Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tribut untuk Revolusi

Dua film tentang revolusi yang berlangsung beberapa waktu lalu di Tunisia dan Mesir ditampilkan di Cannes.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diktator Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali jatuh pada 15 Januari 2011. Diktator Mesir Husni Mubarak jatuh pada 11 Februari 2011. Hanya beberapa bulan sesudahnya, Mei, sebuah film dokumenter tentang revolusi Tunisia, dan sebuah film bunga rampai seputar revolusi Mesir, sudah diputar di Festival Film Cannes.

Film dokumenter tentang revolusi Tunisia: La Khaoufa Baada al-Yaoum (Tak Lagi Takut) karya Mourad Ben Cheikh diputar sebagai bagian dari program khusus Tribut untuk Tunisia. Adapun kompilasi 10 film pendek Mesir, Tamantashar Yom (18 Hari), diputar dalam tribut untuk Mesir, yang juga ditetapkan sebagai negara tamu dalam festival Cannes 2011. Ini pertama kalinya Cannes menetapkan suatu negara tamu.

Kedua negara menyewa paviliun khusus di bagian Village Internasional, lebih dari sekadar booth atau kios biasa di seksi Marche du Film atau Bursa Film seperti yang disewa Indonesia. Di paviliun berbentuk tenda dengan halaman belakang menghadap ke pantai itu kedua negara menyelenggarakan berbagai acara, dari diskusi, jamuan minum, hingga jumpa pers. Mereka juga menyediakan berbagai informasi khusus untuk mengundang investor menanam modal di perfilman negerinya.

l l l

Pembuatan film dokumenter Tak Lagi Takut dilakukan Mourad Ben Cheikh sejak mulai maraknya demonstrasi antipemerintah. Selain gambar-gambar yang dibuat khusus, film ini menggunakan berbagai potongan dokumentasi dari jaringan televisi Al-Jazeera.

Tak Lagi Takut memotret revolusi dari berbagai sudut pelaku perlawanan dan para tokoh korban rezim lama Tunisia. Mourad Ben Cheikh mewawancarai dan mengikuti berbagai aktivitas sejumlah orang: perempuan blogger dan ayahnya yang politikus, wartawan independen, aktivis perempuan, politikus komunis, juga politikus fundamentalis. Ia memotret aktivitas perlawanan mereka, dan menggali pandangan politik mereka.

Judul Tak Lagi Takut diambil dari salah satu grafiti perlawanan saat maraknya demonstrasi menentang Ben Ali. Film ini tampil lugas, dengan gambar-gambar yang penuh gerakan, dengan pemihakan yang tegas. Keberagaman subyek pelaku revolusi, dari anak muda blogger hingga politikus bangkotan, menunjukkan spektrum perlawanan yang sangat menarik. Juga bisa lucu. Misalnya adegan pertemuan seorang aktivis kebebasan individu dengan aktivis gerakan penegakan Islam syariah. Si aktivis kebebasan meledek si aktivis syariah, yang tampak kelabakan, tak menyangka ada orang yang tanpa sungkan mengejek perjuangannya.

Akan halnya Tamantashar Yom (18 Hari) mengambil pendekatan yang berbeda. Ini kumpulan 10 film pendek tentang revolusi Mesir pada 25 Januari hingga 11 Februari. Bukan dalam bentuk dokumenter melainkan, ”Drama yang terkait perasaan kemanusiaan..., yang berbicara mengenai momentum-momentum itu,” kata Mariam Abou Ouf, perempuan muda salah satu sutradaranya. Tamantashar Yom dibuat oleh 10 sineas dan 6 penulis skenario—serta puluhan aktor serta pendukung lain—yang semuanya terlibat langsung dalam demonstrasi 18 hari yang menjatuhkan Presiden Husni Mubarak. Bahkan banyak yang masih bertahan di Midan Tahrir hingga berhari-hari sesudah kejatuhan sang diktator, termasuk Mariam Abou Ouf (lihat boks wawancara).

Karya Mariam Abou Ouf, Tahrir 2/2 merupakan salah satu nomor terkuat di Tamantashar Yom. Bertitik tolak dari pidato Presiden Husni Mubarak, 2 Februari. Pidato yang pada prinsipnya menolak tuntutan mundur itu diikuti bergeraknya para demonstran tandingan yang dibayar untuk mengintimidasi para aktivis demokrasi. Sejumlah orang mati dalam bentrokan antara orang-orang bayaran itu dan rakyat. Dalam Tahrir 2/2, dengan cerdas dan jernih, Mariam Abou Ouf mengambil sudut pandang demonstran bayaran dan keluarganya yang miskin.

Nomor lain yang tampil kuat, Jendela, karya Ahmad Abdallah, mengambil sudut pandang seorang lelaki muda yang hanya mengikuti revolusi dari Facebook dan Twitter sembari mengurung diri di kamarnya. Hanya sesekali ia mengintip ke luar dari balik jendela.

Adapun Jam Malam (Sherif Bendary) secara kuat memotret masalah sepele yang dihadapi orang biasa. Seorang kakek yang menjemput cucunya dengan mobil tersesat di jalanan Suai karena seluruh jalur ke rumah mereka diblokade militer yang memberlakukan jam malam. Sherif Bendary memotret mood yang lain dari revolusi yang mengubah wajah Mesir.

Sutradara perempuan Kamla Abu Zikry memasukkan unsur kisah cinta dalam revolusi sembari menyentil kaum fundamentalis yang sibuk mengatur urusan remeh-temeh perempuan. Dalam Ciptaan Allah, seorang perempuan belia penjual teh masuk ke kerumunan pengunjuk rasa dengan pertanyaan, mengapa ia tak boleh mengecat rambutnya, mengapa ia harus menyembunyikan kecantikannya yang adalah ciptaan Allah?

Adapun dalam Interior/Eksterior, Yousri Nasrallah memunculkan terpecah-belahnya suatu keluarga karena revolusi: seorang pengusaha muda kaya melarang istrinya yang ingin bergabung dengan ibunya dalam demonstrasi menentang pemerintah.

Karya-karya lain memunculkan seorang tukang cukur yang mendadak jadi ahli medis untuk merawat demonstran yang terluka, kegigihan seorang pemimpin aksi yang ditangkap dan disiksa aparat, kesalahpahaman seorang tukang jahit penderita diabetes yang mengurung diri karena menyangka ingar-bingar itu adalah invasi Israel terhadap Mesir, kisah kaum miskin yang mau mengambil keuntungan dari revolusi, dan satir teatrikal tentang para pasien rumah sakit jiwa.

Dari segi artistik, tidak semua film tentang dan mengenai revolusi itu, baik revolusi Tunisia maupun revolusi Mesir, muncul sebagai karya yang kuat. Tapi bahwa para sineas Tunisia dan Mesir mampu memproduksi karya mereka secepatnya, itu merupakan pencapaian tersendiri. Bandingkan dengan waktu yang dibutuhkan para sineas Indonesia untuk membuahkan film pertama tentang reformasi 1998.

Yang menjadi musabab? Faktor utamanya tampaknya adalah keterlibatan langsung para sineas itu dalam revolusi. Sebagian besar sineas Mesir dan Tunisia segera menjadi bagian dari gerakan dan perjuangan membebaskan negara mereka dari kediktatoran.

Mesir dan Tunisia membawa pula film yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir, baik film pendek eksperimental serta film televisi maupun film panjang biasa. Mereka menyelenggarakan berbagai jadwal pemutaran, khususnya di Cinema de la Plage, bagi para distributor, pembeli dan agen, serta para wartawan dari seluruh dunia. Sebuah layar raksasa dibentangkan di Cinema de la Plage, yang letaknya di tepi pantai. Inilah pemutaran film di bawah langit terbuka ala misbar, gerimis bubar. Pertunjukan berlangsung gratis. Disediakan kursi pantai selonjor serta selimut bagi penonton, untuk menikmati film secara santai sembari melewati malam dalam suasana romantis, dengan kerlap-kerlip lampu kapal pesiar di kejauhan dan taburan bintang di langit sana.

Film yang diputar antara lain Jeritan Seekor Semut karya Sameh Abdul Aziz dan Al Bustagui (Tukang Pos, 1968) karya Hussein Kamal. Bukan kebetulan, Mesir memang memiliki tradisi film yang panjang, dan produsen film terbesar di tanah Arab. Salah satu sineasnya, mendiang Youssef Chahine, merupakan langganan Cannes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus