantung sepenuhnya pada suami. Bantuan yang diberikan berupa permodalan dan pemasaran. Mayoritas perempuan di kampung ini bekerja sebagai pemecah batu split dan pembuat bata merah atau membuka warung. Nah, lewat unit tadi, hasil kerja para perempuan itu dipasarkan ke luar daerah. "Agar para istri memiliki pendapatan," kata Ketua Unit Kampung Balokan Ida Farida.

    Di seluruh kota, peserta Kampung KB sekitar 26 ribu keluarga—dari sekitar 32 ribu pasangan usia subur. Sebagian besar merupakan keluarga miskin. "Selain untuk menekan laju penduduk, ini untuk pemberdayaan ekonomi," kata Herman Sutrisno. Yang dilakukan Herman memang tak sia-sia. Itu pula yang membuat dia, pada 2011, mendapat Innovative Government Award dari Kementerian Dalam Negeri.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus