Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Herawati Sudoyo, penelitian adalah petualangan. Hampir dua puluh tahun Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekul Eijkman ini keluar-masuk pelosok Indonesia. Ia mengambil ribuan sampel asam deoksiribonukleat (DNA) dari banyak penduduk Nusantara. "Penelitian seperti ini penting buat mengetahui variasi mutasi DNA etnis tertentu," kata Herawati, Juni lalu.
Ia melacak asal-usul dan jejak migrasi bangsa Austronesia, salah satu nenek moyang penduduk Nusantara. Sebanyak 2.745 sampel DNA penduduk dari 12 pulau di Indonesia, di antaranya Sumatera, Nias, Mentawai, Jawa, Bali, Sumba, Flores, Lembata, dan Alor, diambil dan diteliti.
Penelitian itu membawa Herawati hingga ke Madagaskar. Tujuh tahun lalu, di negara yang terletak di sebelah timur Afrika itu, ia melacak jejak migrasi gen penduduk Indonesia. Dalam proyek penelitian ini, Herawati bekerja sama dengan sejumlah ilmuwan, yakni Murray P. Cox dan Michael G. Nelson dari Institut Molekuler BioSciences Universitas Massey (Selandia Baru), Meryanne K. Tumonggor dari Departemen Antropologi Universitas Arizona (Amerika Serikat), serta Francois-X. Ricaut dari Universitas Toulouse (Prancis).
Sampel darah penduduk Madagaskar itu dibawa ke laboratorium Eijkman pada 2006. Ia meneliti 266 sampel DNA dari tiga suku di Madagaskar, yakni suku Mikea, yang mewakili suku pemburu di hutan; Vezo, mewakili suku nelayan; dan Merina, mewakili suku di dataran tinggi. Gen mitokondria penduduk Madagaskar itu dicocokkan dengan gen penduduk Indonesia.
Hasilnya, dari ribuan sampel DNA penduduk Indonesia, sekitar dua persen atau 45 sampel memiliki motif yang sama dengan gen Malagasi—sebutan bagi penduduk Madagaskar. Motif serupa terdapat pada 58 orang atau 22 persen sampel DNA yang diambil dari penduduk Madagaskar. Penelitian lain pada 133 penduduk Madagaskar juga membuktikan bahwa jalur maternal populasi Malagasi didominasi keturunan Indonesia.
Dibantu Murray P. Cox, data tersebut selanjutnya dimasukkan ke simulasi komputer UNIX sebanyak 40 juta kali—yang lamanya setara dengan 1 tahun 3 bulan. "Ini buat menentukan jumlah populasi efektif, proporsi latar belakang genetika, dan waktu kolonisasi," katanya.
Rampung awal tahun ini, penelitian itu mengejutkan dunia internasional. Penelitian menyimpulkan bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar berasal dari 30 perempuan Indonesia yang datang ke sana 1.200 tahun silam. "Kontribusi mereka, baik dalam hal bahasa, budaya, maupun gen, mendominasi bangsa Madagaskar hingga sekarang," kata Herawati. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society.
Penelitian itu memberi jawaban ilmiah atas segala keunikan budaya penduduk Madagaskar selama ini. Meski secara geografis Madagaskar dan Afrika hanya berjarak 400 kilometer, budaya dan karakter fisik penduduk dua daerah itu sangat berbeda. Malagasi lebih mirip penduduk Indonesia. Padahal jarak antara Madagaskar dan dataran paling barat Indonesia mencapai lebih dari 6.400 kilometer.
Menurut Herawati, temuan itu tak hanya mampu membuktikan bahwa Indonesia dan Madagaskar memiliki hubungan persaudaraan. Hasil penelitian ini juga bisa dimanfaatkan bagi kepentingan riset genetika kesehatan kedua negara. "Penelitian itu bisa dikembangkan buat kebutuhan riset yang terkait dengan gen penyakit baru, beserta aplikasi medis dan bioteknologinya," ujar Herawati.
Riset tersebut bukan satu-satunya sumbangan Herawati. Delapan tahun lalu, ia menjadi perintis dan peletak dasar metode forensik disaster perpetrator identification berbasis analisis DNA mitokondria untuk mengungkap identitas pelaku bom bunuh diri. Metode forensik berbasis DNA itu berhasil mengungkap identitas pelaku bom bunuh diri di depan Kedutaan Australia pada 9 September 2004 hanya dalam dua pekan.
Herawati mulai tertarik menekuni riset genetika molekul saat ia menempuh program doktor di Monash University, Melbourne, Australia. Bidang penelitian ini, kata dia, penting bagi dunia kedokteran.
Semula anak sulung pasangan Supolo Prawotohadikusumo dan Harini Kasran itu ingin menjadi arsitek. Itu sebabnya, setelah lulus sekolah menengah atas, ia memilih Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung sebagai prioritas. Namun jalan hidup membawanya ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak diterima di jurusan yang didambakan tak membuat Herawati patah semangat.
Meski sebagian besar waktunya kini dihabiskan untuk bepergian ke berbagai pelosok dan mengamati DNA di laboratorium, Herawati tak meninggalkan cita-citanya sebagai arsitek. Sebagian waktu luangnya dipakai buat mempercantik rumah dan kantornya di Eijkman. "Saya tetap meraih cita-cita saya sebagai arsitek meski bukan dalam arti formal," katanya sambil tersenyum.
Herawati Sudoyo
Tempat dan tanggal lahir: Pare, 2 November 1951
Institusi:
Pendidikan:
Penghargaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo