Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Lubang Hitam' Kemanusiaan

Desakan untuk mencari korban baru makin kuat tiap kali pembunuh serial usai beraksi. Siapa sesungguhnya mereka? Monster ataukah juga korban?


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH pembunuh serial sebenarnya baru muncul pada 1971. Namun, kejahatan semacam ini sudah berumur ratusan tahun. Dongeng ataupun mitos telah lama meriwayatkannya. Ada Count Dracula di Rumania pada abad pertengahan yang gemar mengisap darah, manusia serigala, dan yang lainnya. Bahkan, cerita Jenggot Biru karya Grimms, yang biasa dikisahkan kepada anak-anak, adalah potret pembunuh serial sekaligus kanibal dengan kamarnya yang penuh potongan tubuh korbannya. Cerita semacam ini boleh jadi adalah upaya mengenali sisi sadistis dari manusia sebelum munculnya studi psikologis. Aksi mereka berabad-abad lalu masih jelas jejaknya lewat pembunuh serial saat ini.

Ed Kemper, pembunuh serial yang memenggal kepala ibunya sebagai korban terakhir, menyebutkan bahwa keinginan untuk membunuh dalam dirinya begitu kuat. Semakin ia tahan, semakin bergelora hasrat itu sehingga ia memilih mengambil risiko. Sedangkan Dennis Nielsen menyebutkan ia tak punya kegembiraan selain membunuh. Hal yang sama diucapkan Baron Gilles de Rais, sekutu wanita pahlawan Joan of Arc, yang membunuhi ratusan anak petani miskin pada abad ke-15 di Prancis. Sementara itu, yang lain menyebut setan yang memerintahkannya. Dari mana sesungguhnya dorongan ini datang?

Apakah mereka memang terlahir jahat? Kemper sewaktu kecil sudah senang merusak mainan adik perempuannya. Ia juga ingin mencium guru wanitanya, tapi sang guru harus ia bunuh lebih dulu. Gilles menyalahkan orang tuanya yang terlalu dominan. Sekalipun mereka tidak menyiksanya secara fisik, ia selalu merasa kerdil di hadapan orang tuanya, yang berperilaku aristokrat tulen. Untuk membuktikan ia sudah keluar dari bayang-bayang tersebut, pelampiasannya adalah menyiksa anak-anak kecil. Sementara itu, Jack the Ripper diduga keras membunuh karena syahwat.

Titik pijak penelitian pada abad ke-19 adalah mengesampingkan iblis sebagai sumber tunggal tindakan keji tersebut. Fokus diarahkan pada sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Inhuman (tak bersifat manusia) dilihat sebagai in-human (berada dalam diri manusia). Berapa jauh manusia terpisah dari binatang seperti yang dicetuskan Darwin dalam teori evolusi makin dipertanyakan. Pada abad ke-19 itu pula, kriminolog Cesare Lombroso dan Max Nordau percaya bahwa orang biadab memiliki tampang seperti manusia primitif: rahang kekar dan jidat rendah. Teori ini sekarang kurang populer, tapi masih dianggap sebagai rujukan.

Teori itu mirip dengan phrenology yang dikemukakan Franz Josef Gall tentang wajah pembunuh yang terlihat lewat goresan di mukanya. Gall mengungkapkan hal ini setelah kasus Herman Holmes yang menyatakan dirinya perwujudan setan.

Penelitian lebih lanjut di abad ke-20 tentu tidak sesederhana itu. Sebab, munculnya dorongan untuk membunuh mulai dipetakan. Penganiayaan semasa kecil (childhood abuse), terutama dari orang tua sendiri, baik yang bersifat fisik, mental, maupun seksual, diyakini mempunyai sumbangan besar dalam membentuk kepribadian pembunuh serial. Hampir semua pembunuh serial menggambarkan masa kecilnya sebagai penderitaan tiada putus. Penjerat leher dari Boston, Albert DeSalvo, bahkan benar-benar dijual sebagai budak oleh ayahnya yang pemabuk.

Potret umum keluarga pembunuh adalah ayah yang pemarah dan ibu yang keras dan dominan. Ibu dari Ed Gein mengatakan bahwa wanita adalah jambangan kenistaan, sementara sang anak mengartikannya dengan membuat kepala wanita sebagai mangkuk. Film Psycho karya Alfred Hitchcock bisa dijadikan ilustrasi untuk ibu yang dominan ini. Sebaliknya, ibu yang berperilaku longgar pun menyemai bibit yang buruk. Beberapa ibu dari pembunuh serial adalah pelacur, atau wanita yang merasa tidak risi sejengkal pun melakukan aktivitas seks di hadapan anaknya yang masih bocah. Biasanya, anak tumbuh dan menganggap semua wanita kotor dan lacur sehingga ia membenci mereka. Namun, masa kecil yang suram dalam keluarga bukan satu-satunya sumber. Sebab, Dahmer yang sadis berasal dari keluarga bahagia.

Adopsi juga mempunyai sumbangan penting karena anak jadi bertanya-tanya. Ia merasa dibuang, sekaligus merindukan sosok orang tua yang tak pernah dikenalnya. Hal ini menyebabkan anak tak stabil. Jika sang anak akhirnya bertemu dengan orang tua kandungnya dan kemudian ditolak, kerusakan makin parah. Pembunuh yang masa kecilnya diadopsi antara lain Ted Bundy, David Berkowitz, Charles Manson (pembunuh Sharon Tate, istri sutradara terkenal Roman Polanski), dan juga Robot Gedek (tidak secara resmi, tentunya).

Kekerasan yang dilihat semasa anak-anak juga membuat calon pembunuh cenderung menirunya. Ed Gein, penjagal wanita, mengaku semasa kecil banyak menyaksikan penyembelihan ternak yang membuatnya punya gagasan yang menyimpang. Penolakan yang dilakukan kawan sebaya juga membuat calon pembunuh membentuk dunianya sendiri. Masa penahanan sebagai remaja nakal juga berpengaruh. Pada awal abad ke-20, reform school (penjara untuk remaja) melakukan segalanya kecuali reform (perbaikan) itu sendiri. Henry Lee Lucas dengan tegas menyebut penjara yang mengubahnya sebagai pembunuh. Manson menyatakan bahwa ia diperkosa dan dipukuli rekan sesama tahanan saat berusia 14 tahun.

Namun, lingkungan yang buruk bukan penyebab tunggal. Sebab, bukankah banyak anak yang tumbuh dari lingkungan yang lebih buruk tidak menjelma menjadi pembantai? Karena itu, pembunuh serial diyakini memiliki "bawaan" alias gen dan sistem saraf yang berbeda dengan orang normal. "Gen pembunuh" memang boleh dikatakan tidak ada, tapi pembunuh serial sepertinya memang natural born killer.

Pembunuh serial bisa digolongkan sebagai psikopat (penderita kelainan jiwa), yang 30-38 persennya secara klinis memperlihatkan pola gelombang otak yang berbeda. Aktivitas gelombang otak orang normal lambat pada masa anak-anak tapi meningkat saat dewasa, sementara psikopat relatif ajek. Aktivitas ini baru bergerak setelah psikopat mendekati masa 40-an tahun. Hal ini bisa menjelaskan mengapa pembunuh serial selalu berusia di bawah 50 tahun. Kerusakan jaringan otak pada psikopat bisa diperoleh lewat keturunan ataupun tindak kekerasan yang diterimanya. Menurut kriminolog Adrianus Meliala, psikopat tak bisa disembuhkan secara sempurna sehingga penderitanya berakhir di dua tempat: penjara atau rumah sakit jiwa.

Mengingat sifat mereka yang antisosial, psikopat tak mampu menjalin hubungan yang jujur karena melihat orang lain sebagai obyek manipulasi. Mereka haus ketegangan dan nyaris tak punya rasa takut. Hukuman tak mempan untuk mereka karena secara alami mereka impulsif. Hal ini terlihat dalam cara mereka memandang korban, yang biasanya dihinakan, terutama lewat pemerkosaan. Kasus ini berbeda dengan pemerkosa yang membunuh korbannya karena takut tertangkap. Pemerkosa biasa tak menikmati pembunuhan itu, bahkan mungkin ketakutan, lain dengan pembunuh serial. Pembunuh serial juga mampu melakukan aktivitas seks pada mayat korban. "Dengan cara itu, ia membuktikan dirinya kuat dan jagoan," ujar psikolog Sarlito Wirawan.

Pengambilan organ seks dari korban mencerminkan kelainan seksual si pembunuh. Masalahnya, seks berkaitan dengan kematian, bukan kehidupan, sehingga—bagi pembunuh—kegiatan prokreasi harus dihapuskan. Kelainan seks ini diduga dipicu oleh rasa tidak aman pembunuh terhadap maskulinitasnya sendiri. Jadi, sesuatu yang bersifat "wanita" (pelacur atau kaum homo) harus dihancurkan agar pembunuh beroleh kejantanannya kembali. Pembunuh serial juga terpesona oleh proses kematian itu sendiri dan kanibalisme.

Issei Sagawa, kanibal dari Jepang, beralasan tindakannya itu untuk memiliki seutuhnya si korban. Biasanya, jauh sebelum beraksi, pembunuh sering berpura-pura menjadi ahli bedah. Korban awalnya adalah binatang ataupun boneka. Hal ini berkaitan dengan fantasi tentang kematian yang dimainkan di dalam benak mereka.

Namun, apakah mereka layak disebut gila? Secara standar hukum, tidak. Masalahnya, dengan melarikan diri dari tempat kejadian, pembunuh serial dianggap tahu konsep salah dan benar dalam masyarakat. Sekalipun begitu, orang macam apakah yang mampu mengiris anak kecil dan setelah itu menulis surat yang indah kepada orang tuanya? Kedok kegilaan dipakai untuk menghindari hukuman mati. Acid Bath Murderer John Haigh bahkan nekat minum air kencingnya sendiri di depan juri untuk meyakinkan bahwa dirinya gila. Namun, hal ini justru memperburuk nasibnya. Maka, tak mengherankan bila hanya sedikit pembunuh serial di Amerika yang lolos dari hukuman mati dengan dalih kegilaan ini.

Kedok lain yang sering digunakan adalah penciptaan alter ego (seperti Mr. Hyde dalam buku Dr. Jekyll and Mr. Hyde). Beberapa pembunuh serial mengaku bahwa kepribadian yang lain dari dirinyalah yang menyebabkan pembunuhan itu datang. Misalnya saja, Williams Heirens, yang dikenal sebagai Lipstick Killer, menciptakan alter ego George Murman, bahkan berkorespondensi dengannya. Ini variasi dari "iblis yang menyebabkan saya membunuh."

Hormon testosteron yang berlebihan juga menjadi faktor penyumbang kejahatan. Sebetulnya, testosteron yang tinggi bisa menjadi pemicu seseorang menjadi atlet ataupun usahawan yang berhasil. Namun, tidak semua orang bisa berada dalam posisi itu sehingga frustrasilah yang menonjol. Hal ini diperparah bila serotonin yang biasanya mampu mengontrol dalam kondisi rendah. Pembunuh juga biasanya mengalami keracunan logam berat yang tinggi.

Untuk benar-benar beraksi, pembunuh sering mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang lebih dulu. Pemicu terakhir biasanya stres yang mereka alami dalam "kehidupan normal" mereka: pertengkaran, kesulitan uang, frustrasi, cedera fisik, dan sebagainya. Biasanya, pembunuh menyalahkan kehidupan sosial masyarakat yang bersikap kejam terhadapnya. Pemberitaan media massa juga diyakini, selain membuat sebagian pembunuh "tersanjung", memicu munculnya copy cat alias peniru. Tiruan ini diwujudkan dalam aksi, bukan dalam "kegilaan", karena sudah otomatis dengan sendirinya peniru ini "sakit".

Pembunuh biasanya berhenti beraksi bila tertangkap atau terbunuh. Sangat sedikit yang menyerahkan diri. William Heirens pernah menulis dengan gincu di cermin di atas tubuh korbannya yang bersimbah darah, "Demi langit, tangkaplah saya sebelum saya membunuh lagi." Namun, sampai sekarang, belum ada pembunuh yang belum tertangkap yang mengaku sudah puas ataupun bosan.

Sampai kini, pembunuh serial masih tetap misteri. Dan sesungguhnyalah mereka adalah lubang hitam (black hole) manusia. Mereka merampas hidup orang lain tidaklah untuk mengisi kekosongan, tapi untuk menyebarkannya. Mereka bisa begitu normal, tapi juga begitu mengerikan, menghilang seperti hantu, dan mengintai korban yang baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum