Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khawatir konsentrasinya dalam mengatasi kisruh ujian nasional terganggu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menghindari koran dan televisi. "Takut terbawa emosi," kata guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Penyebabnya, siswa sekolah menengah atas di sebelas provinsi harus merasakan tekanan lebih lama, karena jadwal ujian mereka diundurkan hingga empat hari. Lembar soal yang seharusnya mereka kerjakan masih teronggok di tempat percetakan. Nuh dinilai gagal menjalankan tugas dan dituntut mundur. Empat tahun menjadi Menteri Pendidikan, ia mengatakan, "Terus terang, ini pelaksanaan ujian nasional paling berat."
Kepada Bagja Hidayat, Anton Septian, dan Aryani Kristanti dari Tempo, Nuh menceritakan kronologi pelaksanaan ujian itu. Wawancara hampir dua jam itu dilakukan di ruang kerjanya, lantai dua gedung Kementerian Pendidikan. Setumpuk dokumen tergelar di mejanya. Ia beberapa kali "menantang" dengan pertanyaan: "Apa lagi, apa lagi?"
Penyelenggaraan ujian nasional tahun ini paling kacau….
Terserah saja, tapi harus didudukkan perkaranya. Ujian nasional adalah kegiatan rutin yang terus kami evaluasi pada substansi dan penyelenggaraannya. Tahun ini yang ditonjolkan evaluasi substansi atau disebut integrasi vertikal.
Apa maksudnya?
Selama ini ujian nasional SD dan SMP bisa untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Namun ujian nasional di tingkat sekolah menengah atas tidak bisa untuk masuk perguruan tinggi. Logika saya sederhana saja, karena ada kurikulum yang tidak nyambung.
Saya mengajak silaturahmi Majelis Rektor Perguruan Tinggi. Kalau mereka tidak percaya sisi materi, ayo ikut membuat soal. Ada perwakilan 63 perguruan tinggi yang ikut. Guna menepis isu soal bocor dan praktek nyontek, mereka kami ikutkan dalam pelaksanaan. Karena itu, para rektor sepakat seleksi masuk perguruan tinggi negeri tahun ini cukup menggunakan rapor dan hasil ujian nasional, dengan standar masing-masing universitas. Tapi pelaksanaannya memang berat, karena di luar dugaan ada wanprestasi dari percetakan.
Kapan Anda tahu Ghalia Indonesia gagal memenuhi tenggat?
Kamis sore dua pekan lalu (tiga pekan lalu), setelah mendapat laporan dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Khairil Anwar Notodiputro dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan M. Aman Wirakartakusumah. Sebelumnya, saat dicek ke lapangan, Ghalia masih menyatakan sanggup. Baru satu hari kemudian mereka bilang tidak bisa.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Saya langsung menelepon Kepala Staf Angkatan Udara dan Asisten Operasi. Mereka saya perlukan untuk distribusi logistik. Artinya, kalau Ghalia merampungkan pencetakan, bisa langsung dikirim.
Jadi, saat pertama kali mendapat kabar, Anda belum tahu kapan pencetakan soal bisa selesai?
Belum. Sehari setelah mendapat laporan, saya langsung ke pabrik Ghalia di Rancamaya, Bogor, sampai pukul satu dinihari. Belum ada kepastian kapan bisa selesai. Sampai Minggu, saya dapat ancar-ancar ini tidak akan selesai. Pilihan hanya ada dua: ditunda di sebelas provinsi yang dipasok Ghalia atau ditunda seluruhnya.
Minggu siang, saya mengumpulkan wakil menteri dan semua pejabat eselon I untuk menyampaikan masalah.
Apa hasil rapat itu?
Tertundanya Ghalia pasti berdampak, bahkan berdarah-darah. Jadi, dipikirkan cara meminimalkan supaya tidak kolaps. Kami putuskan menunda, tapi hanya sebelas provinsi. Itu ada dasarnya, yaitu soal setiap zona berbeda.
Kami mendapat laporan para pengawas di pelosok daerah sudah bergerak dan naskah juga sudah ada yang sampai ke lokasi. Kalau ditunda semuanya, betapa kecewa 22 provinsi yang sudah siap. Kalau gara-gara Ghalia semua ditunda, tambah kacau.
Kenapa tidak dialihkan ke percetakan zona lain?
Soal setiap zona berbeda, jadi tidak mungkin. Untungnya, Ghalia ini zona tengah: Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan seluruh Sulawesi. Saya tidak bisa membayangkan kalau ada satu provinsi di Indonesia barat atau timur yang tertunda, makin bubar lagi.
Kenapa dipilih ditunda hingga Kamis?
Ada yang bertanya kenapa tidak ditunda satu pekan. Menanti selama satu pekan digempur habis oleh media. Tidak hanya oleh media, tapi juga macam-macam. Maka kami memutuskan jalan semampunya.
Ketika memutuskan menunda, apakah Anda melapor ke Presiden?
Sabtu, saya sudah menitipkan pesan ke Presiden lewat Julian Pasha (juru bicara Presiden) bahwa ada kemungkinan sebagian pelaksanaan ujian nasional ditunda.
Jadi, sewaktu lapor pada Selasa dua pekan lalu, saya memohon izin penundaan di sebelas provinsi. Beliau hanya bilang, "Oke, lakukan investigasi dan hasilnya sampaikan ke publik."
Apa alasan yang disampaikan Ghalia?
Pak Hamzah (Hamzah Lukman, Direktur Utama Ghalia) hanya menyebut, maaf tidak bisa. Isinya hanya dongkol.
Tapi mereka menyebut karena kekurangan hari kerja dari 60 jadi 25 hari?
Lho, yang lain segitu juga. Tapi yang lain Kamis, 11 April, sudah ada yang kirim dan sampai ke tujuan. Ini ngepakin saja belum.
Terlambatnya tender apakah akibat anggaran Kementerian yang diberi tanda bintang?
Pengumumannya sudah sejak 23-30 Januari. Dan ada masa sanggah 22-26 Februari. Kalau dia tidak sanggup karena alasan waktu mepet, semestinya menyerah saja. Harusnya gentle mundur, itu etika bisnisnya. Sewaktu teken kontrak, dia sudah tahu kapan ujiannya.
Jadi, tidak ada alasan Ghalia yang bisa diterima?
Alasan bisa seribu, tapi yang benar cuma satu, tidak mampu. Karena itu, akhirnya diputuskan kami mengambil alih dengan berbagai pertimbangan.
Maksudnya mengambil alih?
Penyelenggara ujian nasional sesuai dengan Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 itu adalah BSNP, didukung banyak pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak ada nama menteri dalam penyelenggara ujian nasional.
Jadi, seharusnya yang mengecek mampu-tidaknya Ghalia itu BSNP?
Saya tidak mau melempar. Saya hanya ingin Saudara tahu siapa penyelenggaranya.
Lalu buat apa diambil alih?
Senin dua pekan lalu itu, Ghalia belum mulai mencetak soal ujian nasional SMP yang akan dilaksanakan pada 22 April. Ini persis efek kartu domino. Begitu satu roboh, semua ikut roboh, karena satu paket tendernya untuk soal SMP dan SMA. Kalau SMP juga mundur, bubar sudah.
Saya sempat menanyakan ke Hamzah Lukman, apakah sanggup menyelesaikan soal SMP. Dia tidak menjawab. Akhirnya saya putuskan ambil alih, dan menyerahkan ke perusahaan pemenang yang lain, yaitu Pura Barutama, Temprina, dan Jasuindo. Ghalia tetap kami beri pekerjaan yang paling mudah, yaitu wilayah Bali.
Apakah langkah ini tidak melanggar?
Sebelum mengambil keputusan, saya bertanya dulu ke Inspektur Jenderal. Dijawab boleh karena tiga perusahaan itu punya kewenangan mencetak soal. Kalau subkontrak ke perusahaan lain, itu baru fatal.
Jadi, namanya bukan subkontrak?
Ini pengalihan atau kerja sama, karena nanti saya bilang penyelesaiannya business to business, ya. Saya tidak ikut-ikutan sama sekali.
Tapi kan Ghalia hanya di sebelas provinsi?
Jangan bilang hanya sebelas provinsi, satu kabupaten saja tidak bisa terlaksana, ramainya bukan main. Ada 500 kabupaten dan kota, Bogor digeser dua jam saja ramainya seakan-akan yang 400 itu tidak ada artinya.
Anda tidak akan mundur?
Saya membaca ini cara Gusti Pangeran Yang Mahakuasa menguji kita. Lulus atau tidak, tergantung yang mbiji (menilai). Kalau ada yang minta saya bertanggung jawab dan mundur, ya, akan saya goda saja: dulu waktu saya jadi menteri juga bukan sampean yang dukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo