Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama satu setengah jam Niniek L. Karim dan Ikranagara menggetarkan panggung. Mereka berpantomim, meringis, meraung, dan terbahak bahak untuk Kereta Kencana. Drama yang naskahnya ditulis W.S. Rendra—adaptasi dari Les Chaises karya Eugene Ionesco asal Prancis—ini disutradarai Putu Wijaya. Pentas di Komunitas Salihara, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu, digelar untuk mengenang kepergian si Burung Merak.
Alkisah, sepasang suami istri jompo telah hidup dua ratus tahun. Mereka meminta kematian, tapi malaikat selalu menolak. Hingga suatu hari, Hendri, sang suami, bermimpi didatangi kereta kuda berderap dengan lonceng berdenting di tengah gemuruh angin. Sebuah suara berkumandang: ”Wahai, orang tua yang selalu bergandengan dan bercinta siang dan malam dua abad lamanya, kereta kencana akan datang menjemput....”
Keduanya mafhum. ”Bukankah itu artinya kita akan mati bersama,” kata si lelaki. Lalu pasangan ini bersiap menyongsong maut dengan menapaktilasi perjalanan hidup mereka. Mereka mengobrol, mengenang negeri negeri yang pernah didatangi, mengingat berbagai rezim yang pernah dilalui, dan mengucap impian impian yang belum tercapai.
Sang istri sangat terobsesi suaminya menjadi jenderal (”Tapi aku hanya profesor,” kata suaminya). Karena merindukan hadirnya anak dalam kehidupan mereka, pasangan ini pun bersandiwara seolah olah punya anak. Mereka bergembira bersama si ”anak”, tapi menangis ketika sadar itu semua hanya kepalsuan.
Sesungguhnya hidup mereka tak buram. Di usia jompo begitu, Hendri masih ditawari jabatan empuk. Saat pintu diketuk—dan sang kakek nenek mengira itu malaikat maut—ternyata yang datang ”Pak Menko”, menawari Hendri jadi menteri. Tapi Hendri menolak. ”Saya cuma punya satu muka. Jadi menteri kan harus punya 1.001 muka,” katanya. Aha, di sinilah Rendra mulai menyisipkan humor humor kontekstual dalam naskahnya.
Putu Wijaya menyebutkan hal ini sebagai yang patut dikenang dari karya karya Rendra: tema seserius apa pun bisa digodok menjadi sebuah sentilan yang mengundang tawa.
Cerita bergulir. Senang dan sedih silih berganti menghantui suami istri renta ini. Si kakek tersadar, ia hanyalah ”cacing” yang selalu di bawah dan tak pernah meraih apa pun yang diinginkan. Lalu si nenek menghibur, ”Tapi kan kamu bagus menjadi badut. Dulu waktu mahasiswa kamu juara satu lomba badut.” Keduanya lalu bermain badut badutan, tergelak, kelelahan, dan kembali menyadari kehampaan hidup mereka.
Duo Ikra dan Niniek menunjukkan kelas mereka. ”Aksesori” mereka di panggung hanya sebuah kursi dan sehelai kain putih yang menjuntai dari atas. Selebihnya adalah akting memukau dramawan senior itu. Dialog yang panjang lebar tak terasa membosankan. Baik Ikra maupun Niniek sukses menghanyutkan emosi hadirin kian kemari. Sesaat kita dibawa ke suasana percintaan romantis, sesaat berikutnya kita ikut tergelak bersama mereka.
Tokoh tokoh yang lain ”hadir” lewat gerakan dan ucapan saja. Misalnya, ketika tokoh sang Paduka datang, pasangan itu berakting membersihkan rumah dan merunduk runduk seolah olah sang Raja benar ada di hadapan mereka. Atau, ketika adegan segerombolan anak masuk rumah, duo jompo itu beraksi seperti panik dan kewalahan mengurus sekumpulan bocah yang berkumpul di ruangan sempit. Luar biasa.
Satu satunya ”bintang tamu” dalam pementasan itu adalah Putu Wijaya, yang hanya muncul beberapa detik. Ia berperan sebagai orang yang membisikkan sesuatu ke Hendri. Yang dibisiki memekik: ”Siapa? Mencari Rendra?” Ketika ditanya istrinya, Hendri menjawab, ”Itu intel yang ketiduran lama sekali. Dia pikir ada Rendra di sini.”
Lewat momen ini, Putu ”mengawinkan” dua dramawan senior: Ikra dari Teater Kecil dan Niniek Teater Populer. Sang sutradara membuktikan, meski berbeda ”aliran”, keduanya bisa menyatu di atas panggung. Sebuah persembahan yang indah untuk Rendra. Suasana Salihara khidmat ketika, di pengujung acara, Putu menyeruak dari bangku penonton sambil memekikkan panggilan Rendra: Willy! Willy!
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo