Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA kini menjadi figur terpenting di Departemen Pendidikan Nasional setelah sang menteri. Sederet posisi penting juga pernah dipercayakan ke pundaknya, dimulai sebagai staf ahli Menteri Pendidikan pada 2000. Lalu karier itu terus menapak naik. Kini, sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, posisi Fasli Jalal, 56 tahun, tentu saja sangat strategis.
Ketika diajak bicara tentang pendidikan, wajahnya begitu sumringah. Ia ingat betul dahsyatnya sumber daya di departemennya: 40 juta peserta didik dengan 3,5 juta guru dan dosen, 250 ribu sekolah dan 3.000 perguruan tinggi. Karena itu, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, ini menganggap kemajuan pendidikan tidak bertumpu pada satu orang. ”Ini kerja besar, dan karena itu harus dikeroyok,” ujarnya.
Ia paham betul dengan pernak-pernik masalah yang menjadi tanggung jawab departemennya. Fasli beranggapan bahwa tantangan pendidikan adalah menjamin penyelesaian wajib belajar yang bermutu dan relevan. ”Misi penting ini harus dicapai tanpa ada gangguan biaya,” ujarnya. Kendati departemen ini mendapat jatah 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagi dia, dana itu belum cukup untuk memajukan pendidikan hingga ke pelosok negeri.
Tahun ini departemen mendapat alokasi Rp 207 triliun. Tapi jumlah itu harus dibagi dengan Departemen Agama untuk membiayai pendidikan agama, membayar gaji pendidik, termasuk guru dan dosen, serta membayar tunjangan profesi guru dan pendidikan dinas yang diselenggarakan berbagai departemen. Walhasil, total dana yang dikelola sendiri oleh Departemen Pendidikan hanya Rp 62 triliun. Dana inilah yang disalurkan ke daerah-daerah untuk program Bantuan Operasional Sekolah—biasa disingkat BOS.
Fasli juga punya peran penting dalam legislasi. Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat Heri Akhmadi, Fasli adalah peletak dasar implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. ”Dia adalah salah satu pejabat yang visioner,” kata Heri, yang duduk di Komisi Pendidikan DPR selama dua periode. Undang-undang itu, menurut Heri, sangat penting untuk meningkatkan profesionalisme guru dan dosen sebagai ujung tombak pendidikan.
Sekolah gratis? Bukan perkara mustahil bagi doktor ilmu gizi masyarakat lulusan Universitas Cornell, Ithaca, New York, Amerika Serikat ini. Upaya ini harus ditempuh lewat program kemitraan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota. Misalnya, kata dia, dengan membebaskan biaya seragam, transportasi, dan buku. ”Jalan keluarnya untuk sementara ini,” kata Fasli, ”dengan cara memberikan beasiswa.”
Banyaknya bangunan sekolah yang buruk juga menjadi perhatiannya. Fasli mengatakan, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 10 triliun untuk memperbaiki sekolah. Tetapi, menurut dia, masalah utama dari 248 ribu sekolah yang ada saat ini bukanlah bangunan fisiknya yang megah. ”Saya lebih mementingkan fungsinya,” kata dia. Misalnya, sekolah harus bersih dan punya sarana penunjang kegiatan belajar, seperti perpustakaan dan laboratorium.
Ia juga ingin membangun kultur sekolah sehingga menghasilkan karakter anak didik yang berbudi pekerti, memiliki etos kerja yang tinggi, punya semangat bekerja sama, dan memahami keberagaman. ”Di sini tanggung jawab pendidik sangat penting,” kata mantan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan ini. Pendidik, menurut dia, jangan hanya bertanggung jawab pada mata pelajarannya.
Menduduki jabatan politis bukan perkara mudah bagi Fasli. Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan, mengingatkan bahwa posisi Menteri Pendidikan biasanya mudah dibajak untuk kepentingan politik. Kursi panas ini menjadi incaran partai politik. ”Selain mendapat jatah anggaran terbesar, posisi ini bisa dijadikan sarana menanamkan ideologi tertentu di masyarakat,” kata Ade. Sebab itulah, dia berharap Presiden tidak salah memilih orang.
Fasli, menurut Ade, merupakan figur yang tepat untuk menduduki posisi menteri. Sikapnya independen dan berwawasan luas tentang pendidikan. Pernah suatu kali, dia diundang untuk berdiskusi tentang Badan Hukum Pendidikan bersama sejumlah pengamat pendidikan. Ketika itu, Fasli ”dihakimi” forum yang menilai ketentuan tentang badan hukum pendidikan bersifat komersial. Toh, Fasli bersikap tenang, berusaha menampik anggapan itu dan memberikan penjelasan kepada forum. ”Dia terbuka diajak berdialog dan tidak antikritik,” kata Ade.
Namun Ade melihat kendala serius yang akan dihadapi Fasli jika kelak menjadi menteri. Sulit mencari birokrat yang bersih dan reformis. ”Apakah dia mampu membersihkan jajarannya dari korupsi?” tanya Ade. Kekhawatiran ini dijawab Fasli dengan optimisme. Menurut dia, justru orang dalamlah yang mengetahui titik-titik lemah yang mesti direformasi. ”Ia dapat mendobrak dalam periode yang singkat,” katanya. Beda, misalnya, jika menterinya orang luar alias drop-dropan dari ”atas”. ”Ia butuh waktu untuk belajar bagaimana birokrasi berjalan.”
Jadi siapkah Anda menjadi Menteri Pendidikan berikutnya? ”Sebagai pelayan masyarakat, siap,” jawab Fasli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo