Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIMPI Burhanuddin Abdullah menyamai rekor Rachmat Saleh menjadi Gubernur Bank Indonesia selama dua periode (1973-1983) pupus sudah. Di depan ratusan karyawan yang memadati ruang lobi markas BI di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu, ia memaklumatkan ketidaksediaannya dipilih kembali sebagai nakhoda bank sentral untuk lima tahun ke depan.
Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral Terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalannya untuk kembali memimpin bank sentral kian lempeng. Namun status tersangka yang disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi kepadanya, dua pekan lalu, menghentikan langkahnya. Ia dianggap ikut bertanggung jawab atas kasus dugaan ”suap” bank sentral ke sejumlah anggota DPR dan penegak hukum.
Untuk menjelaskan duduk perkara kasus itu, hampir tiga jam bankir senior kelahiran Garut 61 tahun silam ini, Jumat malam pekan lalu, menerima Metta Dharmasaputra, Nugroho Dewanto, Heri Susanto, Anne L. Handayani, Bagja Hidayat, dan Eko Nopiansyah untuk wawancara khusus di ”ruang darurat”—kantor sementara setelah ruang kerjanya disegel aparat KPK. Diselingi makan malam ”nasi kotak” ayam goreng, perbincangan dengan sejumlah catatan off the record ini baru berakhir menjelang pukul 23.00. ”Maaf, belum bisa saya buka semua, karena masih harus menunggu pemeriksaan KPK,” ujarnya parau.
Bagaimana kabar Anda?
Alhamdulillah, saya sehat-sehat saja.
Kok, terlihat lebih kurus?
Ya, karena saya puasa. Manusia itu sangat fragile, perlu mekanisme yang menopang.
Bagaimana menghadapi tekanan besar yang kini Anda alami?
Tentu sangat alami kalau di saat-saat awal saya kaget, terpukul, disoriented. Tapi saya selalu memegang hati saya untuk menemukan arti hidup sebagai seorang manusia. Dengan cara itu, saya bisa survive.
Reaksi Anda ketika ditetapkan sebagai tersangka?
Terus terang saya kaget, karena waktu yang dipakai untuk melakukan penyelidikan, khususnya bagi saya, rasanya sangat singkat. Saya tidak tahu persis kesimpulan yang diambil KPK dari sisi mana.
Bagaimana dengan penetapan status tersangka ini?
Kalau dilihat dari perjalanan waktu itu, saya memang amat tidak beruntung. Sebab, sewaktu pembahasan soal dana itu saya kan baru mengikuti rapat dewan gubernur (RDG) kedua dari masa jabatan saya. Pada 20 Mei 2003, ada RDG pagi-pagi. Saya dilantik siangnya. Pada RDG pertama ini yang dibahas beberapa agenda, seperti operasi pasar terbuka, dan hal-hal rutin lain.
Soal pembahasan dana bantuan hukum dan diseminasi?
Baru dilakukan pada RDG kedua tanggal 3 Juni. Ketika masuk ke RDG itu, saya baru saja menganggur 11 bulan dari BI. Tentu, karena saya New Kid on the Block, saya mendahulukan harmoni dan lebih banyak mendengar, daripada saya berinisiatif. Dalam waktu yang sangat singkat, saya tidak punya pengetahuan yang cukup mengenai situasi atau langkah yang harus dilakukan.
Bagaimana mekanisme dan pengambilan keputusan dalam RDG?
Dalam rapat reguler terdapat ringkasan eksekutif, minutes of meeting, keputusan, dan notulen rapat. Rapat ini untuk menetapkan kebijakan BI dalam fungsi utamanya di bidang moneter dan perbankan, misalnya membahas suku bunga. Biasanya pendapatnya berbeda-beda. Jadi, tidak perlu unanimous (suara bulat). Ada lagi rapat yang membahas hal-hal yang strategis dan dianggap cukup mendesak. Rapat ini harus bersifat unanimous. Tidak ada minutes of meeting. Semua harus setuju. Satu orang tidak setuju berarti tidak ada kesimpulan.
Rapat 3 Juni masuk kategori kedua?
Ya, itu merupakan rapat strategis, karena dianggap mendesak.
Jadi, keputusan rapat dilakukan bersama?
Betul.
Karena itu, Anda menyebutnya keputusan kolegial?
Dalam undang-undang disebutkan bahwa pengambilan keputusan berasaskan musyawarah untuk mufakat. (Staf Burhanuddin membacakan isi Pasal 43 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004.) Ini karena penguasa tertinggi di BI adalah Dewan Gubernur, bukan Gubernur BI. Itu sebabnya pula semua yang hadir di rapat itu bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Semua yang menandatangani harus bertanggung jawab.
Anda merasa diperlakukan tidak fair dijadikan tersangka sendirian?
Mungkin ini sebuah proses. Kita lihatlah ke depan seperti apa. Saya kira ini upaya pembelajaran buat kita semua.
Kenapa urusan bantuan hukum dan diseminasi dianggap hal strategis dan mendesak?
Saya harus bercerita panjang soal ini. Waktu itu dilaporkan ada hal-hal yang sangat strategis dan mendesak. Pertama, fakta bahwa BI waktu itu berlandaskan pada undang-undang yang sedang dalam proses amendemen. Jadi, kepastian sangat dipertanyakan. Proses amendemen itu sudah berlangsung sangat panjang. Kedua, hasil audit BPK atas laporan keuangan BI selalu disclaimer, karena ada aset yang belum jelas pertanggungjawabannya, yaitu soal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Alasan ketiga, banyak mantan anggota direksi BI yang mengalami persoalan legal dan perlu mendapat bantuan.
Lantas?
Dengan kondisi itu, BI tidak bisa bekerja optimal. Karena itulah intensinya waktu itu mencoba menghidupkan berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut. BI membutuhkan langkah untuk keluar dari kemelut. Dan kalau bicara tentang hasilnya beberapa tahun kemudian, kita lihat suku bunga bisa diturunkan dari sekitar 11 persen menjadi kurang dari 8 persen. Cadangan devisa meningkat dari sekitar US$ 28 miliar menjadi lebih dari US$ 50 miliar. Peringkat kita pun kini sudah mendekati investment grade.
Bagaimana aturan bantuan hukum kepada para mantan pejabat BI?
Itu ada di dalam Peraturan Dewan Gubernur tahun 2002.
Apakah Anda tidak melihat adanya kejanggalan dalam pengucuran dana?
Kalau saya flashback melihat kondisi pada 2003, apalagi pada 2005, perhatian saya sebagai Gubernur BI saat itu terfokus pada upaya menstabilkan moneter, ekonomi makro, dan sistem pembayaran. Apalagi pada 2005 saat perekonomian gonjang-ganjing akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Saat itu, dolar sudah Rp 11.800. Karena itu, hal-hal yang kita bicarakan ini luput dari perhatian saya.
Apakah tidak pernah ada pembahasan detail dalam RDG?
RDG itu hanya pada level kebijakan. Persoalan detail seperti itu tidak sempat dibahas. Hanya membahas masalah prinsipiil.
Jadi, apa yang dibicarakan dalam rapat 3 Juni?
Rapat pertama itu hanya meminta masalah ini dibicarakan dengan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) untuk mencari alternatif solusi. Jadi, belum ada implementasi. Masih merupakan alternatif. Lalu, di rapat 22 Juli dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan, dan sudah dilaporkan dimungkinkan untuk menggunakan dana tersebut. Dewan gubernur yang hadir lengkap. Pak Anwar Nasution (Ketua BPK) pun hadir dan ikut memberikan tanda tangan.
Akhirnya uang yayasan yang keluar?
Setelah saya mengecek belakangan, angka ini memang tidak ada di pembukuan BI. Jadi, tidak ada aliran dana dari BI. Karena itu, sebutan aliran dana BI ke DPR kurang tepat.
Jadi, seharusnya pengurus yayasan yang lebih banyak tahu?
Seharusnya begitu.
Menurut Aulia Pohan, uang di YPPI dari BI juga. Karena itu, BI yang harus bertanggung jawab….
Seharusnya kita berpikir YPPI dan BI sebagai dua entitas berbeda. Masing-masing punya undang-undangnya sendiri.
Anda berencana membongkar kasus ini?
Ini didasari semangat untuk menyelesaikan persoalan secepat mungkin. Kalau berlarut-larut, ada biaya yang cukup merisaukan, yaitu biaya ekonomi, biaya untuk masyarakat. Saya menyatakan ini bukan dengan kata buka-bukaan, tapi mari urai benang kusut ini. Artinya mencari penyelesaian yang adil.
Langkah Anda selanjutnya?
Saya akan berusaha sebaik mungkin membantu aparat penegak hukum. Saya pun akan sangat kooperatif, karena saya ingin dicatat sebagai warga negara yang taat hukum. Saya harus menjadi contoh bagi siapa pun yang akan meneruskan kepemimpinan di BI.
Apakah kasus ini akibat tarikan kepentingan dari luar BI?
Anda bisa tafsirkan sendiri….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo