Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Moeis Menyalahkan Pengasuhan Hanafi

Buku ini menunjukkan hebatnya persoalan krisis identitas dalam wacana pascakolonial. Problem yang terus tersimpan melintasi zaman.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOVEL Salah Asuhan sungguh lebih dari sekadar roman. Ia juga merupakan pandangan kritis pengarangnya, Abdoel Moeis, terhadap dampak politik etis (Etische Politiek) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Moeis menyiratkan pesan, pendidikan Barat yang dinikmati sebagian kaum bumiputra seharusnya tak membuat mereka tercabut dari akar budayanya. “Orang Timur jangan sekali-kali menjadi sepuhan Barat,” ujar Mariam, ibu dari tokoh utama novel ini, Hanafi.

Sebagian sejarawan menganggap politik etis merupakan awal munculnya kesadaran berbangsa bagi bumiputra. Memang, salah satu “rukun” dalam trias politika kebijakan ini adalah memperbanyak sekolah. Maka sejak 1903 Kerajaan Belanda giat membangun sekolah sejak tingkat Volk School (sekolah desa) hingga Algemeene Middelbare School (AMS). Dari bangku-bangku pendidikan inilah meletup bara semangat kebangsaan itu.

Tetapi, dalam pandangan Moeis, interaksi bumiputra dengan pendidikan dan kebudayaan ala Barat itu memercikkan ancaman lain: seseorang bakal tercabut dari akarnya. Seseorang akhirnya akan menjadi “piatu” dari adat-istiadat leluhurnya. Moeis mewujudkan kegelisahannya itu dalam relasi rindu dendam antartokoh utama Salah Asuhan: Hanafi–Corrie du Bussee–Rapiah, serta Ibunda Hanafi.

Hanafi adalah tokoh yang paling terempas dalam gelombang krisis identitas itu. Tamat dari HBS di Betawi, serta lama bergaul dengan orang-orang Eropa, pemuda Melayu totok ini menjadi gandrung ingin menjadi warga kebudayaan Eropa.

Untuk mewujudkan impian itu, dia rela melepaskan cara berpikir dan adat Timur. Hal itu dilakukan bukan saja agar dapat mengawini Corrie–perempuan blasteran Prancis-Minang–tetapi karena pada akhirnya ia memang begitu membenci kebudayaan Timur itu.

Maka ringan saja ia lalu meletakkan gelar sutan pamenan yang disandangnya. “Di dalam segala ‘hitungan di kampung’, anakanda tak usah dibawa-bawanya lagi, karena dengan rela hati ananda sudah keluar dari adat dan keluar dari bangsa,” tulis Hanafi dalam suratnya kepada ibunda.

Dengan surat itu pula Hanafi memutuskan hubungannya dengan istri pilihan ibunda, Rapiah. “ ... jika ananda sudah tentu menjadi orang Belanda, istri ananda itu haruslah yang berpatutan benar dengan keadaan dan pergaulan ananda.”

Demikianlah. Rapiah memang personifikasi dari “masa lalu” yang hendak dibelakangi Hanafi. Rapiah adalah istri yang sudah memenuhi segala tuntutan adat. Sesungguhnya perceraian sepihak ini ibarat manifesto Hanafi yang memutuskan hubungan dirinya dengan bumi pertiwi.

Tetapi Moeis melihat bahwa perpindahan budaya semacam itu tak hanya ditentang kaum asal Hanafi. Pada masa itu, kaum Eropa pun memandang hina pasangan Hanafi-Corrie (setelah mereka kelak menikah). Bahwa dengan besluit pemerintah, Hanafi sudah dinyatakan memiliki hak sama dengan hak bangsa Eropa (dengan nama baru Christiaan Han), orang Barat tetaplah memandangnya sebagai bumiputra belaka.

Menurut Haji A. Hamid, pengajar Universiti Sains Malaysia, novel Salah Asuhan ini menunjukkan hebatnya persoalan krisis identitas dalam wacana pascakolonial. Ia melihat Hanafi sedikit banyak sama dengan tokoh Husin dalam cerita pendek Cerita Sepanjang Jalan IX karya penulis Malaysia, Keris Mas. “Keduanya mengalami kegamangan terhadap budaya leluhur,” kata Hamid dalam sebuah seminar kesusastraan internasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejak terbit pertama pada 1928, Balai Pustaka telah 30 kali mencetak ulang karya Moeis ini (cetakan terakhir pada 2004). Ini menunjukkan problem yang menjadi tema pokok Salah Asuhan ternyata tetap tersimpan melintasi zaman demi zaman. Hingga sekarang, persoalan krisis identitas–dengan berbagai variannya–masih saja diidap oleh bangsa yang telah merdeka hampir 63 tahun ini.


(49) Salah Asuhan Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1928)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus