Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Terry Mart</font><br />Anak Palembang Pembelah Atom

Fisikawan penemu partikel subatom dari Palembang. Program komputernya menjadi acuan fisikawan partikel dunia.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG bisa menyangka fisikawan Universitas Indonesia ini sebagai bule jika membaca namanya saja. Padahal Terry Mart adalah "wong kito galo" tulen. Dengan nama tersebut, pria kelahiran Palembang 47 tahun lalu itu menyusup ke daftar fisikawan kelas dunia.

Nama itu pemberian ayahnya, Muhammad Yusuf Rahman, yang pernah belajar ilmu perpustakaan di Adelaide Teachers College, Australia. Terry diambil dari nama dosennya, Terry Moore. Mart diberikan karena ia lahir pada bulan Maret. Jadilah Terry Mart.

Namanya tertulis dalam buku babon fisika seri­buan halaman, Particle Data Group, yang mendaftar partikel temuan ahli fisika seluruh dunia. Sejak 2000, namanya bersanding dengan partikel D13(1895) di kitab suci fisikawan tersebut. Terry adalah penemu partikel itu. "Hingga kini belum ada eksperimen yang membantah temuan ini," ujarnya.

Partikel D13 (1895) merupakan bagian dari kisah fisika tentang materi penyusun atom. Ini merupakan kepingan puzzle yang terus dilengkapi para fisikawan, sejak mereka menyingkirkan definisi atom dari era Pangeran Diponegoro. Pada abad ke-17, para ahli kimia meyakini, bila mereka terus-menerus membelah benda, apa pun benda itu, akhirnya benda tersebut tak bisa lagi dicacah bahkan dengan metode kimia. Itulah atom, materi terkecil yang tak bisa lagi dilihat dengan mata biasa saking reniknya.

Pada akhir abad ke-19, para ahli fisika menemukan adanya struktur dan komponen subatom di dalam atom, yang menunjukkan bahwa atom masih bisa dibelah lagi. Diameter sub­atom ini tak kalah kecil. Bagilah 1 milimeter menjadi satu triliun bagian; itulah diameter subatom. D13 adalah salah satu partikel subatom itu.

Terry membuat temuan tersebut ketika bergabung dengan SAPHIR, sebuah kolaborasi dari 40 ahli fisika partikel asal Jerman, Amerika, dan Jepang. Mahasiswa program doktoral Universitas Mainz, Jerman, itu menjadi fisikawan negara Dunia Ketiga satu-satunya.

Dalam sebuah eksperimen di Bonn, Jerman, ia menemukan inti atom bertingkah tak biasanya. Dengan analisis statistik, ia sampai pada kesimpulan bahwa inti atom mendadak bertingkah ganjil karena sedang melepaskan partikel D13 pada energi 1.895 juta elektronvolt. Ia bersama mentornya, Cornelius Bennhold, dari George Washington University melaporkan penemuan partikel D13 di jurnal terkemuka, Physical Review, pada 1999.

Makalah itu segera menjadi perbincangan fisikawan partikel. Maklum, D13 berjenis kaon, satu dari empat jenis partikel yang mungkin ada, tapi tak banyak diharapkan kemunculannya. Komunitas pencacah karya ilmiah internasional, SLAC-SPIRES, pada 2009 mencatat karya tersebut termasuk 400 artikel yang paling banyak dikutip. Berada di peringkat ke-68, karya itu sudah dikutip 118 kali oleh ilmuwan lain.

Kontribusi Terry pada fisika partikel semakin mencorong dengan diterbitkannya model interaksi partikel Kaon-Maid pada 2000. Program komputer ini dipakai fisikawan partikel di seluruh dunia untuk memeriksa hasil percobaan mereka.

Program yang bisa diakses online itu ia tempatkan di server Universitas Mainz, karena kala itu kampusnya memiliki akses Internet kecepatan tinggi. Namun, pada 2013, ia berencana memindahkan Kaon-Maid ke kampus Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Tentu saja Kaon-Maid versi anyar. Sementara Kaon-Maid yang lawas disusun dengan acuan 300 data eksperimen, Kaon-Maid baru bakal memakai 5.000 data eksperimen. "Fisikawan partikel akan melihat ke Universitas Indonesia untuk mengecek penelitian mereka," katanya.

Atas sumbangannya terhadap perkembangan fisika, Terry sudah memetik banyak penghargaan. Pada 2001, ia meraih Habibie Award bidang ilmu dasar. Ia juga diakui sebagai Outstanding Sout­heast Asian Scientist dari South East Asia-European Union Network 2009. Pada Maret 2012, iadikukuhkan sebagai profesor ilmu fisika Universitas Indonesia.

Terry mengaku pekerjaan ayahnya sebagai guru dan pengurus perpustakaan keliling ikut menumbuhkan kecintaannya pada fisika. Dari buku-buku yang dibawa ayahnya ke rumah untuk diberi label, ia mendapat kesempatan membaca. Awalnya ia melahap dongeng Hans Christian Andersen, tapi akhirnya yang menarik perhatiannya adalah buku elektronika. Ia pun mulai membuat perangkat elektronik sendiri, dari amplifier hingga radio short wave.

Ketika duduk di sekolah menengah pertama, hobi elektronikanya ia pakai untuk membantu tetangganya membuat jaringan interkom. Ia masih ingat sepenggal kisahnya. Saat itu para tetangganya kebingungan memasukkan kabel listrik ke pipa bawah tanah sepanjang 10 meter. Tidak ada tongkat yang bisa mendorong kabel sejauh itu. Lalu Terry datang dengan ide cemerlang.

Ia memasukkan paku kecil yang tersambung benang ke ujung pipa di bawah tanah. Dengan mag­net, ia menggiring paku tersebut agar bergerak melintasi pipa. Para tetangganya berteriak-teriak kegirangan menonton aksi Terry.

Kejadian tersebut membekas di benak Terry. Menurut dia, orang sering terjebak dengan cara-cara tradisional untuk menyelesaikan masalah. Padahal acap kali masalah harus diselesaikan dengan cara baru yang membutuhkan solusi kreatif. Fisika, kata dia, melatih manusia untuk mencari penyelesaian masalah dengan cara baru. "Logika harus diasah setiap saat supaya bisa menciptakan solusi baru," ujarnya.

Terry mengaku setiap saat otaknya tak pernah berhenti berpikir. Di mana pun ia berada, otaknya dipakai untuk menyelesaikan persoalan fisika yang ia temukan. "Fisikawan adalah profesi yang menuntut orang bekerja 24 jam," katanya.

Selama enam tahun Terry kuliah di Universitas Mainz—yang pintu gerbangnya bertulisan "Forschen und Lehren an den Grenzen des Wissens" (Meneliti dan Mengajar di Batas Cakrawala Pengetahuan—tak pernah ia menyia-nyiakan waktu. Pada musim panas, ketika mahasiswa lain memilih berlibur atau pulang kampung, ia terbang ke Washington, DC. Di sana, ia bersama Bennhold meneliti partikel. "Karena tidak pernah pulang, saya sempat disebut anak hilang," ujarnya.

Kini Terry sibuk menelisik ulang partikel D13. Ia berharap bisa mengenal lebih baik sifat partikel ini. Namun eksperimen itu bisa saja berujung di tempat baru. "Mungkin saja saya menemukan partikel ini tidak ada," katanya. "Tapi itulah fisika, kenyataan terus diperbaiki."


Terry Mart

Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 3 Maret 1965

Pekerjaan:

  • Dosen fisika

    Institusi:

  • Departemen Fisika Universitas Indonesia

    Pendidikan:

  • S-1 Departemen Fisika Universitas Indonesia S-3 Institut fur Kernphysik, Universitat Mainz, Jerman
  • Riset Pascadoktoral, George Washington University, Amerika Serikat

    Penghargaan:

  • Habibie Award Bidang Ilmu Dasar 2001
  • Outstanding Southeast Asian Scientist dari South East Asia-European Union Network 2009
  • Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Kementerian Pendidikan Nasional 2009
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus