Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul delapan pagi di pinggir jalan desa di Dusun Krajan I, Kandangan, Kabupaten Temanggung. Suara pemotong dan penghalus kayu menderu-deru membelah keheningan. Di sebuah bangunan berlantai dua seluas tiga ratus meter persegi itu, tiga puluh pekerja sibuk dengan alat masing-masing. Bau debu potongan kayu menyeruak, menyatu dengan halimun tipis yang masih menggelayut di sekitar bangunan, bertolak belakang dengan kesunyian dan kehidupan yang seolah berjalan lamban di desa nun seratus kilometer selatan Semarang itu.
Di bengkel kerja itulah, kayu pinus, mahoni, sengon, dan sonokeling disulap selama enam belas jam menjadi radio, yang peminatnya menyebar di seluruh penjuru dunia. Sebatang sengon, yang biasa dijadikan kayu bakar dan dihargai Rp 10 ribu, bernilai ratusan dolar Amerika setelah diolah di bengkel kerja milik Singgih Susilo Kartono itu. Sebuah radio kayu dijual dengan harga US$ 250-300 atau Rp 2,3-2,8 juta di Amerika dan Eropa. ”Kita harus memberi nilai tambah pada kayu,” katanya, Rabu pekan lalu.
Singgih, 41 tahun, memilih menggeluti usaha kayu karena merasa sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dibesarkan di desa permai yang dirimbuni pokok-pokok yang menjulang. Dari kayu pula, sebagian warga Kandangan menggantungkan hidup mereka, menjual gelondongan kayu yang sudah dipotong-potong. Itulah yang membuat lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu prihatin. Kayu, yang seharusnya menjadi aset berharga bagi lingkungan dan masyarakat, justru dijual murah dan terus ditebangi.
Menjodohkan kayu dengan radio juga bukan tanpa alasan. Bagi ayah dua putri ini, radio adalah perangkat yang bisa menjadi teman manusia. ”Radio menemani kita dalam melakukan aktivitas, tapi tidak menuntut banyak perhatian dan menyita tenaga seperti televisi,” kata Singgih, yang tak memiliki pesawat televisi di rumahnya. Meski teknologinya sederhana, radio justru tak pernah mati, bahkan meski belakangan perangkat elektronik ini hanya menjadi aksesori pelengkap gadget mutakhir, seperti telepon seluler.
Perjodohan yang sarat nilai dan makna inilah yang melambungkan Singgih dan radionya ke panggung dunia. Desain yang menjadi tugas akhir kuliahnya ini memenangi International Design Resource Award 1997 di Seattle, Amerika Serikat. Ketika itu, radio yang ia buat masih prototipe. ”Komponen elektronik berasal dari radio jadi,” katanya. Toh, penghargaan prestisius ini tak lantas membuat Singgih menekuni pembuatan radio tersebut. Sampai tujuh tahun kemudian, ia masih bekerja di sebuah perusahaan furnitur.
Baru pada 2004, setelah perusahaan tempat dia bekerja gulung tikar, Singgih pulang kampung dan mulai membangun usaha sendiri. Singgih menyulap ruang tamu rumah orang tuanya menjadi bengkel kerja. Bersama istri dan empat karyawan, ia membuat alat-alat kantor, seperti tempat pulpen, stapler, dan tempat selotip dari kayu, juga kaca pembesar dengan gagang kayu. Ia pun membuat radio kayu. Magno, demikian ia menyebut radio itu, berasal dari kata magnifying glass (kaca pembesar), produk pertama yang ia buat.
Singgih memasarkan produknya menembus pasar Jepang dan mendapat penghargaan Good Design Award/G-Mark 2008. ”Saya memperhatikan Singgih dan karyanya sejak satu dekade lalu, dengan segala hormat, kualitasnya sangat luar biasa,” kata Fumikazu Makuda, juri Award, yang juga guru besar desain Tokyo Zokei University, ketika mengulas karya Singgih. Fumikazu pun menjadi distributor radio kayu tersebut di Jepang. Tahun lalu, dalam sebulan Singgih mengirim lima puluh unit radio ke Jepang.
Membuat barang ekspor berarti tak bisa lagi menggunakan komponen seadanya. Gayung bersambut, dalam pameran yang digelar Departemen Perdagangan 2005, ia bertemu dengan bos Panasonic, Rachmat Gobel. ”Saya lihat radio itu memakai komponen Panasonic,” kata Rachmat. Ketua Asosiasi Perusahaan Elektronik, yang juga pengurus Kamar Dagang dan Industri, ini pun bersedia menjual komponen Panasonic untuk dipasangkan di radio Singgih. ”Produknya inovatif, buktinya laku di luar negeri,” kata Rachmat.
Nama Magno yang kian berkibar berbanding lurus dengan angka penjualan. Untuk menggenjot produksi, Singgih membangun bengkel kerja di atas tanah seluas 2.200 meter persegi, dengan modal sendiri plus bantuan keluarga dan teman. ”Sekarang aset bangunan, tanah, dan alat sekitar Rp 1 miliar,” katanya.
Kemampuan produksi Peranti Works, nama perusahaan ini, masih terbatas, belum mampu memenuhi semua pesanan. ”Tahun ini kami hanya bisa membuat dua ribuan radio,” kata Tri Wahyuni, istri Singgih, yang menjadi manajer produksi. Karena itu pula, hingga kini Peranti belum bisa memenuhi pasar lokal. ”Kalau ada yang mau pesan, harus menunggu tiga bulan,” ujarnya.
Selain itu, pasar Magno adalah Amerika, Australia, dan Eropa. ”Terbanyak di Italia,” ujar Tri. Untuk mengantisipasi isu lingkungan, seperti ecolabel, Singgih mengganti tiap kayu yang dipakai dengan menanam ribuan bibit yang ia bagikan gratis ke warga lima desa di Kecamatan Kandangan. Separuh tanah di bengkel kerjanya ia jadikan tempat pembibitan. ”Radio Magno memakai kayu seminim mungkin, tapi kami menanam jauh lebih banyak,” katanya. Cocok dengan slogan produknya, less wood more works.
Untuk memastikan penanaman berjalan lancar, Singgih bekerja sama dengan aktivis lingkungan lokal, Mukadi, yang bertugas membagikan dan memastikan bibit tersebut ditanam dan tumbuh. ”Saya selalu mencatat perkembangan bibit yang ditanam,” kata Mukadi. Magno pun menjadi produk yang sejalan dengan semangat melestarikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal.
Ini adalah contoh sebuah desain yang menyelamatkan lingkungan,” kata Ridwan Kamil, arsitek dan desainer senior.
”Biasanya, kami di Eropa tidak pernah nyambung dengan desain buatan Indonesia. Kami hanya melihatnya sebagai produk yang murah. Tapi Singgih berbeda, dia menciptakan model bagi masyarakat dan membuat produk bernilai tinggi. Tahun depan saya akan memesan 1.500 radio, semua merupakan pesanan pembeli yang terus meningkat.”
—Oliver Errichiello, distributor radio kayu di Eropa
”Radio ini merupakan sebuah proyek sosial yang melibatkan komunitas. Singgih menularkan kemampuannya kepada warga sekitar.”
—Nina Due, kurator British Design Award 2009
Penghargaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo