Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu keluar dari hotel bintang lima di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Enrique Penalosa langsung melontarkan kritik. "Harusnya dengan gedung-gedung setinggi ini (sambil menunjuk bangunan hotel dan apartemen yang menjulang), trotoarnya lebar, masak cuma segini," ujarnya sembari merentangkan kedua tangannya sepanjang setengah meter.
Tiba-tiba seorang pengendara sepeda melintas, dan harus berhenti, minggir, karena tak diberi jalan oleh mobil yang lewat di depan kami. "Nah, lihat, pengendara sepeda tak punya tempat di sini," katanya.
Penalosa terpilih menjadi Wali Kota Bogota pada 1998. Saat itu tingkat pengangguran 20 persen dan 55 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi kota buruk, tingkat polusinya bahkan lebih buruk ketimbang Jakarta.
Tak lama setelah terpilih, dia berpidato di depan parlemen, bahwa membangun kota tak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan. Kota, menurut dia, juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Dia pun membangun sarana untuk pejalan kaki, sepeda, dan sistem transportasi massal TransMilenio. Penalosa juga mengganti tiang-tiang iklan dengan pohon.
Kami berjalan kaki dari hotel ke halte busway Dukuh Atas. Tujuannya naik bus Transjakarta. Siang itu di pintu naik bus Transjakarta jurusan Pulogadung, padat antrean penumpang. Sambil memotret antrean dan bus yang melintas, mantan wali kota ibu kota Kolombia itu ikut antre berdesak-desakan dengan penumpang lain. Setelah sekitar 15 menit menunggu, baru kami mendapat tempat di dalam bus. "Di TransMilenio, semua informasi elektronis, penumpang mengetahui berapa menit lagi bus berikutnya akan datang," ujarnya. Selain itu, petunjuk arah sangat mudah dimengerti, walaupun oleh orang asing.
Berhenti di halte Manggarai, Penalosa menyeberang jalan melihat Sungai Ciliwung. Bertanya tentang orang-orang di dalam sungai yang berenang mencari limbah plastik. "Menarik, di tempat kami tidak ada," ujarnya.
Lalu dia masuk ke kawasan kumuh di pinggir rel antara Pintu Air Manggarai dan Jalan Tambak. Dia menyapa warga, bersalaman dengan ibu-ibu, memotret anak-anak kecil dan juga sepeda yang teronggok di tembok rumah warga. "Saya sangat suka sepeda," katanya.
Saat melewati pasar tradisional di pinggir rel, komentarnya langsung keluar, "Sama seperti di Afrika, banyak orang beraktivitas di sisi rel kereta api." Siang itu, dengan kaus biru berkerah dipadu celana khaki, Penalosa, pria kelahiran Washington, DC, Amerika Serikat, 55 tahun silam itu blusak-blusuk ke kawasan padat dan kumuh.
Apa saja pendapatnya? Inilah petikannya:
Dari mana ide membuat angkutan massal bus TransMilenio itu?
Curitiba, Brasil. Saya sesuaikan dengan karakter warga Kolombia. Hasilnya, di negara kami, sungguh mengagumkan dan membantu perkembangan kota menjadi lebih manusiawi.
Bisa diterapkan juga di Jakarta?
Lalu lintas di Bogota jelek, tapi tak sejelek di Jakarta. Perbedaannya, sekarang Bogota memiliki sistem bus terbaik di dunia, ha-ha-ha.
Kenapa?
Nah, ini penting. Kami tidak memecahkan masalah kemacetan dengan menambah jalan. Tak ada kota di dunia yang memecahkan masalah dengan menambah jalan. Contohnya, di Jakarta setiap tahun 100 ribu mobil baru, jika dibariskan itu panjangnya bisa dari sini (Jakarta) sampai Palembang. Lalu lintas itu bukan ditandai banyaknya mobil, tapi panjang dan banyaknya tujuan perjalanan (trip).
Maksudnya?
Ini soal politik. Kami memutuskan tak mengikuti rekomendasi Japan International Cooperation Agency (JICA), agar membuat banyak jalan bebas hambatan dan subway. Saran yang sama untuk memecahkan masalah lalu lintas di seluruh dunia itu sangat berbahaya jika diikuti.
Mengapa berbahaya? Subway kan juga transportasi massal?
Mereka pikir, jika warga menggunakan subway, banyak ruang untuk mobil. Harus kita ingat, Jepang itu produsen mobil terbesar di dunia. Sangat sulit jika agen (JICA) menyetujui pembatasan mobil. Lihat saja di Tokyo, ibu kota Jepang sendiri, banyak jalan bebas hambatan, tapi tak lebih dari 20 persen warga menggunakan mobil. Sebab, tidak mungkin memecahkan masalah mobilitas sebuah kota besar dengan mobil, tapi dengan transportasi publik (massal) bisa.
Jepang punya banyak uang, mereka bisa memproduksi banyak kereta. Tapi Indonesia, mau mengejar pendapatan per kapita seperti Jepang sekarang, memerlukan 100 tahun lebih. Daripada menghabiskan US$ 15 miliar untuk membuat jalan bebas hambatan, kami memutuskan membatasi penggunaan mobil.
Jadi, selain angkutan bus massal, mobil juga dibatasi?
Ya, di Bogota, tiap minggu, dua hari sebuah mobil tak boleh jalan, belum lagi jika ada hari bebas kendaraan. Mobil hanya boleh dipakai tiga kali seminggu. Selain itu, kami menyingkirkan ribuan mobil dari jalan bebas hambatan, dan membuat lebih besar trotoar, juga jalan sepeda dan perlindungannya.
Di Jakarta bisa?
Kenapa tidak? Di sini (Jakarta), tiap orang menghabiskan 35 persen penghasilannya untuk transportasi. Itu cukup tinggi bagi tiap orang, termasuk bagi orang kaya. Jika mereka mengendarai sepeda, tentu saja bisa lebih hemat. Tapi pengelola kota harus melindunginya. Memang kebanyakan malu naik sepeda, padahal itu tidak menunjukkan status sosial. Jika pengguna sepeda bisa mencapai 20 persen dari populasi Jakarta, itu sangat fantastis.
Apa yang Anda lihat pada lalu lintas Jakarta?
Sebenarnya sama di mana saja. Berbagai tempat lain di dunia juga semakin mengkhawatirkan. Namun di sini seperti tidak ada pemecahan masalah. Membangun banyak jalan, flyover, bahkan subway, bukan solusi yang tepat.Ada dua masalah dengan solusi yang berbeda. Mobilitas hanya dapat dipecahkan dengan transportasi publik. Tapi banyaknya jenis transportasi tidak memecahkan masalah kemacetan. Solusi kemacetan: batasi mobil. Penggunaan mobil menghabiskan tempat atau jalan, juga lahan parkir. Ingat, parkir bukan hak dasar dalam konstitusi. Pemerintah hanya punya kewajiban di bidang kesehatan, perumahan, sistem pengadaan air, keamanan, pekerjaan, tapi tidak untuk urusan parkir.
Jadi, apa yang terbaik untuk solusi lalu lintas di Jakarta?
Kembangkan terus Transjakarta dengan lebih banyak jurusan. Biayanya lebih murah dibanding membangun MRT (kereta api bawah tanah). Biarpun memiliki 50 kilometer MRT, saya yakin tidak lebih dari 5 persen penduduk yang bisa terangkut. Di Manila ada tiga rute MRT, tapi tak sampai 4 persen penduduk yang menggunakannya. Sistem bus terpadu dengan jalan khusus, yang tak boleh dimasuki mobil, hanya bisa diselesaikan dengan keputusan politik.
Bagaimana bila Transjakarta menjadi mahal karena ada korupsi?
Mungkin saja, dan itu harus dipecahkan, perlu investigasi. Tiap prosesnya harus bersih dan jujur. Saya percaya, Transjakarta sebagai salah satu atau mungkin bus rapid transit pertama di Asia, memang masih banyak masalah. Tapi itu bisa diperbaiki. Paling utama, singkirkan mobil dari busway, karena jalur itu harus eksklusif.
Menurut Anda, busway pilihan warga Jakarta?
Saya bayangkan, jika ada referendum, 90 persen warga Jakarta akan memilih melarang mobil pada jam sibuk. Saya yakin, kebanyakan mereka memilih tak menggunakan mobil. Karena warga membutuhkan transportasi publik yang baik, bukan mobil.
Anda tampak sibuk menularkan "virus" sistem busway di berbagai negara?
Memang, karena ini salah satu solusi untuk negara ketiga. Kota Meksiko, Guadalajara, Kota Guatemala, Istanbul, bahkan New York, Ottawa, Toronto, dan bulan ini Guangzhuo, Cina, akan membuka bus rapid transit besar, mengangkut satu juta orang tiap hari sepanjang 30 kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo