Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunjungan Perdana Menteri Cina Wen Jiabao ke ibu kota Korea Utara, Pyongyang, pekan lalu berlangsung agak panas. Awalnya, Wen membanggakan negerinya karena sukses membangun perekonomian. "Kami sekarang kaya dan kuat," ujar Wen. Tanpa menunggu lama, pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong il, langsung menohok membalas serangan. "Kami memiliki tim yang masuk putaran final Piala Dunia."
Korea Utara memang boleh berbangga. Cina baru pertama kali masuk putaran finalPiala Dunia, yakni pada 2002 (Jepang dan Korea Selatan), sedangkan Korea Utara sudah dua kali-yang pertama pada 1966 di Inggris. Tahun depan, di Afrika Selatan, Korea Utara mewakili Asia bersama Australia, Korea Selatan, dan Jepang. Satu tempat lagi masih diperebutkan Bahrain dan Selandia Baru dalam babak play off.
Untuk maju ke ajang putaran final, tim yang berjuluk Chollima alias kuda bersayap dalam mitologi Korea itu harus berjuang keras. Korea Utara satu grup dengan tim langganan Piala Dunia seperti Korea Selatan, Iran, dan Arab Saudi. Di pertandingan terakhir di Riyadh pada 17 Juni 2009, Korea Utara dan Arab Saudi memiliki nilai sama, tapi Saudi diunggulkan karena main di kandang dan suhu ketika itu mencapai 40 derajat Celsius.
Pertandingan kian berat sebelah pada 10 menit terakhir setelah Kim Yong jun diusir wasit. Hasil imbang 0 0 itu menempatkan Korea Utara menjadi runner up grup B, memiliki empat poin di bawah Korea Selatan. Korea Utara lolos ke putaran final Piala Dunia 2010 meski nilainya sama dengan Saudi. Korea Utara unggul selisih gol dan head to head dengan Saudi. "Kami memang harus bertarung keras agar bisa lolos," kata pelatih Korea Utara, Kim Jong hun. Penjaga gawang Ri Myong guk menimpali, "Saat menjaga gawang, rasanya seperti sedang menjaga gerbang tanah airku."
Semangat "perang" membela tanah air dan leluhur itulah yang dimiliki para pemain sepak bola tim Piala Dunia Korea Utara. Bukan saja mereka yang bermain di klub lokal, tapi juga para pemain yang berlaga di liga asing. Mereka adalah Jong Tae se (Kawasaki Frontale, Jepang), Ahn Yon hak (Suwon Samsung Bluewings, Korea Selatan), Hong Yong jo (FC Rostov, Rusia), dan Kim Yong jun (Chengdu Blades, Cina).
Jong Tae se, misalnya, rela meninggalkan kebebasan dan kemewahan buat membela tanah leluhurnya. Padahal pemain berusia 25 tahun ini, yang lahir dan "hidup" di Negeri Matahari Terbit, sebetulnya punya kewarganegaraan Korea Selatan. Kakek dan neneknya pergi dari Korea setelah konflik pada saat Perang Dunia II, berlanjut pada perang saudara yang kemudian memisahkan dua Korea menjadi utara dan selatan. Orang Korea yang tinggal di Jepang disebut Zainichi. Begitu pula Ahn Yon hak, 30 tahun.
Pemerintah Korea Utara pun sangat antusias atas keberhasilan itu dan memberi mereka penghargaan tertinggi. Wakil Presiden Dewan Presidium Tertinggi Rakyat Korea Utara Yang Hyong sop menyebut para pemain sepak bola ini sebagai pasukan kehormatan yang membawa kebesaran bagi negeri. "Mereka sama dengan militer dan rakyat yang berjuang keras membangun bangsa yang sedang berkembang pesat ini," katanya seperti disiarkan kantor berita Korea Utara, Yonhap.
Penghargaan tertinggi Kim Il sung dan penerusnya, Kim Jong il, juga diberikan kepada Direktur dan Wakil Komisi Fisik Kebudayaan dan Pembinaan Olahraga, Kim Jing sik dan Kim Jong su. Puja puji dan penghargaan itu diharapkan dapat memicu prestasi di putaran final Piala Dunia di Afrika Selatan itu.
Semangat "perjuangan" juga dibangkitkan dengan menonton film dokumenter tahun 2002, The Game of Their Lives. Film tersebut bercerita mengenai keberhasilan tim nasional Korea Utara pada Piala Dunia 1966 di Inggris. Waktu itu mereka secara mengejutkan menyingkirkan tim raksasa Italia dan melaju ke perempat final. Tim Korea Utara lagi lagi tampil menakjubkan di partai perempat final, unggul 3 0 terlebih dulu atas Portugal. Sayangnya, hasil akhir pertandingan kalah 5 3, karena cemerlangnya pemain legendaris Eusebio yang mencetak empat gol.
Namun para petinggi sepak bola Korea Utara rupanya sadar betul bahwa sejarah kegemilangan masa silam saja tak akan cukup buat modal mereka berlaga di Afrika Selatan. Awal Oktober lalu, negeri dengan perekonomian yang masih porak poranda ini mengirim tim nasionalnya berlatih di kota kecil Saint Sebastien sur Loire, di luar Nantes, Prancis. Di sana mereka menjalani sejumlah pertandingan persahabatan, antara lain dengan Nantes FC dan kesebelasan Republik Kongo, Afrika, dengan hasil 0 0.
Sekembali ke Pyongyang, mereka juga mengundang klub Brasil, Atletico Sorocaba. Dalam pertandingan di Stadion Kim Il sung, Pyongyang, dua pekan lalu, Korea Utara bisa menahan imbang tanpa gol. Kekuatan tim ini memang pada lini belakang yang dijaga Ri Myong guk. Di babak penyisihan akhir di zona Asia, mereka termasuk yang paling sedikit kebobolan. Sayang, kemampuan mereka mencetak gol pun tergolong minim, seperti terlihat dalam tiga pertandingan persahabatan terakhir mereka.
Pengalaman bertanding memang jadi problem besar buat tim sepak bola Korea Utara. Negeri ini sudah lama tenggelam dalam kesendirian. Sejak 1994, setelah berkali kali gagal lolos ke putaran final Piala Dunia, pemimpin besar negeri itu, Kim Il sung, melarang tim nasional mengikuti turnamen apa pun. Praktis, sejak itu Korea Utara seperti tercoret dari ajang persepakbolaan internasional. Mereka baru keluar dari ketertutupan pada 2005, dengan mengikuti penyisihan Piala Dunia 2006. Tim putrinya juga menang dalam Piala Dunia Wanita U 20 pada 2006.
Tak seperti negara komunis lain, Korea Utara memang memperlakukan urusan sepak bola dengan cara berbeda. Ketika banyak negara komunis atau eks komunis lain memiliki tim sepak bola yang disegani-Rusia, Republik Cek, Polandia, atau bahkan Cina-Korea Utara justru tak memiliki banyak prestasi membanggakan. Negeri itu sibuk dengan urusan perbatasan dan hubungan dengan negeri tetangga, Korea Selatan, yang cenderung terus memanas. Pekan ini, misalnya, di garis batas utara, angkatan laut Korea Utara dan Selatan saling menyerang.
Padahal, di tingkat rakyat jelata, mereka sebetulnya menginginkan permusuhan saudara sedarah ini diakhiri. Menurut Dekan Sekolah Komunikasi Massa Universitas Gwangju, Hanho Lyu, rakyat sudah menginginkan hubungan yang harmonis di antara kedua negara. "Minimal bisa saling mengunjungi karena kami masih satu bangsa," ujarnya lewat telepon internasional. Berbagai program pertukaran kun jungan agaknya tak mampu mengendurkan sikap elite politik Korea Utara yang kaku.
Sikap seperti itu terasa tatkala Tempo meminta informasi ke Kedutaan Besar Korea Utara di Jakarta. Menurut sekretaris kedutaan, mereka tak punya informasi tentang kesebelasan Piala Dunia Korea Utara. "Kedutaan mengurusi politik, tak mengurusi olahraga," katanya.
Ahmad Taufik (Reuters dan Afp)
Jalan ke Afrika Selatan
Menang | Uni Emirat Arab | 2-1 |
Seri | Korea Selatan | 1-1 |
Kalah | Iran | 1-2 |
Menang | Arab Saudi | 1-0 |
Menang | Uni Emirat Arab | 2-1 |
Kalah | Korea Selatan | 0-1 |
Seri | Iran | 0-0 |
Seri | Arab Saudi | 0-0 |
Peringkat FIFA: 91
Pelatih Kepala: Kim Jong-hun
Pemain Top:
Seragam Kandang: Merah, Tandang: Putih
Stadion: Kim Il-sung
Korea Utara
Ibu kota: Pyongyang
Bentuk negara: Republik, komunis, sosialis, terpimpin (Juche)
Luas negara: 120.538 kilometer persegi
Penduduk: 23,9 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo