Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOBOTNYA susut empat kilogram. Kantong matanya menggantung. Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ”suap” Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR dan aparat hukum, 28 Januari lalu, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah tak enak makan-tidur. ”Saya sempat disoriented, tak tahu harus berbuat apa,” katanya parau ketika ditemui Tempo di ”kantor darurat”-nya, Jumat malam lalu.
Ya, itu memang bukan ruang kerja yang biasa dia huni dalam lima tahun terakhir, sejak menjabat orang nomor satu di bank sentral. Aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyegel dan menyita berbagai dokumen di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Tak mengherankan, tawanya pun tak lagi kerap terdengar, yang membuatnya tak lagi akrab dengan stik golf. ”Saya baru tahu, main golf itu ternyata butuh ketawa,” katanya mencoba menghibur.
Buat Burhanuddin, pekan ini bisa jadi beban yang dipikulnya akan bertambah berat. Bila tak ada halangan, ia harus menjalani pemeriksaan di KPK, Selasa atau Rabu ini. Bukan tak mungkin ia harus mengikuti jejak Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan Kepala BI Surabaya Rusli Simanjuntak. Kedua anak buahnya itu, Rabu lalu, langsung masuk bui setelah diperiksa penyidik KPK.
Burhan, Oey, dan Rusli bernasib sama. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka kasus ”dana gelap” senilai total Rp 127,75 miliar ini, yang disalurkan lewat kantong Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Oey dituding menggerojokkan Rp 96,25 miliar ke aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia yang menjerat lima pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun Rusli diduga telah ”menghadiahkan” Rp 31,5 miliar kepada anggota DPR yang membahas amendemen Undang-Undang BI.
Buat Bank Indonesia, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Citranya bisa hancur lebur di mata internasional jika semua tudingan itu terbukti benar. Ongkosnya pun tak murah. Seorang sumber di bank sentral membisikkan, ketika Burhan dinyatakan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah.
Melihat besarnya ongkos yang harus ditanggung, Burhan memutuskan akan segera membongkar dan mengurai benang kusut aliran ”dana gelap” ini. ”Kalau berlarut-larut, ada biaya yang cukup merisaukan,” ujarnya. Ia pun sadar, hanya dengan itu ia bisa menyelamatkan tonggak kredibilitas dirinya yang kini goyah. Inilah masa tergelap dalam hidupnya yang 61 tahun ini. Tanpa langkah berani, ”Pupus sudah integritas yang saya bangun selama ini,” katanya.
Persoalannya, dari setumpuk dokumen terbaru yang diserahkan Indonesia Corruption Watch kepada KPK pekan lalu, borok ini tampaknya bakal kian lebar. Tak hanya semasa Burhan, para petinggi bank sentral di bawah kepemimpinan Syahril Sabirin, yang menjabat sebelum Mei 2003, bisa ikut terseret.
”Aliran dana dari BI sudah keluar sebelum masa kepemimpinan Burhanuddin,” ujar Teten Masduki, Koordinator ICW. Jika benar begitu, para mantan anggota dewan gubernur saat itu, seperti Aulia Pohan, Miranda S. Goeltom, dan Anwar Nasution (kini Ketua Badan Pemeriksa Keuangan) bisa ikut kena getahnya.
Semua tentu masih harus dibuktikan. Tapi, yang jelas, KPK akhir pekan lalu telah menambah 16 pejabat dan mantan pejabat bank sentral—termasuk Syahril dan Aulia—dalam daftar cekal mereka. Satu lainnya adalah mantan anggota Komisi Keuangan DPR Anthony Zeidra Abidin, yang kini menjabat Wakil Gubernur Jambi. ”Pekan ini akan ada tersangka baru,” kata Antasari Azhar, Ketua KPK.
KELUARNYA nama Syahril membuka lembaran baru dalam daftar penelusuran aliran dana ”suap” BI. Sebelumnya, aliran dana ini hanya berhulu di Burhanuddin Abdullah, yang menjabat Gubernur BI sejak 20 Mei 2003.
Syahril ikut tersangkut karena dua bulan sebelum lengser ia memimpin rapat dewan gubernur yang membahas dan menyetujui pemberian dana bantuan hukum kepada tiga direktur BI yang saat itu menjadi terdakwa kasus BLBI: Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, dan Heru Soepraptomo.
Keputusan rapat ini menjawab surat permohonan pinjaman dana dari tiga pejabat itu—masing-masing Rp 5 miliar—yang dikirimkan ke YPPI pada 17 Maret 2003. Di sini anehnya: kenapa surat ditujukan ke YPPI, yang jelas-jelas bergerak di bidang pendidikan? Padahal Bank Indonesia sudah punya Peraturan Dewan Gubernur Nomor 4/13/PDG/2002, yang mengatur soal bantuan hukum tanpa batas kepada karyawan dan bekas karyawan yang tersangkut perkara.
Anehnya lagi, jika surat ditujukan ke YPPI, kenapa kemudian dewan gubernur yang repot membahasnya. ”Siapa yang membawa persoalan YPPI ke rapat dewan gubernur,” ujar sumber Tempo. Dari sini kecurigaan muncul: jangan-jangan sudah bertahun-tahun YPPI kerap digunakan sebagai tempat keluar-masuk dana untuk hal-hal yang terbilang ”rawan”. Jika lewat pintu BI, alur keluar-masuk dana bisa dengan mudah terlacak audit BPK.
Keanehan ini pula yang kemudian menyulut tim BPK di bawah kepemimpinan Anwar Nasution mempersoalkannya—meskipun Anwar sendiri ikut serta dalam rapat-rapat pembahasan penggunaan dana YPPI ini ketika menjabat Deputi Gubernur Senior BI. Kata Anwar, kasus ini sebetulnya selesai jika duitnya bukan dari yayasan dan bukan untuk suap. Tak ada aturan yang memayungi duit bantuan hukum diambil dari selain kas BI. Inilah pokok masalahnya.
Dua nama yang kemudian dianggap paling bertanggung jawab untuk soal ini adalah Aulia Pohan dan Maman Somantri. Selain menjabat Deputi Gubernur BI, saat itu keduanya juga menjabat dewan pengawas yayasan. ”Waktu itu BI memang tak punya duit,” kata Aulia memberikan alasan kenapa dana akan digelontorkan dari YPPI. Direktorat Hukum BI tak bisa menyediakan dananya karena tak ada mekanisme pengajuan anggaran tambahan di tengah tahun.
Melihat kondisi itu, kata Aulia dan dibenarkan Burhanuddin, Bunbunan Hutapea selaku deputi gubernur yang mengurus keuangan internal BI punya ide. Ia yang mengusulkan agar sumber dana diperoleh dari YPPI. Ketika itu saldo yayasan Rp 205 miliar. Awalnya duit BI yang ditanam di sini cuma Rp 50 miliar. Bunga deposito yang melambung hingga 70 persen pada 1997 membuat jumlahnya menggelembung berkali lipat. Tempo sudah mencoba mengontak dan mencegat Bunbunan di rumahnya, tapi tak berhasil sampai tulisan ini diturunkan.
Aulia berulang-ulang menyangkal bahwa uang itu telah cair semasa Syahril Sabirin. Uang baru mengucur, kata besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, setelah rapat dewan gubernur pada 3 Juni 2003 yang dipimpin Burhanuddin—pengganti Syahril.
Namun bukti tanda terima duit Rp 5 miliar oleh Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, dan Heru Soepraptomo yang dimiliki Tempo menunjukkan dana telah cair pada masa Syahril. Ketika disodori bukti ini, Aulia akhirnya mengakui. ”Tapi itu kan uang pinjaman, sehingga tak masalah,” ujarnya.
Pernyataan Syahril lain lagi. ”Pada zaman saya memang ada bantuan hukum,” katanya kepada Anton Septian dari Tempo, ”tapi uangnya dari kas BI.” Menurut Syahril, ia tak berani bertanggung jawab mengeluarkan uang selain dari kas BI. ”YPPI kan yayasan pendidikan, kenapa harus mengambil dari sana?”
Mana yang benar, hingga kini tak jelas benar. Yang terang, ”kebiasaan” menggunakan YPPI sebagai tempat keluar-masuk dana terus berlanjut. Masih di masa Syahril, bekas Gubernur BI Soedradjad Djiwandono dan bekas Direktur BI Iwan Prawiranata juga mengajukan pinjaman dana bantuan hukum kepada YPPI.
Namun proses pencairan baru dilakukan semasa Syahril sudah digantikan oleh Burhanuddin. Persetujuan diberikan lewat rapat dewan gubernur pada 3 Juni 2003—dua pekan setelah Burhanuddin dilantik menjadi Gubernur BI. Dalam rapat kali ini, dibahas pula keperluan dana diseminasi alias penyebaran informasi untuk memoles citra bank sentral yang remuk akibat BPK selalu memberikan opini disclaimer atas laporan keuangannya yang terbelit masalah BLBI. Dana ”diseminasi” juga dibutuhkan karena saat itu sedang digodok amendemen UU BI.
Akhir kata, disepakati butuh dana Rp 100 miliar untuk dana bantuan hukum dan diseminasi yang harus disediakan YPPI. Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum, sedangkan Rp 31,5 miliar dialokasikan untuk diseminasi, yang kemudian diduga mengalir ke kantong para anggota Komisi Keuangan DPR. Rapat menugaskan Aulia dan Bunbunan membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus yayasan.
Dari sinilah heboh itu kemudian muncul. Diduga kuat dana itu dipakai sebagai ”uang pelicin” ke berbagai pihak: jaksa, hakim, dan anggota DPR. Jejak itu, misalnya, bisa tercium dari surat Kepala Biro Gubernur Rusli Simanjuntak dan Direktur Hukum Oey Hoey Tiong sebagai ”pelaksana lapangan” kepada Aulia dan Maman selaku Dewan Pengawas YPPI.
Dalam suratnya sepekan setelah rapat itu, Oey dan Rusli memerinci untuk apa saja duit itu. Antara lain disebutkan untuk kampanye nasional, diseminasi kepada stakeholder tertentu, dan diseminasi kepada lembaga yudikatif alias peradilan. Tahap pertama Rusli minta pencairan Rp 50 miliar.
Setelah itu pencairan cek terus terjadi. Pada 4 Juli 2003 Oey minta persetujuan Aulia mencairkan Rp 13,5 miliar untuk Iwan Prawiranata. Uang itu akan dipakai untuk ”diseminasi kepada stakeholder di Kejaksaan Agung dan mengembangkan isu-isu positif mengenai BI,” begitu bunyi surat itu. Ketika itu, Iwan dan Soedradjad sedang diperiksa dalam kasus BLBI.
Bukan tak mungkin uang segede itu dipakai untuk menyogok jaksa meringankan tuntutan kepada para mantan petinggi BI itu. Apalagi penyidikan kasus Soedradjad kemudian dihentikan, meski tak pernah diumumkan. Yan W. Mere, jaksa ketua kasus ini, menampik tudingan telah menerima suap. ”Itu fitnah,” kata Mere kepada Rika Panda dari Tempo.
Menurut Mere, SP3 kasus Soedradjad diputuskan oleh Jaksa Agung M.A. Rahman. Pertimbangannya, Gubernur BI periode 1993-1997 itu tak cukup bukti untuk diadili, karena status BI yang belum independen. BLBI, kata Mere, bukan murni keputusannya, melainkan keputusan pemerintah Soeharto. ”Untuk membuktikan saya terima suap, periksa saja,” katanya menantang.
Persoalan ini baru akan lebih terang jika Oey mau angkat bicara. Meski begitu, Aulia Pohan tak memungkiri soal ”bagi-bagi jatah” ini. ”Waktu itu banyak sekali yang meminta,” katanya. ”Jaksa, polisi, hakim, DPR, banyak sekali. Kami terjepit.”
Seorang sumber di BI menuturkan, sudah bukan rahasia umum bahwa permintaan ”uang pelicin” kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum dan sebagian anggota DPR. Karena itu, kata dia, jika mau adil, kasus aliran ”dana gelap” BI ini mesti ditelusuri sampai ke akar-akarnya. ”BI selama ini selalu diperas,” ujarnya. ”Karena itu, para penerima suap itu pun harus dibongkar.”
Memang tak mudah. Kepada auditor BPK, Rusli pernah mengaku menyerahkan dana ”diseminasi” Rp 31,5 miliar kepada Antony Zeidra Abidin dalam lima tahap di Hotel Hilton dan rumahnya. Adapun Asnar Ashari, anak buah Rusli, menyerahkannya kepada Hamka Yandhu, kolega Antony di Komisi Keuangan.
Tapi tak ada bukti keras tentang itu. Antony sudah bolak-balik membantah menerima duit tersebut. ”Saya terhina dengan tuduhan itu,” katanya. Sedangkan Hamka selalu bungkam ketika ditanya soal ini.
Badan Kehormatan DPR pekan lalu mengirimkan 16 inisial nama anggota Subkomisi Perbankan yang hadir dalam rapat-rapat pembahasan amendemen Undang-Undang BI. Namun sebagian besar dari mereka pun membantah keras. ”Dalam rapat panitia kerja saya tidak hadir,” kata Rizal Djalil dari Partai Amanat Nasional. Jejak ini kian kabur setelah Rusli belakangan malah mencabut kesaksiannya. Oey sendiri menolak diwawancarai. ”Jangan sekarang bicaranya,” katanya lewat telepon seluler.
DARI semua cerita ini, lantas siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas aliran ”dana gelap” ini? Burhanuddin dan Syahril sama-sama menyebut semua keputusan dewan gubernur bersifat kolegial. Artinya, keputusan ditanggung renteng oleh semua anggota dewan. Ia menyitir Undang-Undang BI UU BI No. 23 Tahun 1999, bahwa pemimpin bank sentral adalah dewan gubernur.
Semua keputusan, kata Burhan, dicapai dengan musyawarah untuk mufakat. Tapi, jika mufakat tak tercapai, pasal 43 ayat 3 menyebutkan, keputusan akhir ada di tangan Gubernur BI. ”Prakteknya itu tak terjadi,” katanya. Ia juga menegaskan, pembahasan hal-hal yang amat penting dilakukan dalam rapat strategis yang mensyaratkan suara bulat. ”Jika satu saja tak setuju, tak ada keputusan,” ujarnya.
Suara berbeda datang dari Aulia. Menurut dia, semua keputusan rapat menjadi tanggung jawab Gubernur BI. ”Tak ada kata kolegial,” katanya. Apalagi Gubernur BI punya hak prerogatif. ”Kami, para deputi, hanya menerima disposisi.”
Agar tak terjebak dalam debat kusir, pemeriksaan KPK atas semua pejabat BI yang terlibat diperlukan. Namun KPK hendaknya tak cuma mengusut di hulu, tapi juga ke para penerima suap di hilir aliran dana gelap itu. Paling tidak, indikasi ke arah sana sudah mulai terkuak. Ada anggota DPR dan hamba hukum yang terlibat.
Bagja Hidayat, Philipus Parera, Bayu Galih, Arti Ekawati
Strategi Permak Citra
PEMBERIAN ’suap’ kepada anggota DPR dan aparat hukum oleh Bank Indonesia direncanakan dengan sistematis.
20 Februari 2001 Direktur Bank Indonesia—Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo—menjadi tersangka penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
31 Mei 2002 Gubernur BI Soedradjad Djiwandono dan Deputi Gubernur Iwan Prawiranata menjadi tersangka kasus BLBI.
20 Maret 2003 Rapat Dewan Gubernur BI setuju memberi bantuan kepada mantan direksi itu.
20 Mei 2003 Burhanuddin Abdullah menggantikan Syahril sebagai Gubernur BI.
3 Juni 2003 Rapat Dewan Gubernur meminta YPPI menyediakan Rp 100 miliar untuk kebutuhan ”insidentil dan mendesak”: bantuan hukum, mengamankan pembahasan revisi Undang-Undang BI, dan memulihkan citra.
4 Juli 2003 Komisi Keuangan DPR menyetujui skema penyelesaian BLBI antara Bank Indonesia dan pemerintah melalui penerbitan surat utang pemerintah. Keputusan penyelesaian BLBI ini mengakhiri polemik selama tiga tahun.
15 September 2003 Rusli minta Aulia dan Maman setuju mencairkan sisa saldo YPPI Rp 16,5 miliar. Dua hari kemudian, menurut pengakuan Rusli kepada BPK, ia menyerahkan dana tahap ketiga kepada Antony Zeidra Abidin, Ketua Subkomisi Perbankan DPR.
29 Desember 2003 Pengadilan Tinggi membebaskan Paul Sutopo, Heru, dan Hendro. Soedrajad dan Iwan mendapat Surat Perintah Penghentian penyidikan dari Kejaksaan Agung.
15 Januari 2004 DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang merupakan amendemen dari UU Nomor 23/1999 setelah empat tahun dibahas.
23 Juni 2005 MA memvonis Heru Soepraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo masing-masing 1,5 tahun penjara.
1 Juni 2006 Ketua BPK Anwar Nasution dan Burhanuddin bertemu membahas pengeluaran uang itu. BI mengusulkan penggantinya hak guna serah tanah di Kemang selama 20 tahun. BPK menolak.
14 November 2006 BPK melaporkan temuan aliran dana tak wajar dan suap ini ke KPK dan Kejaksaan Agung.
23-26 November 2006 YPPI menyurati para mantan pejabat BI yang menerima uang agar membuat surat pengakuan utang.
November 2007 KPK menyelidiki skandal suap dari BI ke aparat hukum dan parlemen periode 1999-2003.
23 Januari 2008 Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, dan bekas Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak menjadi tersangka.
14 Februari 2008 Oey dan Rusli masuk penjara.
15 Februari 2008 KPK mencekal Aulia, Bunbunan, Aslim Tadjudin, Syahril, Antony, dan 12 orang lainnya
Mereka yang Disebut BPK
Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia mencantumkan nama para penegak hukum yang menangani perkara Bank Indonesia itu. Laporan BI ini juga menyebut-nyebut para anggota Komisi IX DPR, yang membidangi keuangan dan perbankan, periode itu. Mereka belum tentu menerima suap tersebut. Beberapa di antaranya, seperti Soemandjaja, menolak terlibat kejahatan itu. Berikut ini daftar nama tersebut.
Komisi IX DPR
Partai Golkar
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Kebangkitan Bangsa
Reformasi
TNI
Jaksa
Hakim
Pengadilan Negeri
Pengadilan Tinggi
Mahkamah Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo