Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#CC0000><B>(51)</B></font><br />Jalan Tak Ada Ujung

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952)

MALAM di Pasar Senen. Di sebuah restoran, Guru Isa bersama Hazil dan Rakhmat menanti serdadu Belanda keluar dari Bioskop Rex. Lalu, terdengar dua kali ledakan. Di kemudian hari, Guru Isa dan Hazil tertangkap. Terkuaklah siapa di antara mereka yang betul-betul “merdeka”.

Menurut rohaniawan Mudji Sutrisno, novel karya Mochtar Lubis ini memotret kekacauan setelah 1945. Pesannya: jalan untuk merdeka merupakan lorong panjang yang gelap pekat. Perlu upaya keras melepas belenggu ketakutan, juga kemunafikan. “Kebangkitan diperlihatkan oleh sosok Guru Isa yang keluar dari kepengecutan,” kata Mudji.

Banyak tulisan mengulas karya ini, seperti M.S. Hutagalung, H.B. Jassin, dan A. Teeuw mengenai gaya bahasa, sosiologi, atau perwatakan. Ada juga telaah dari sudut filsafat eksistensialisme. Menurut Mudji, ceritanya sangat kontekstual dengan kondisi saat ini.

(52) Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta (1954)

SASTRAWAN Gajus Siagian menggelari Hans Bague Jassin sebagai paus sastra Indonesia. Seolah seseorang tak sah menyandang gelar sastrawan sebelum namanya tersemat dalam buku ini. Beberapa pengarang dianggap sebagai “kalangan luar”, seperti Marga T., akhirnya masuk daftar Jassin.

Penyair Sapardi Djoko Damono mengatakan, walau karya Jassin bukan buku sejarah sastra, tokoh sastra dan karya yang diulas begitu banyak. “Jarang ada orang yang menulis secara teratur dan berkesinambungan,” kata Sapardi. Dengan buku ini, katanya, kita bisa lebih banyak melihat sastra Indonesia yang ternyata memiliki banyak corak.

(53) Revolusi di Nusa Damai Penerbit: Harper & Brother (Revolt in Paradise, 1961), PT Gunung Agung (1964)

FILM Bali, Surga Terakhir membuat Muriel Pearson mengambil keputusan besar: meninggalkan Amerika Serikat menuju Pulau Dewata. Perjalanan dramatisnya dimulai dengan menumpang kapal barang. Nama K’tut Tantri diperoleh dari ayah angkatnya, seorang raja Bali. Ia masuk pergerakan kemerdekaan ketika Jepang menggantikan Belanda.

Cerita dengan gaya otobiografi ini ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh besar memberikan pengantar, seperti Presiden Soekarno dan Adam Malik. “Buku ini membuka gambaran Indonesia dengan tidak subyektif,” kata sejarawan Hilmar Farid. Menurut Hilmar, otobiografi tersebut menarik sebagai buku sejarah.

(54) Bebasari Penerbit: Fasco Djakarta (Cetakan ke-2, 1953)

PESTA murid sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang tak jadi diisi pementasan drama. Pasalnya, pemerintah Belanda pada 1920 melarang Bebasari dipentaskan. Drama ini berkisah tentang pemuda yang hendak merebut kekasihnya, Bebasari, yang direnggut raksasa.

Penyair Goenawan Mohamad berkata, Bebasari adalah alegori terhadap kemerdekaan. Dorongan pembebasan pada kolonialisme begitu kuat. “Mungkin karena itu pemerintah Belanda membeslahnya,” kata Goenawan. Ini menunjukkan betapa kuatnya sebuah kata. Dalam menulis, Roestam sering menggunakan nama samaran seperti Rahasia Emas dan Rantai Emas.

(55) Burung-burung Manyar Penerbit: Djambatan (1981)

MENGAMBIL alur perang kemerdekaan, Burung-burung Manyar memikat Dita Indah Sari. Aktivis buruh ini membaca karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya itu pada 1991 saat duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Teto dan Atik, dua tokoh utamanya, menggambarkan dengan baik pertarungan patriotisme melawan kolonialisme. “Atik berani mengorbankan perasaannya untuk negara,” kata Dita.

Mudji Sutrisno menilai buku itu juga melucuti sifat kolonial yang bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kaum pribumi. Agar terbebas dari perilaku itu, menurut Mudji, harus dipupuk jiwa humanis seperti ditunjukkan Sutan Sjahrir. Dari situ akan tercapai kebangkitan hakiki. “Bila perlu struktur negara yang bobrok harus dirombak demi generasi muda seperti burung manyar,” kata Mudji.

(56) Sandhyakala Ning Majapahit Penerbit: Pustaka Jaya (1971)

ZAMAN Indonesia purba bersemayam di hati Sanusi Pane. Setidaknya begitulah kata kritikus sastra H.B. Jassin. Angkatan Pujangga Baru itu banyak melahirkan karya berlatar kerajaan sebelum kolonialisasi seperti Sandhyakala Ning Majapahit, drama tentang masa-masa ambruknya Majapahit.

Lakon ini pertama kali dimuat dalam majalah bulanan Timboel pada 1932. Sandhyakala seakan menjadi buhul antitesis dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Percakapan Damarwulan dengan Batara Wisnu dianggap sebagai pandangan yang mengabaikan dunia. Juga, menjerumuskan jiwa muda dalam kepasrahan. Kritik Takdir diuraikan dalam Layar Terkembang yang dianggap pro-budaya Barat. Menurut Jassin, Sanusi justru sintesis Timur dan Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus