Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umur saya sekarang 72 tahun. Saya ingat, saat di Jakarta terjadi Gestok atau Gerakan Satu Oktober 1965, di Bali saya menjabat Sekretaris Partai Nasional Indonesia (PNI) Desa Baluk, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Peristiwa penculikan jenderal di Jakarta membuat panas wilayah Jembrana, termasuk Desa Baluk, tempat tinggal saya. Sebetulnya telah lama hubungan antara PNI dan Partai Komunis Indonesia negatif.
Saya ingat ada kejadian berdarah di Desa Tegal Badeng, Jembrana. Saya mendengar seorang tentara tewas terbunuh setelah mengintai rapat gelap orang-orang PKI di sebuah rumah dekat pura di Tegal Badeng. Seorang polisi yang membekingi rapat itu memuntahkan peluru.
Insiden itu menyebar ke seluruh Jembrana. Kodim memutuskan menumpas semua anggota PKI di Kabupaten Jembrana. Di Desa Baluk kebetulan dibangun pos komando tepat di tanah yang sekarang berdiri Balai Desa Baluk. Pemimpinnya Ketua PNI saat itu. Sesuai dengan perintah kodim, PNI kemudian membentuk satu peleton pasukan inti, 37 orang, termasuk saya.
Pasukan inti itu disebut Tameng, yang dibentuk di setiap desa di seluruh Jembrana. Kelompok kami dinamakan pasukan Rantai, berani mati membela partai. Tameng dibekali pedang, mengenakan baju dan celana serba hitam, serta memakai baret merah. Tugas kami menjemput dan mengeksekusi orang-orang PKI menurut daftar nama yang diberikan kodim.
Kami dilatih ketangkasan untuk berjaga-jaga bila ada perlawanan dari orang yang akan kami tangkap. Ada orang PKI yang memiliki ilmu kebal. Regu saya pernah membasmi PKI di Desa Brambang, Jembrana. Di sana ada orang PKI yang tak mempan peluru. Untungnya dia langsung mati setelah kepalanya putus ditebas pedang.
Setiap hari, selama kurang-lebih tiga bulan, kami harus tinggal di pos menunggu perintah dari kodim. Waktu itu suasana sangat mencekam. Siang hari tidak ada penduduk yang berani berkeliaran. Kalau malam, orang tak ada yang menyalakan lampu.
Saya ingat, awalnya kami mendapat "setoran" 90 orang PKI. Sebagian besar dari Desa Tegal Badeng. Malam itu juga mereka kami eksekusi dengan cara ditebas lehernya atau ditusuk dadanya dengan kelewang atau pedang. Saya, yang sebelumnya tak pernah membunuh orang, awalnya merasa takut, tapi terpaksa saya lakukan. Mayat mereka kemudian diangkut dengan truk dan dikubur di lubang-lubang yang sudah disiapkan di pinggir Pantai Baluk Rening.
Wilayah kerja kami terentang dari Yehembang sampai Gilimanuk. Pos komando menjadi salah satu tempat eksekusi. Tapi kadang-kadang kami langsung membawa mereka hidup-hidup ke Pantai Baluk Rening. Di sana, mereka diminta berjajar menghadap pantai, lalu langsung kami tebas dari belakang.
Selain di Pantai Baluk Rening, kami menyediakan lubang-lubang untuk mengu-bur mayat orang-orang PKI, yang biasa kami sebut lubang-lubang buaya, di Pantai Cupel dan Pantai Candi Kusuma di wilayah Kecamatan Malaya. Kawasan pantai jadi pilihan karena lebih gampang digali. Satu lubang isinya bisa 20 mayat, tergantung berapa orang PKI yang dihabisi saat itu.
Walaupun dari pusat kami diminta menghabisi orang-orang PKI sampai ke akar-akarnya, saya dan teman-teman tetap pilih-pilih. Hanya orang yang betul-betul terlibat yang kami habisi. Berbekal surat perintah dari kodim, saya dan teman-teman satu regu diangkut menggunakan bus—ini juga rampasan dari PKI—ke desa yang menjadi target. Kami ditemani tentara dan seorang pengawal dari desa itu yang menunjukkan rumah orang-orang PKI yang akan dijemput tersebut. Untuk wilayah perkampungan yang jauh dari lubang-lubang buaya, mayat mereka kadang langsung kami cemplungkan ke sumur.
Selama bekerja, kami lebih banyak dikomando tentara dari kodim. Tapi pernah juga datang orang-orang dari RPKAD. Mereka melintasi pos melihat-lihat situasi, menggunakan kendaraan semacam jip. Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa. Tapi mereka ganteng-ganteng, memakai seragam loreng kuning dan berbaret merah dengan senjata berpelitur serba kuning. RPKAD datang ketika keadaan agak aman.
Setelah tiga bulan, turun perintah untuk menghentikan kegiatan. Kami diminta kembali ke rumah. Kalau mengingat bagaimana jerih payah kami waktu itu, rasanya seperti tulisan dengan pensil yang gampang terhapus. Tak ada upah, tak ada yang mengucapkan terima kasih. Selesai, lalu disuruh pulang. Tapi, sudahlah, yang penting saya sudah ikut mengamankan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo