Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMADAN berarti masa libur panjang bagi santri Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor. Bahkan tiga hari sebelum bulan puasa sudah tidak ada kegiatan belajar-mengajar. Masjid lebih lengang meski masih ada kegiatan mengaji. Para santri mudik ke kampung halaman dan baru kembali seusai Idul Fitri. ”Saya baru akan pulang setelah lulus,” kata Amri, santri madrasah aliyah.
Habib Saggaf Mahdi bin Syekh Abu Bakar, pemimpin Nurul Iman, memang menyarankan para santri supaya tidak pulang sebelum lulus. ”Supaya ada kebanggaan begitu pulang,” katanya.
Bagi mereka yang ingin pulang, pondok menyediakan angkutan. Bus untuk santri yang berasal dari Jawa dan Sumatera, dan tiket kapal laut buat santri dari pulau lain.
Bukan semata kebanggaan yang menahan Amri untuk tetap berada di pondok selama masa pakansi. Ia memanfaatkan liburan untuk bekerja lebih giat di unit usaha pondok: pabrik roti, tambak ikan, dan pengolahan sampah menjadi kompos. ”Hasilnya lumayan, dikirim untuk orang tua di kampung,” katanya.
Aktivitas unit-unit usaha inilah yang membedakan Nurul Iman dengan pesantren lain. Melalui unit usaha ini, Saggaf melumasi roda kegiatan pondok. Sebanyak 15 ribu santri yang berasal dari penjuru Tanah Air tak dipungut biaya pendidikan ataupun pondokan. Ini pula yang membuat jumlah santri melejit, dari delapan ribuan santri pada akhir 2006.
Abah, demikian Habis Saggaf dipanggil oleh para santri, tak menyebutkan secara persis berapa dana pengeluaran pondok per bulan, termasuk gaji guru yang sebagian lulusan luar negeri itu. ”Ratusan juta rupiah,” katanya. Ia mengatakan masih mampu membiayai 25 ribu santri lagi di atas lahan pondok seluas 175 hektare itu.
Para santri itulah yang menjadi tenaga kerja paruh waktu di unit usaha pondok. Setiap santri bergiliran praktek bekerja. ”Alumni saya diharapkan menjadi pengusaha, bukan pekerja. Pengusaha bisa memperoleh penghasilan lebih besar,” kata Saggaf.
Kini para santri Nurul Iman memiliki keahlian di berbagai bidang. Mereka juga dipersilakan mendalami satu-dua keahlian berbisnis. Caranya, mereka mengelola sendiri manajemen hingga pemasaran. Pendidikan wiraswasta inilah yang menjadi kelebihan pesantren yang dipimpin Abah Saggaf itu.
Sistem pembagian keuntungan pun membuat santri bersemangat. Santri sebagai pengelola diberi hak separuh keuntungan. Sisanya disetor ke pengurus pondok. Setoran inilah yang digunakan untuk menutup biaya operasional pesantren. Sebagai contoh penghasilan dari tambak ikan seluas 35 hektare dalam setahun bisa menghasilkan uang Rp 4 miliar, belum lagi keuntungan dari pabrik roti dan pabrik lainnya.
”Semua biaya operasional tertutup dari usaha yang kami kelola. Saya berharap santri saya setelah lulus jadilah pengusaha. Bagi yang senang di bidang pendidikan, jadilah pengajar di sini,” katanya.
Selain membiayai pendidikan, Saggaf sangat memperhatikan guru, ustad, dan dosen. Mereka diberi rumah di sekitar pesantren. Kini sudah ada ratusan rumah yang dibangun Abah untuk mereka.
Mengenai tenaga pendidik, Saggaf memilih orang yang benar-benar ahli. Untuk pelajaran tambahan taekwondo, misalnya, didatangkan pelatih dari negeri asalnya, Korea. Pengajar bahasa Inggris didatangkan dari sekolah internasional, sedangkan bahasa Arab diajarkan oleh alumnus lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Pengajar teknologi dan komputer pun lulusan dalam dan luar negeri. ”Saya harus mendatangkan mereka yang benar-benar ahli di bidangnya. Kalau untuk pelajaran agama harus yang memiliki sertifikat pengajar agama,” ujarnya.
Saggaf tak cuma mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya, tapi juga pendidikan umum sesuai dengan standar Departemen Pendidikan Nasional, mulai dari tingkat tsanawiyah (SMP), aliyah (SMA), hingga perguruan tinggi. Setiap Senin sampai Sabtu, pukul 07.00-12.00, para santri belajar ilmu agama, bahasa Arab, fikih, tauhid, dan sebagainya. Setelah salat zuhur dan makan siang, para santri mendapat pelajaran laiknya sekolah umum. Saban Ahad mereka mendalami bahasa Inggris.
Para santri memang diharuskan mampu berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris. Santri angkatan pertama yang sudah menjadi mahasiswa atau sudah lulus juga diberi kesempatan mengajar di pondok.
Sejak pesantren berdiri pada 1998, perekonomian warga sekitar juga terbantu. Mereka ikut terlibat mengelola tambak seluas 35 hektare yang menyebar di tiga desa. Sistem bagi hasilnya sama, yakni setengah untuk pengelola dan setengah untuk pesantren. ”Warga terbantu sejak pesantren ini berdiri. Abah sangat membantu warga Desa Warung yang kesulitan,” kata Rochim, warga setempat.
Adek Media, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo