Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN tahun lalu, ketika Megawati Soekarnoputri hendak menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sebagian umat Islam menentang. Perempuan dianggap tidak diperbolehkan agama duduk di pucuk kepemimpinan negeri ini.
Nasaruddin Umar menentang pendapat yang sangat bias gender ini. Ketika itu ia masih menjabat Pembantu Rektor III Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta. Dia menjelaskan bahwa pendapat perempuan terlarang menjadi pemimpin bagi laki-laki hanya berdasarkan tafsir atas sepenggal ayat dalam Al-Quran. Padahal, menurut dia, Al-Quran jelas-jelas tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan etnis, ras, ataupun jenis kelamin.
Sebelum kontroversi soal presiden perempuan itu mencuat, kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah menjadi fokus perhatian Nasaruddin. Disertasi doktoralnya di IAIN Syarif Hidayatullah khusus mengupas soal bias gender dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran. ”Awalnya, dosen pembimbing saya juga menganggap isu ini tak layak menjadi bahan disertasi,” katanya.
Sikap lugas Nasaruddin dalam soal kesetaraan gender ini menempatkannya di barisan ”feminis”. Namun, berbeda dengan para feminis yang sebagian besar menggunakan pendekatan teoretis dari Barat, pendekatan Nasaruddin membuatnya lebih gampang masuk ke kelompok mana pun, termasuk pesantren. Ia pun pernah menjadi Ketua International Moslem Women Union (2000-2004).
”Kalau kita memakai bahasa Arab, kiai-kiai bisa menerima kita. Tapi, kalau menggunakan istilah Barat, mereka akan bilang no way,” kata guru besar tafsir itu dalam wawancara dengan Tempo tahun lalu.
Lahir di Ujung Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959, sebagian besar karier Nasaruddin dijalani di kampus sebagai dosen. Dia juga sempat menjadi Khatib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 2003-2008. Ia pun pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia. Sejak tiga tahun lalu, dia melompat masuk jalur birokrasi sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang sering meminta pendapat Nasaruddin soal Islam. Mereka memang sudah lama berteman. "Saya kenal Pak SBY sejak beliau masih berpangkat kolonel," ujar anggota tim Inggris-Indonesia yang dibentuk Tony Blair dan Yudhoyono ini.
Dari diskusi dan perjumpaan yang panjang, Nasaruddin merumuskan pikiran-pikiran Yudhoyono tentang Islam dan demokrasi dalam sebuah buku tebal. Buku yang direncanakan terbit 450 halaman itu bertema Islam Rahmatan Lilalamin: Perspektif SBY. Ini semacam pemikiran tentang persinggungan antara Islam dan hak asasi manusia, civil society, demokrasi, dan sebagainya. ”Sementara Perdana Menteri Badawi dari Malaysia punya pendekatan Islam Hadari, SBY melihat Islam sebagai rahmat sekalian umat manusia,” kata Nasaruddin kepada Tempo.
Ulil Abshar Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, menilai Nasaruddin mempunyai visi keagamaan yang baik. Gaya pendekatannya yang halus dianggap Ulil membuat dia mudah diterima berbagai kalangan. Dia menyokong Nasaruddin mengisi pos Menteri Agama pada kabinet mendatang. Kalaupun ada sedikit catatan, Ulil menyarankan ia memperbaiki kemampuan manajerialnya.
Nasaruddin juga perlu lebih tegas jika ia kelak memimpin Departemen Agama. Seabrek persoalan berat sudah menghadang, dari urusan haji yang rutin setiap tahun, pendidikan madrasah, kekerasan antarpemeluk agama seperti pada kelompok Ahmadiyah, penertiban lembaga zakat, korupsi, sampai terorisme.
Ahmad Bagja, salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, mengatakan terorisme dengan mengatasnamakan agama menciptakan kesan kekerasan melekat pada Islam. Seorang Menteri Agama, kata Bagja, harus bisa mengkampanyekan Islam sebagai agama yang toleran dan cinta damai.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra justru melihat tak banyak yang dilakukan Departemen Agama selama ini dalam isu terorisme. Ia melihat Nasaruddin sebagai Direktur Jenderal Bimas Islam belum sigap menangani isu terorisme yang memakai tafsir agama sebagai alasan untuk beraksi.
”Apa program deradikalisasi terorisme dari Departemen Agama? Apa yang sudah mereka kerjakan untuk melawan pencucian otak oleh para teroris itu?” ujar Azyumardi.
Satu lagi catatan Azyumardi, yakni soal aturan syariah, seperti penerapan hukum rajam di Aceh. Menurut dia, hukum rajam tidak sejalan dengan hukum nasional. Dalam soal ini, semestinya Departemen Agama bersikap dan memberi jalan keluar. Sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Dengan sederet pekerjaan rumah itu, Azyumardi menilai seorang Menteri Agama harus sosok yang berani dan tegas dalam mengambil keputusan. Menurut Ahmad Bagja, Nasaruddin punya bekal memadai dan pemahaman agamanya pun mendalam. Pengalaman di birokrasi dan di Nahdlatul Ulama sedikit-banyak akan berguna kalau kelak ia memimpin departemen.
Dengan sejumlah catatan, misalnya ia mesti lebih tegas bersikap melindungi kelompok minoritas seperti kelompok Ahmadiyah sebagaimana kritik Azyumardi, Nasaruddin Umar cukup pantas menjabat Menteri Agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo