Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang tak biasa Selasa siang pekan lalu. Ratusan karyawan memadati lobi dan lantai dua Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Puluhan wartawan media cetak dan elektronik diundang. Gemuruh tepuk tangan menyambut Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang datang bersama semua deputi gubernur.
Keheningan menyergap ketika Burhanuddin mulai berbicara. Suaranya parau, raut mukanya masam, dan senyumnya tertahan. Pidatonya tak lama, hanya enam menit. Pesannya juga cuma delapan poin. Tapi isi pernyataan yang disusun Dewan Gubernur BI itu cukup tajam menohok sejumlah kalangan.
Ia meminta hukum ditegakkan secara adil dalam kasus suap lembaga itu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia juga mendesak agar proses pemilihan gubernur dilakukan secara fair, bersih, obyektif, dan bertanggung jawab. ”Kami tak rela BI dipermainkan untuk kepentingan tertentu,” ujarnya.
Burhanuddin memang berada di tubir jurang. Pada 28 Januari lalu, bersama Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan bekas Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, pria kelahiran Garut 61 tahun silam itu ditetapkan menjadi tersangka kasus suap BI ke DPR. Pekan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi akan memeriksa Burhanuddin.
Bukan hanya tiga orang itu yang diduga terlibat. Gara-gara kasus ini, Jumat pekan lalu, 16 mantan petinggi Bank Indonesia, termasuk dua bekas Gubernur BI—Soedradjad Djiwandono dan Syahril Sabirin—juga dicekal meskipun mereka belum berstatus tersangka. Pendek kata, kasus suap ini menjadikan BI tak ubahnya panci penuh jelaga.
Gonjang-ganjing ini tak pelak membuat BI dan para pejabat atau mantan petingginya ”kalah perang” menjelang pemilihan Gubernur BI. Masa jabatan Burhanuddin akan habis pada 17 Mei 2008. Menurut Undang-Undang BI, Presiden harus mengajukan nama tiga bulan sebelum tanggal itu.
Jumat pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengajukan dua nama kandidat Gubernur BI ke DPR. Tak satu pun dari bank sentral. Dua nama itu adalah Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dan Wakil Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede.
Padahal, sebelum kisruh suap BI ini, sejumlah nama orang dalam Bank Indonesia muncul, termasuk Burhanuddin sendiri. Posisinya kuat karena membaiknya kinerja makroekonomi, seperti suku bunga menurun, inflasi dan kurs rupiah terjaga, serta pertumbuhan ekonomi membaik.
Nama lain yang digadang-gadang sejak beberapa pekan lalu, baik oleh politikus, bank sentral, maupun pemerintah, antara lain Miranda Goeltom, Hartadi Sarwono, dan Muliaman Hadad. Mantan pejabat BI yang bakal dimajukan adalah Aulia Pohan dan Anwar Nasution, yang sekarang menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Meski kewenangan mengusulkan kandidat Gubernur BI di tangan Presiden, beberapa partai politik tetap menggodok calon. Salah satu petinggi Partai Golkar, Hajriyanto Y. Thohari, misalnya, mengakui nama-nama itu masuk deretan kandidat Partai. ”Aulia Pohan dan Miranda Goeltom semula memiliki kans yang kuat,” katanya. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Emir Moeis, juga menjagokan Miranda untuk posisi teratas.
Bagi Golkar, ada dua jalur untuk meloloskan nama-nama yang digodok itu. Yang pertama melalui ketua umumnya yang juga wakil presiden, Jusuf Kalla. Bila itu tak berjalan efektif, jalur kedua akan ditempuh, yakni melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Toh, DPR bisa memilih salah satu atau menolak semua calon yang diajukan Presiden.
Atmosfer menuju BI-1 memang menguat beberapa bulan ini. Salah satu indikasinya, menurut ekonom Iman Sugema, adalah peluncuran buku tentang moneter oleh beberapa tokoh. Dengan penerbitan buku itu, masyarakat akan menilai mereka memiliki kemampuan menjabat Gubernur BI.
Akhir bulan lalu, entah kebetulan entah tidak, memang ada peluncuran sejumlah buku. Miranda, misalnya, menerbitkan buku berjudul Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience pada 23 Januari di Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta.
Satu pekan kemudian, giliran Aulia Pohan yang meluncurkan tiga buku sekaligus: Towards High Performance Organization, Potret Kebijakan Moneter Indonesia, serta Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia.
Saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, pekan lalu, Aulia mengakui banyak kalangan yang mendorongnya melaju ke kursi Gubernur BI. Namun besan Presiden SBY itu menolaknya karena khawatir dituding melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan ia menolak semua jabatan Deputi Gubernur BI.
Bagaimanapun, setelah laju pengusutan kasus aliran dana BI makin kencang, peta persaingan calon gubernur bank sentral berubah. Selain ada yang menjadi tersangka, sebagian menjadi saksi, bahkan sudah dipanggil berulang kali, dan sebagian lagi dicekal. Calon-calon dari BI pun kandas.
Menurut sumber dekat Istana, Presiden SBY tidak mau mengambil risiko dengan mengusung nama yang terkait dengan kasus aliran dana BI. Sikap itu dipertegas oleh Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa. ”Saya kira Anda tahu bagaimana karakter Presiden terhadap hal-hal seperti itu,” kata Hatta.
Bahkan, beberapa nama dari bank sentral yang tak tersangkut kasus BI, seperti Hartadi Sarwono dan Muliaman Hadad, juga hilang dari peredaran. Meski tak terkait, mereka dinilai tetap memiliki hubungan emosional yang dikhawatirkan berdampak buruk secara psikologis. Apalagi yang dihadapi BI saat ini adalah masalah governance, sehingga diperlukan orang luar yang kuat dan tidak terlibat.
Beberapa kandidat top itu akhirnya rontok. Jumlah calon menyusut, meski beberapa nama masih muncul silih berganti. Hanya ada satu kandidat yang selalu disebut namanya, yakni Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo. Nama lainnya redup-terang mirip lampu hias. Misalnya Darmin Nasution, Achjar Iljas, dan Erry Riyana Hardjapamekas.
Menurut pejabat di Istana, beberapa nama itu memang dipertimbangkan. Namun mereka dianggap sudah tepat berada di posisinya. Darmin, misalnya, mengakui namanya memang disebut-sebut sebagai kandidat. ”Namun, kalau soal benar-benar maju, nanti dulu,” ujarnya. Ia memiliki tugas penting melanjutkan pembenahan Direktorat Pajak, sumber pemasukan terbesar bagi negara.
Dua hari sebelum tenggat, tiba-tiba satu nama menyodok, yakni ekonom Raden Pardede. Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset itu akan bertanding dengan Agus Martowardojo berebut kursi Burhanuddin. Anehnya, ketika dimintai konfirmasi, Raden mengaku tidak tahu jika dirinya diusulkan. ”Saya belum dihubungi, kok,” katanya Jumat malam pekan lalu.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad Wibowo, membenarkan soal Raden menjadi calon, tapi ia cuma jadi pemanis. Sejumlah kalangan dekat Istana juga menyebutkan Agus adalah calon yang diunggulkan SBY. Ia dikenal sebagai bankir senior yang berpengalaman memimpin organisasi besar.
Heri Susanto, Bagja Hidayat, Eko Nopiansyah, Fanny Febiana, Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo