Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA usia 62 tahun, seharusnya pensiunan Deputi Gubernur Bank Indonesia ini hidup tenang. Tapi kasus dugaan suap BI yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan menariknya kembali ke pusaran berita. Bukan tidak mungkin, sebagai pejabat yang turut memutuskan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang dihebohkan itu, dia juga akan dimintai pertanggungjawaban.
Aulia hadir di semua rapat dewan gubernur (RDG) yang membahas bantuan keuangan bagi para mantan pejabat BI dan untuk diseminasi amendemen Undang-Undang BI—sejak Gubernur BI dijabat Syahril Sabirin. Bahkan dia yang kemudian ditunjuk menjadi Koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan, lembaga bentukan RDG yang menjadi pintu keluar dana bantuan dari kas YPPI.
Sudah dua kali besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Jumat malam pekan lalu, namanya masuk daftar 17 orang yang dicekal. Kepada wartawan Tempo Metta Dharmasaputra, Philipus Parera, dan Bagja Hidayat di Wisma Bidakara, sore harinya, ia menjelaskan duduk perkara kasus ini. Tampil santai dengan setelan hem dan celana jins, ia juga membantah bertanggung jawab atas pengeluaran YPPI.
Jika begitu, kenapa setelah diperiksa KPK, Rabu pekan lalu, ia terkesan menghindar dari kejaran wartawan, seperti terekam dalam fotonya yang merunduk di dalam mobil? ”Waktu itu, banyak sekali orang,” ujarnya. ”Ada yang mendorong saya hingga saya terpeleset dan terjerembap di jok mobil.”
Apa alasan pengeluaran dana BI yang kini diramaikan?
Ketika itu, ada dua hal krusial. Pertama, para mantan pemimpin BI sedang menghadapi gugatan dan membutuhkan bantuan hukum. Kedua, citra BI sedang buruk. Karena itu, perlu upaya memperbaikinya, antara lain dengan diseminasi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI.
Mengapa permohonan dana bantuan hukum diajukan ke YPPI, bukan ke BI?
Permohonan itu ditujukan kepada Gubernur BI. YPPI cuma mendapat copy-nya. Itu baru disetujui di RDG tanggal 20 Maret dan 22 April 2003. Syahril Sabirin yang memimpin rapat. Peraturan Gubernur BI Tahun 2002 memang membolehkan bantuan hukum tersebut.
Dari dokumen kami, permohonan jelas-jelas diajukan ke YPPI? (Tempo menunjukkan surat dari Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Soedradjad Djiwandono untuk pinjaman masing-masing Rp 5 miliar.)
Oh, iya… tapi ini kan pinjaman. Ini bukan bagian dari Rp 100 miliar yang sekarang dipersoalkan.
Soal dugaan aliran dana ke DPR?
Waktu itu kan ada banyak persoalan BI, dari BLBI hingga RUU yang tumpang-tindih. Menurut DPR, perlu ada diskusi dengan ahli, seminar, hingga studi banding ke Thailand, Malaysia, Korea, Jerman, dan Amerika. Itu butuh dana tidak sedikit.
Kok, menggunakan uang dari YPPI?
BI belum ada anggarannya, padahal itu mendesak. Bunbunan Hutapea (Deputi Gubernur Bidang Keuangan Internal—Red.) mengusulkan memakai dana YPPI, yang ketika itu sekitar Rp 250 miliar. Sebab, uang itu sesungguhnya berasal dari BI sebesar Rp 50 miliar yang ditaruh di rekening yayasan pada 1997. Saat krisis, bunganya berlipat-lipat.
Jadi, ini sudah berlangsung sejak Syahril menjadi gubernur?
Ya, tapi ketika itu belum terealisasi. Uangnya belum cair. Baru pada rapat 3 Juni, setelah Syahril diganti, diputuskan untuk memakai uang YPPI.
Tapi beberapa dokumen menunjukkan sudah ada bantuan yang turun saat Syahril masih gubernur….
Memang ada. Tapi bentuknya pinjaman, bukan bantuan. Dan sudah dikembalikan. Anda bisa lihat di kuitansinya.
Isi surat permohonan pinjaman itu mengindikasikan akan ada upaya menyuap aparat hukum. Kok, tidak ada peserta RDG, termasuk Anda, yang keberatan?
Ya, tidaklah…. (Aulia tersenyum.)
Termasuk Anwar Nasution?
Anda tafsirkan sendiri. Dia kan tidak hadir cuma pada RDG 3 Juni 2003.
Apa Dewan Gubernur BI tahu ke mana saja uang suap itu akan mengalir?
Katanya untuk urusan dengan yang berwajib. Namanya berwajib kan banyak: jaksa, polisi, sampai ke bawah.
Bukankah Anda bisa terseret karena ikut menandatangani dan memberikan persetujuan?
Itu perintah. Payungnya RDG 3 Juni itu. Gubernur memberikan disposisi ke kami. Ya, laksanakan. Dan jangan lupa, tanggung jawab tidak ada yang bersifat kolegial. Itu hanya berlaku untuk pengambilan keputusan.
Jadi, gubernur yang harus bertanggung jawab?
Ya, dong.
Apakah pernah dilapori oleh Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak sebagai pelaksana soal penggunaan uang tersebut?
Hanya lisan, tidak tertulis.
Kenapa tidak minta?
Saya minta, tapi selalu dijawab nanti saja sekalian kalau sudah selesai semua.
Ini kan janggal, apakah tidak pernah dipersoalkan Dewan Gubernur BI? Kan, katanya ini uang BI?
Setahu saya tidak ada yang menanyakannya.
Benarkah ini mengalir ke DPR melalui Antony Zeidra Abidin?
Yang dilaporkan lisan kepada saya begitu.
Juga Hamka Yandhu?
Namanya juga disebut.
Apa uang YPPI sering dipakai untuk hal seperti ini?
Saya kira tidak. Ini yang pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo