Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2>Jumaro Joko <font color=#CC0000> Akar Bambu</font></font><br />Berbiak dari Bebek Bambu

Akar bambu mengibarkan bisnisnya hingga mancanegara. Ia memberdayakan bekas narapidana dan anak jalanan.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bertelanjang dada, Jumaro Joko Pratomo dengan lincah memoles sejengkal akar bambu dengan cat kuning. Selasa pekan lalu, saat disambangi di galerinya, Galeri 76, di Jalan Kebon Agung Nomor 28, Malang, pria berkalung gigi ikan paus itu sedang asyik menyelesaikan sejumlah karyanya, aneka kerajinan dari bonggol bambu.

Ya, di tangan Joko, bonggol bambu berserabut itu disulap menjadi aneka rupa benda menarik dan lucu, seperti bebek, ikan, vas bunga, asbak, dan tudung lampu. Di galerinya yang juga merangkap ruang pamer seluas sekitar setengah lapangan bulu tangkis itu, karyanya bertengger rapi.

Tidak semua dari akar bambu, memang. Sebagian ada juga dari akar pohon jati dan pohon kopi. Ada yang berbentuk naga, burung, dan ular. Di galeri itu juga terdapat akar pohon jati yang sudah dipermaknya menjadi kursi unik. "Sisa sedikit, sebagian besar sudah diekspor," ujar pria 37 tahun itu menunjuk aneka rupa benda yang ada di galerinya.

Selain berfungsi sebagai ruang pameran dan produksi, galeri itu menjadi tempat tinggal Joko dan keluarganya. Dari sinilah pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, itu menggerakkan roda bisnisnya. Bisnis aneka benda dari akar kreasinya itu sudah menembus pasar mancanegara sejak sembilan tahun silam, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan selama ini.

l l l

Naluri bisnis dan bakat seni Joko bisa dibilang tumbuh beriringan. Ketika di Sekolah Dasar Negeri Jati 1, Karanganyar, ia sudah menjual lukisannya untuk biaya sekolah. Joko memang pandai menggambar. Kala duduk di bangku SD itu pula ia sempat menyabet juara ketiga lomba lukis se-Jawa Tengah. Sewaktu di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kebakkramat, ia berjualan kartu ucapan, seperti kartu selamat ulang tahun dan hari raya. Sebagian kartu itu hasil kreasinya. Saat duduk di bangku Sekolah Teknik Menengah Tentara Pelajar, di sela-sela jam sekolah, ia juga mencari uang dengan menjadi kenek bus Setia rute Solo-Sragen.

Setamat STM pada 1989, Joko memutuskan hijrah ke Jambi. Di tanah Andalas ia bekerja di Sabah Indah Plywood, pabrik pengolah kayu perangkat rumah. Setahun kemudian ia pulang kampung. Ia mulai membuat aneka kerajinan tangan. Lalu ia tawarkan ke pengusaha Solo dan Jawa Timur. Joko ingat, karya pertamanya, wadah buah berukir, laku Rp 400 ribu. Dia juga menyambi di agen perjalanan.

Pada 1996 Joko pindah ke Malang. Di Kota Apel ini ia bertemu dengan Catur Widiati, gadis asal Malang yang dinikahinya dua tahun kemudian. Tapi, kehidupan ekonomi Joko belum beranjak mapan. Bahkan, menukik. Hingga akhir 1999 ekonomi keluarganya amburadul.

Sampailah pada satu pagi awal 2000. Ketika itu, ia tengah menyusuri Sungai Metro, anak Sungai Berantas, di Kebon Agung, untuk mencari bebatuan. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada akar bambu yang menyembul dari lereng jurang. Bentuknya yang menyerupai kalajengking begitu mempesona Joko. Dengan sebilah kudi-benda tajam semacam sabit-dicongkellah akar itu, lantas dibawa ke rumah.

Bermodal Rp 300 ribu, sisa upah mengantar seorang notaris, Joko membeli peralatan pahat di Pasar Besar, Malang. Akar itu disulapnya menjadi patung bebek. Merasa puas dengan karya pertamanya, ia mulai berburu akar bambu. Sebulan kemudian, Joko menjajakan 12 buah patung bebek akarnya di alun-alun Malang. Di bawah beringin, ia menggelar patungnya. Tanpa sengaja, datang orang mabuk. Orang itu menyambar patungnya lantas berteriak-teriak menawarkan dagangannya: "Bebek... bebek...."

Rupanya ada seorang pria asal Bali yang tertarik. Semua diborong dengan harga Rp 150 ribu per buah, termasuk enam buah yang ada di rumah. Bermodal uang tersebut, Joko mulai merekrut karyawan. Karyawannya ia ambil dari bekas narapidana.

Parman, seorang narapidana yang baru keluar dari penjara, menjadi pegawai pertamanya. Menurut Joko, keputusan memilih bekas pesakitan lantaran ia pernah memiliki pengalaman sebagai penghuni tahanan yang terbilang pahit. Pada 1993 ia sempat ditahan tiga bulan karena dituduh memotong tangan pria selingkuhan istri pertamanya. "Padahal saya tidak melakukannya," katanya.

Bersama Parman, Joko lantas "berburu" bekas narapidana. Mereka mendatangi lurah-lurah di Kecamatan Pakis untuk mendata warga yang dipenjara. Beberapa lembaga pemasyarakatan juga disambangi. Akhirnya terkumpul 12 pekerja bekas narapidana. Dengan modal dari Ketut dan Dono, pengusaha asal Bali, Joko menggenjot produksi. Hasil karya Joko ini dijual oleh Ketut dan Dono ke pembeli asing.

Pada 7 Juni 2000 Joko meresmikan usahanya : Galeri 76. Angka 76 itu diambil dari tanggal dan bulan usaha itu diresmikan. Dengan bendera Galeri 76 itulah ayah dua anak ini mulai memasarkan sendiri produknya.

Pada Oktober 2000, ia ikut pameran Indonesian Craft (Inacraft) di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta. Modalnya Rp 8 juta untuk menyewa gerai berukuran sembilan meter persegi. Tak dinyana laris manis. Dalam tempo dua hari, jualannya ludes diborong dua pengusaha dari Florida dan Kanada. Dari pameran itu Joko meraup ratusan juta rupiah.

l l l

Kini usaha Joko kian pesat. Karyawannya mencapai 60 orang. Sekitar 50 di antaranya bekas narapidana dan anak jalanan. Menurut Ade Suwargo Mulyo, Manajer Proyek Swisscontact, langkah Joko, yang bisa dikatakan antitesis dari pandangan umum lantaran merekrut bekas narapidana, patut dicontoh. "Ia membuktikan orang dari penjara pun bisa menjadi baik dan berprestasi."

Selain itu, Joko membangun enam bengkel kerja yang tersebar di Malang dan Kota Batu. Kapasitas produksinya terus meningkat. Produknya sudah lebih dari seribu item. Sedikitnya, dua bulan sekali produknya sebanyak dua kontainer-bernilai sekitar Rp 3 miliar-ia kirim ke luar negeri, seperti Amerika, Italia, Prancis, Belgia, Belanda, dan Jepang.

Sejak tiga tahun lalu Joko memperluas usahanya. Dia membuka penyewaan mobil. Kini dia sudah memiliki 12 unit mobil. Setiap bulan ia mendapat tambahan pemasukan hingga Rp 140 juta. Joko juga membuka distribusi alat rumah tangga dengan omzet sekitar Rp 100 juta per bulan.

Awal tahun depan Joko berniat membuka butik dan kafe yang akan dikelola Widiati, isterinya. Walau bisnisnya telah menggurita, fokus bisnisnya tetap kerajinan.


"Orang-orang seperti dia melihat apa yang tidak atau belum dilihat orang lain. Dengan kejelian dan keberanian, Joko mengambil peluang, akar itu diolahnya.
Joko juga mengambil pekerja bukan orang biasa, yakni para bekas narapidana. Ini potret sangat indah dari fungsi pelaku usaha ini."

-Bob Sadino, Pemilik Kem Chicks

"Sejak 2003 saya bekerja sama dengannya. Produknya unik, banyak yang minat."
-Tanto Miarso Budi, Molek Art Shop

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus