Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPUCUK surat mampir di meja Buya Hamka suatu siang pada 1938. Pengirimnya pemuda yang mengungkapkan kesannya pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Pemuda itu mengaku telah membaca karya itu berulang-ulang. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” demikian tulis pemuda itu.
Banyak lagi surat dan telegram senada yang dialamatkan ke penulis bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu. Maklum saja, penggemarnya banyak. Sebelum buku itu diterbitkan Balai Pustaka pada 1938, Tenggelamnya Kapal dimuat dalam bentuk cerita bersambung di Pedoman Masyarakat, Medan, majalah mingguan yang dipimpin Hamka sendiri.
Yunan Nasution, kolega Hamka di Pedoman, mempunyai kisah tentang cerita bersambung itu. Setiap Rabu malam, saat terbitnya mingguan itu, di stasiun Kutaraja (Banda Aceh) banyak orang menunggu. Bukan hanya para agen penjual majalah, ratusan pembaca yang sudah tak sabar menanti kelanjutan Van Der Wijck turut menanti.
Cerita itu sebenarnya diilhami peristiwa nyata kapal Van Der Wijck. Kapal yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, itu tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936.
Novel itu berkisah tentang Zainuddin, yang gagal mempersunting Hayati karena perbedaan suku dan strata sosial. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-Bugis, dianggap tak pantas mengawini Hayati, orang Minang tulen keturunan pemuka suku di Batipuh, Padangpanjang, di negeri Minangkabau. Zainuddin berusaha mendobrak adat feodal saat itu.
Hamka juga melukiskan denyut perubahan di perkotaan Minangkabau. Perempuan tak lagi mengenakan baju adat yang tertutup rapat melainkan berpakaian modern ala gadis Eropa. Kaum lelaki mulai gemar menghamburkan uang di meja judi, seperti tokoh Aziz dalam buku itu.
Sang penulis begitu fasih dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu, karena dia sendiri hidup dalam kum_paran masa tersebut. Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Sehingga dia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga pelakunya. Itulah yang membuat Hamka, yang wafat pada 24 Juli 1981, berhasil meninggalkan karya yang masih dibaca hingga kini.
Dalam sastra modern Indonesia, Hamka memang diakui sebagai penulis produktif. Ia telah membukukan sekitar 118 tulisan mencakup bidang agama, filsafat, dan sastra. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan novel monumentalnya, selain Di Bawah Lindungan Ka’bah. Meski sempat dituduh sebagai hasil plagiat, novel itu telah mencuatkan namanya, tak hanya di Indonesia, tapi juga sampai Malaysia. Di Indonesia Van Der Wijck dicetak 14 kali, dan di Malaysia dicetak 9 kali.
Hanya, posisi Hamka sebagai ulama sekaligus pengarang roman sempat dibuat repot. Sejumlah pembaca muslim ada yang menolak Van Der Wijck karena, menurut mereka, seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Hamka pun pernah dijuluki kiai cabul.
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 bertarikh 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Dia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
(50) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1938)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo