Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN jemuran berjajar bagai cendawan, kusut masai bergelantungan di jendela kamar dan langit-langit kompleks Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, awal pekan lalu. Bilik-bilik hunian lebih dari 10 ribu santri itu lengang. Hanya terlihat beberapa orang mengaji. ”Kalau Ramadan sepi,” kata Shirojudin, santri asal Gresik. ”Semua pulang kampung hingga setelah Lebaran.”
Didirikan pada 1745, pondok asuhan KH Nawawi Abdul Djalil ini boleh dibilang sebagai pondok pendidikan klasik Islam tertua di Indonesia. Sidogiri juga menjadi oasis pemburu ilmu. Fikih, tauhid, nahfu-sharaf (tata bahasa Arab), hingga hafalan Al-Quran diajarkan di pondok rintisan Kiai Sulaiman itu.
Berdiri di atas lahan enam hektare, Sidogiri berada 12 kilometer dari pusat Kota Pasuruan. Pondok salaf (kuno) menyusun sendiri kurikulum pendidikannya. Silabus dan soal ujian ditangani Laboratorium Soal Madrasah. Tiga jenjang pendidikan pondok: ibtidaiyah (SD), tsanawiyah (SMP), dan aliyah (SMA), ada dalam naungan laboratorium. Aliyah punya tiga jurusan: tarbiyah, dakwah, dan muamalah.
Selain mengaji kitab kuning, santri dibekali ilmu umum, bersandar kitab klasik Fathul Mu’in, Fathul Qorib, dan Fathul Wahab (tentang manajemen). Ilmu sains menggunakan karya Ibnu Sinna dan Al-Farabi. Lembaga Pengajaran bahasa Arab dan asing plus laboratorium bahasa turut memperkaya khazanah keilmuan.
”Perpustakaan kami juga lengkap,” kata Masykuri Abdurrahman, Wakil Ketua Umum Pengurus Harian Pondok Pesantren Sidogiri. Perluasan keilmuan tak lepas dari spirit ibadillah ass-shalihin—menjadi hamba saleh, mampu mengelola kekayaan bumi dengan baik, bermanfaat, berkah bagi masyarakat luas—yang menjadi pegangan sejak dulu.
Berniat menyempurnakan ajaran pendiri, pada 1961 Sidogiri memelopori wirausaha pondok pesantren. Di bawah asuhan KH Cholil Nawawi, santri dilatih mencari uang. Tiga laboratorium usaha, warung, toko kelontong, dan toko kitab, dibangun dari sumbangan ulama dan santri. ”Ketekunan ditempa di situ,” kata KH Fuad Noerhasan, cucu KH Cholil.
Saat itu, bila santri berbelanja, uang kembalian tak diminta tapi disumbangkan untuk memperbesar usaha. Ikhtiar tak kenal lelah berujung menjadi badan usaha: Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), dengan 24 cabang di sekitar Pasuruan.
Menyadari belajar bisnis tak cukup dengan kitab klasik, santri diutus belajar ekonomi, manajemen, dan akuntansi ke perguruan tinggi. Setelah lulus, ”Mengabdi di pondok dua tahun, baru boleh mendirikan usaha sendiri di luar,” kata KH Fuad.
Kopontren Sidogiri bergerak di bidang jasa, retail, dan produksi. Bentuknya bisa toko buku, kafe-warung makan, percetakan, studio foto, penggelar pameran/bazar, warung telepon, gerai telepon seluler, minimarket, toko aksesori-onderdil motor, dan laundry. Karyawannya santri tak mampu, ”Agar bisa membiayai sekolahnya.”
Penghasilan mereka tak main-main. Pada 2007, Kopontren meraup penghasilan Rp 1,2 miliar. Setahun berikutnya Rp 1,4 miliar. ”Tahun 2009 kami targetkan Rp 1,5 miliar,” kata KH Fuad.
Selain untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional pondok, hasil usaha digunakan untuk membangun sarana prasarana pondok. Walhasil, pondok tak pernah merengek ke pemerintah. ”Kami tak mau menjadi beban pemerintah,” kata Masykuri Abdurrahman.
Soal saham, awalnya mayoritas (60 persen) dipegang pondok. Sisanya (40 persen) milik pengurus, alumni, dan santri. Sekarang wali santri boleh ikut menanam saham, termasuk masyarakat umum.
Pondok mengembangkan sayap usaha lain, air minum kemasan bermerek ”Santri”, berkongsi dengan PT Alamo Probolinggo, juga usaha penerbitan kitab dan penyediaan busana muslim. Pernah membuat pabrik saus tomat, ”Tapi tutup karena tak sepaham dengan mitra kongsi,” kata KH Fuad. Wilayah pemasaran semua unit usaha mencakup seluruh Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.
Untuk mendidik santri sadar bisnis, dibangun Balai Pendidikan Latihan Usaha Santri, bekerja sama dengan Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS), yang mempunyai 12 konsulat di seluruh Indonesia.
Meskipun omzet bisnis melesat, pondok berusaha tetap berjalan seiring dengan pemberdayaan moral masyarakat sekitar. Hasilnya tak sia-sia. ”Dulu sekitar pondok adalah tempat judi dan mabuk,” kata Komarudin, pedagang genting di dekat pondok. ”Kini tak ada lagi.”
Satu niat yang terus dijaga. Meski bisnisnya terus membesar, Kopontren berusaha tak mematikan usaha kecil, pasar tradisional yang ada sejak Sidogiri berdiri 264 tahun silam. Caranya? ”Para santri tetap membeli dagangan saya,” kata Amir, pedagang tahu di Pasar Ngempit yang berjarak belasan meter dari pondok.
Dwidjo U. Maksum, Muhammad Taufik (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo