Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2>Martini <font color=#CC0000>Kerajinan Eceng Gondok</font></font><br />Spirit dari Tepi Kali Progo

Bermula dari penjaga toko, ia mengembangkan usaha kerajinan dengan nilai ekspor hingga Rp 4 miliar. Resepnya klasik: jangan pernah menyerah.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah warung soto di Bantul, Martini menerima tantangan majikannya. Ini kali ketiga sang majikan meyakinkan Martini, 37 tahun, untuk menjalankan usaha sendiri. Sang bendoro, pengusaha kerajinan, sudah tak sanggup lagi meneruskan usahanya. "Kalau dalam dua tahun belum ada kontainer, kamu datang ke sini dan jitak kepala saya," kata Martini, menirukan sang bos.

Martini bekerja sebagai penjaga toko kerajinan di Bantul, Yogyakarta, sejak 1997. Baru setahun bekerja, toko kerajinan itu kesulitan modal. Tapi ibu satu anak ini tak mau meninggalkan majikannya dalam keadaan oleng. Ia rela tak dibayar beberapa bulan, hingga dorongan dari sang bendoro datang, pada akhir 1998.

Awalnya, Martini tak langsung menerima tantangan itu. Ia gamang. Modal dan pengalaman sangat terbatas. Bekal pendidikannya pun hanya sekolah menengah pertama. Tapi akhirnya ia tak bisa mengelak.

Dengan bekal Rp 250 ribu, ia memulai usaha kerajinan eceng gondok di rumahnya di Desa Banguncipto, Kulon Progo, Yogyakarta, pada Maret 1999. Uang itu cukup untuk membeli mesin jahit bekas dan bahan bakunya. Ia membuat alas meja, tikar, bantal, dan tas. Produknya dititipkan ke pedagang kerajinan di sekitar Yogyakarta.

Perempuan dari tepi Kali Progo itu juga aktif menggarap pasar melalui Internet. Di saat orang lain belum banyak melek Internet ketika itu, Martini mempromosikan produknya lewat media ini dengan bantuan putrinya, Irma Purwaningsih. Ia memakai jasa warung Internet di Kota Yogyakarta, sekitar 15 kilometer dari rumahnya.

Ternyata, model pemasaran ini berhasil. Beberapa turis asing bahkan datang ke rumahnya dan memesan kerajinan meski dalam jumlah kecil. Mereka tertarik karena produknya menggunakan bahan baku alam, seperti eceng gondok, pandan, dan kerang.

"Saya jarang dandan sehingga bule-bule banyak yang bilang saya alami," katanya sambil tertawa. Bahan baku alam serta guyonan para tamu asing itu memberinya ide. Ia pun memberi nama produknya Martini Natural.

Pada medio 2000, ia mendapat pesanan tas dengan nilai total Rp 30 juta dari pengusaha Jakarta. Pengusaha ini memasarkan tas Martini ke Puerto Riko. Martini pun mulai mempekerjakan tetangganya untuk memenuhi pesanan itu.

Pesanan dari agen kerajinan lain juga berdatangan. Martini menerima permintaan membuat sandal atau sepatu mulai 2001. Hasil olah tangannya pun merambah ke sejumlah negara Eropa, seperti Italia, Prancis, dan Spanyol. Pada 2005, omzetnya mencapai Rp 8 miliar.

Musibah datang ketika Yogyakarta digoyang gempa, pada 2006. Gudangnya berantakan sehingga produksi macet. Ia memperkirakan kerugian hingga Rp 700 juta. "Apa mungkin saya bisa melanjutkan usaha lagi?" ia ragu. Tak hendak surut, ia mengerjakan segala macam pesanan kerajinan. Ia bahkan pernah menerima order membuat bendera dan busana perempuan.

Martini Natural pun kembali mekar. Ia memperoleh pinjaman dari perusahaan pembiayaan PT Sarana Yogya Ventura Rp 70 juta, pada 2007. Kini ia bisa mendapat pinjaman hingga Rp 300 juta.

Martini bisa merangkul langsung pedagang luar negeri. Ia memasang Internet di rumahnya, dan aktif menyebarkan brosur elektronik: "Martini Natural, handicraft dari bahan tropis alami."

Martini Natural lebih banyak membuat tas, sandal, dan sepatu. Ia juga membuat produk pendukung, seperti pajangan sepatu dari batang pohon. Brosur elektronik itu biasanya disebarkan pada Mei hingga Agustus, musim pengiriman sampel. September hingga awal Mei merupakan musim pesanan.

Tahun lalu, Martini bisa mengirim barang ke luar negeri dengan total nilai Rp 4 miliar. Sedangkan omzet produk lokalnya Rp 360 juta. Tiga gudang serta hamparan tanah di sekitar Kali Progo, yang dibelah Jembatan Bantar, kini menjadi miliknya.

lll

DI tepi Kali Progo, bocah perempuan itu membawa makanan untuk para penggali pasir. Martini kecil menjajakan makanan sebelum belajar siang di Sekolah Dasar Muhammadiyah Banguncipto. Sorenya mencari kayu bakar di hutan.

Martini, anak ketiga dari empat bersaudara, adalah satu-satunya perempuan dari keluarga buruh tani, Rame Sarwoutomo dan Ponikem. Ia memilih Sekolah Pendidikan Guru di Sentolo, Kulon Progo. Alasannya sederhana: ingin mencari sekolah yang bisa cepat kerja sehingga bisa membantu orang tua.

Ia pun mengikuti kegiatan sekolah, seperti keterampilan masak, menjahit, dan kerajinan. Ketika hendak naik kelas II, orang tuanya sudah benar-benar menyerah. Ia harus keluar dari sekolahnya.

Martini menikah dengan buruh bangunan, Nurhadi, pada 1989. Ia ikut suaminya yang berpindah-pindah proyek. Mereka pernah tinggal di Padang hingga Malangbong, Jawa Barat. Selama mendampingi suami itu, Martini bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika suaminya mendapat proyek di Yogyakarta pada 1997, ia pulang kampung. Ia bekerja di toko kerajinan di Bantul. Di sinilah Martini baru berkenalan dengan kerajinan. "Saya tak bermimpi bisa seperti sekarang," katanya.

Martini kini mempekerjakan sekitar 40 orang. Ia juga mempekerjakan sekitar 300 orang di daerah Kulon Progo, Bantul, Sleman, Klaten, serta Yogyakarta. Ada yang bikin payet, menjahit, dan menganyam. Satu tas, misalnya, bisa dikerjakan lima orang di tempat terpisah.

Untuk mendukung kegiatan ekspornya, Martini belajar bahasa Inggris. Dalam Workshop Asia-Pacific Economic Cooperation di Yogyakarta, 19-22 Oktober, ia presentasi dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Kemauan belajarnya luar biasa," kata Direktur Usaha Kecil Menengah-Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Nining I. Soesilo.

Kini, Martini rajin bersilaturahmi ke rumah majikannya dulu. Tentu saja tanpa jitakan. "Jangan pernah menyerah," katanya.


"Desa Banguncipto merupakan desa minus. Kebanyakan buruh tani. Martini dari keluarga susah. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia ikut berbagai pelatihan di desa sebelum menikah. Dia dan suaminya berhasil membangun industri rumah dengan skala ekspor. Mereka membuka lapangan pekerjaan penduduk di sini."
-Humam Turmudhi, Kepala Desa Banguncipto, Kulon Progo, 1985-2004

"Kami memberi pinjaman Rp 70 juta kepada Martini pada 2007. Ia datang ke sini karena usahanya terpukul gempa. Ternyata ia bisa lancar mengembalikan pinjaman. Kemauan belajarnya tinggi. Kami membantu melalui proses pendampingan, seperti manajemen, komputerisasi, menjaga kualitas, serta perluasan pasar."
-Hari Santosa, Direktur PT Sarana Yogya Ventura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
ยฉ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus