Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF0000>MENTERI LINGKUNGAN HIDUP</font><br />Agus Purnomo

Berpengalaman dalam advokasi dan manajemen lingkungan. Wakil Indonesia dalam banyak perundingan perubahan iklim.

19 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM ada kesepakatan. Negara maju menolak,” kata Agus Purnomo. Dia membuka perbincangan dengan sejumlah wartawan yang menantinya di ruang rapat lantai 18 Gedung Badan Usaha Milik Negara, Jakarta.

Ia baru kembali dari Bangkok, memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan iklim yang berakhir 9 Oktober lalu. Senin sore pekan lalu itu dia menceritakan hasil pertemuan tersebut kepada pers.

Di Bangkok, negara maju dalam Annex 1 Protokol Kyoto—daftar negara yang wajib mengurangi emisinya—diharapkan mengajukan target pengurangan emisi jangka menengah, hingga 2020. Nyatanya yang mau cuma dua: Norwegia memasang target 40 persen dan Jepang 25 persen. Negara maju lain ogah memasang target angka.

Agus, akrab disapa Mas Pungky, memang fasih bicara tentang lingkungan, perubahan iklim global, juga tarik-ulur sikap negara maju terhadap Protokol Kyoto. Dia punya jam terbang cukup tinggi di bidang lingkungan.

Kami menganggap Agus layak menjadi Menteri Lingkungan Hidup dalam Kabinet Tempo 2009-2014. Selain berpengalaman dalam advokasi lingkungan, Agus punya pengetahuan dan jaringan yang luas di dalam dan luar negeri. Pada masa mendatang, Kementerian harus menjaga kualitas lingkungan dan air, tata ruang, serta mengawal implementasi kesepakatan tentang perubahan iklim.

Pada pembahasan kabinet, banyak nama diajukan sebagai kandidat kepada Tempo. Antara lain Erna Witoelar, Sony Keraf, atau mempertahankan Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup kabinet sekarang. Tapi, banyak yang sepakat Agus pantas untuk posisi ini. ”Dia punya pemahaman yang lengkap tentang lingkungan,” kata Bustar Maitar dari Greenpeace. Ketua Dewan Pembina Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia Ismid Hadad juga setuju.

Selarik catatan muncul dari Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Indonesia. Agus, menurut Abdon, belum teruji dalam hal membuat kebijakan publik. Padahal posisi Agus saat ini sebagai kepala sekretariat di Dewan Nasional Perubahan Iklim seharusnya membuat ia memilikiwewenang besar. ”Nyatanya dewan itu belum membuat langkah penting apa pun,” katanya.

Padahal banyak isu lingkungan bisa mereka tangani. Abdon mencontohkan perlindungan masyarakat adat atas pemanfaatan hutan. ”Mas Pungky tahu benar pelestarian hutan tak bisa dipisahkan dari persoalan masyarakat lokal,” katanya. ”Tapi Dewan seolah tutup mata terhadap langkah Departemen Kehutanan yang terus mengkonversi hutan adat menjadi hutan produksi untuk pengusaha?”

Soal ketegasan ini juga ditekankan Siti Maimunah, aktivis lingkungan Jaringan Advokasi Tambang. Menurut dia, selain punya visi kerakyatan, Menteri Lingkungan harus seorang pemberani. ”Jangan seperti yang sekarang, setengah-setengah atau malah takut menghadapi Newmont, Lapindo, pembalak hutan,” kata Siti.

Lahir di Jakarta, 30 Agustus 1958, suami Smita Notosusanto ini menyelesaikan sarjana muda geodesi di Institut Teknologi Bandung pada 1983. Dia lalu meneruskan studi di program MBA Prasetiya Mulya Management Institute dan lulus pada 1985 dengan tesis ”Corporate Social Responsibility on Social and Environmental Issues”.

Agus bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup dan ditunjuk sebagai direktur eksekutif pada 1986-1989. Pada 28 Desember 1988, Walhi menggugat empat menteri dan Gubernur Sumatera Utara karena mengizinkan pendirian perusahaan pulp dan rayon, PT Inti Indorayon Utama, di Porsea. Ini untuk pertama kalinya lembaga swadaya masyarakat di Indonesia melakukan gugatan hukum dalam kasus lingkungan.

Emil Salim, Menteri Negara Lingkungan Hidup—sahabat dekat Walhi—turut dituntut. ”Banyak yang lalu mengambil jarak, juga para donatur,” cerita Agus. Maklum, tuntutan ini dianggap mempermalukan pemerintah. Banyak aktivis lingkungan khawatir itu akan membuat Soeharto marah. Tapi Walhi jalan terus.

Emil Salim mempertemukan Agus dengan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo dan para menteri yang dituntut. Agus menjelaskan Indorayon mencemari air dan merusak hutan pinus di Porsea. ”Saya bilang ini untuk menyelamatkan lingkungan, bukan mempermalukan pemerintah,” cerita Agus. Tapi Sudomo marah dan meminta Walhi menarik gugatannya.

Agus jalan terus. Pada Agustus 1989 pengadilan memutuskan menolak seluruh gugatan Walhi. Meski Walhi kalah, putusan itu bersejarah karena memberi lembaga swadaya di Indonesia legal standing—wewenang melakukan gugatan hukum dalam perkara lingkungan.

Dari Walhi Agus berpindah-pindah kerja tapi fokusnya tetap lingkungan. Dia pernah menjadi Direktur Eksekutif WWF Indonesia hingga penasihat Bank Dunia soal hutan dan manajemen sumber daya alam.

Pada Desember 2004, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengangkatnya menjadi staf khusus. Sejak itu dia sering mewakili Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim global. Agus berada di balik sukses Konferensi Bumi di Bali merumuskan roadmap pengurangan emisi. Dan mulai Juli tahun lalu dia mendapat tugas tambahan, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Kita beruntung, dengan undang-undang yang baru, kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup kini bertambah,” kata Agus seusai konferensi pers sore itu.

Memang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi KLH kewenangan penegakan hukum. Kementerian kini bisa menindak pihak yang dianggap membahayakan lingkungan. Instrumennya antara lain izin lingkungan. Undang-undang itu mewajibkan semua perusahaan memiliki izin lingkungan dari KLH. Kalau perusahaan itu melakukan pencemaran, misalnya, KLH cuma perlu mencabut izin lingkungannya dan otomatis izin usaha perusahaan itu batal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus