Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=brown>Mariam Abou Ouf:</font><br />Saya Cemas terhadap Fundamentalisme...

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan ini satu dari sepuluh sutradara Mesir pembuat film Tamantashar Yom atau 18 Hari. Tamantashar Yom terdiri atas 10 film pendek berlatar revolusi 18 hari di Lapangan Tahrir, yang berujung jatuhnya Presiden Husni Mubarak. Karya Mariam Abou Ouf berjudul Tahrir 2/2. Berkisah tentang seorang lelaki dari sebuah keluarga miskin yang dalam peristiwa 2 Februari menjadi demonstran bayaran untuk mendukung Mubarak. Berikut ini wawancara Ging Ginanjar dengan Mariam Abou Ouf.

Bagaimana kisah pembuatan film 18 Hari?

Film 18 Hari merupakan karya bersama sepuluh sineas dan enam penulis Mesir. Gagasannya, kami ingin membuat sepuluh film pendek tentang revolusi. Tapi hanya tentang ”perasaan kemanusiaan”. Apa yang kami rasakan mengenai revolusi.
Jadi kami bertemu, berbagi cerita dan perasaan mengenai revolusi. Sepuluh karya itu merupakan drama, bukan dokumenter. Memang kami berkehendak mendokumentasikan masa-masa itu, tapi tidak dalam bentuk dokumenter, melainkan drama yang berbicara tentang momentum-momentum itu.

Tentang karya Anda sendiri, Tahrir 2/2, bisa diceritakan?

Gagasannya muncul dari suatu cerita nyata. Saya mendengar cerita seorang pembantu rumah tangga yang tak bisa bekerja karena suaminya terbunuh dalam demonstrasi. Saya tanya, apakah ia terbunuh oleh polisi. Dia jawab, tidak. Dia justru adalah seorang preman bayaran. Jadi bukan dari ”pihak kami”, melainkan dari ”pihak mereka”, yang mendukung rezim. Ini membuat saya berpikir, bahkan mereka yang kita sebut preman, yang kita anggap penjahat, juga punya alasannya sendiri. Mereka juga korban rezim tirani Mubarak. Maka saya berkeinginan masuk ke sisi itu, masuk ke pandangan mereka.

Karya Anda satu-satunya yang mengambil sudut pandang kaum pendukung Mubarak. Padahal Anda berada di pihak penentang.

Persis. Saya berada di pihak lain. Justru karena itu saya merasa punya posisi yang lebih baik untuk bersikap menyelami persoalan dari sisi yang bertentangan. Penting bagi kita mengetahui mengapa mereka melakukannya. Agar di masa depan kita mampu mencegah orang melakukan kejahatan seperti itu sekadar untuk uang yang tak seberapa.

Anda terlibat langsung dalam demonstrasi-demonstrasi itu?

Ya, saya terlibat sejak awal, sejak 25 Januari. Saya selalu berada di Lapangan Tahrir setiap waktu, selama 18 hari. Hingga Mubarak mundur. Bahkan saya masih bertahan hingga beberapa hari sesudahnya. Namun saya sadar revolusi belum sepenuhnya selesai. Masih banyak yang harus dilakukan.

Bagaimana keterlibatan para pekerja film lain dalam revolusi?

Banyak sekali yang terlibat. Namun sebetulnya, sekali Anda bergabung, kita tak lagi berpikir apakah kita dokter, seniman, atau apa. Kita adalah bagian dari rakyat yang bergerak. Saya kira semua orang Mesir yang datang di Festival Cannes ini ikut dalam gerakan.

Adakah pekerja film yang justru mendukung rezim?

Saya kenal sejumlah aktor dan aktris Mesir—juga Tunisia—yang tampil di televisi sebagai pendukung rezim. Mungkin karena bingung, atau diperintahkan begitu oleh rezim, dan mereka tak bisa membantah.

Bagaimana bedanya situasi dunia film Mesir di masa Mubarak dengan sekarang?

Masih terlalu dini melihat sejauh apa kebebasan ekspresi yang kami miliki sekarang. Tapi kami tahu apa yang kami mau dan hendak kami wujudkan. Sekadar gambaran, dulu kami dihantui sensor. Begitu banyak pembatasan, begitu banyak topik yang tak bisa kami garap. Misalnya menyangkut pribadi presiden dan keluarga, masalah agama, seks. Kami berjuang mengubah semua itu. Tapi sekarang ini belum ada perubahan, belum ada yang dicapai.

Di Indonesia, sesudah jatuhnya rezim, muncul penindasan baru terhadap kebebasan berekspresi dari kaum ekstremis. Di Mesir?

Tentu, tentu saya sangat mencemaskannya. Saya takut itu bisa terjadi juga di Mesir. Anda tahu sendiri bagaimana kuatnya eksistensi kaum ekstremis di Mesir. Namun saya percaya, jika rakyat bisa berjuang melawan Mubarak, rakyat juga bisa berjuang melawan siapa pun. Ada ketakutan besar terhadap kaum fundamentalis, tapi kami akan berjuang mendirikan suatu negara dengan tatanan madani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus