Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

KETIKA MEMBUNUH MENJADI KEPUASAN

Pembunuh serial adalah mimpi buruk yang tak kunjung usai. Setelah penjagal anak jalanan di Kolombia tertangkap, kini muncul lagi pembunuh dengan pola yang sama di Pakistan. Indonesia pun pernah memiliki Robot Gedek, yang luar biasa perilakunya. Apa yang menyebabkan korban begitu banyak berjatuhan? Apa pula yang membuat dorongan membunuh muncul?


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah nyawa bisa melayang dengan mudah di Kolombia. Maut memunguti korbannya lewat perselisihan politik, perebutan ladang opium antarkartel obat bius, ataupun perang terbuka kartel dengan polisi. Bahkan, pada 1994, pemain sepak bola tim nasional Andreas Escobar harus mati setelah tak sengaja membuat gol bunuh diri dalam arena Piala Dunia. Tubuh Escobar ditembusi peluru penjudi yang kalap karena kalah taruhan. Di tempat yang memiliki angka pembunuhan tertinggi di Amerika Latin ini, 25 ribu korban tewas tahun ini. Kematian adalah kabar biasa, yang bisa diterima sambil tetap mengunyah keripik jagung. Namun, ketika dua bulan silam Luis Alredo Garavito, seorang gembel berusia 42 tahun, mengaku kepada polisi telah membunuh paling tidak 140 anak-anak, seluruh Kolombia terserang kemuakan. Kondisi empat korban terakhir Garavito yang berhasil ditemukan bisa berkisah bagaimana sadisnya pria yang dijuluki si Gila itu. Korban semuanya terbunuh dengan leher tergorok, tangan terikat ke belakang, dan dijumpai tanda-tanda penyiksaan dan pemerkosaan. Memang, tidak semua korban berhasil ditemukan karena Garavito sudah memulai aksinya tujuh tahun yang lalu. Temuan empat korban terakhir ini membuka kunci pada kasus 36 mayat dengan kondisi serupa yang tertangguk polisi dalam tahun ini. Para korban hampir semuanya laki-laki dan berusia antara delapan dan 16 tahun. Mereka adalah anak jalanan atau anak-anak miskin dari perkampungan kumuh. Biasanya, Garavito membujuk mereka dengan mengaku bisa membimbing rohani—itu sebabnya ia juga dijuluki si Pendeta. Setelah korbannya terbujuk, ia menyodorkan minuman keras sehingga anak-anak tersebut tak sadarkan diri. Sisanya adalah kekejaman yang mengisi mimpi buruk warga Kolombia. Kemarahan publik yang pertama justru tidak ditujukan kepada si penjagal. Mereka meradang pada polisi yang dianggap sangat lambat bekerja sehingga korban yang berjatuhan begitu banyak. Keluarga Marin, yang kehilangan anaknya sejak dua tahun lalu, dengan tegas menyatakan polisi tidak menaruh perhatian terhadap kasus ini karena korban datang dari keluarga melarat. Sementara itu, di sisi lain, publik juga meragukan pernyataan polisi bahwa Garavito adalah pelaku tunggal. Masalahnya, selain si Gila, ada nama Pablo Ramirez yang tahun lalu mengaku menghabisi lima bocah dengan pola yang sama. Dengan kata lain, Garavito hanya satu mata rantai dari sekelompok psikopat di negara tersebut. Mereka menuding, disodorkannya Garavito ini adalah kedok untuk menutupi ketidakmampuan polisi mengungkap kasus ini secara keseluruhan, juga kasus pembunuhan politik tingkat tinggi yang tengah jadi sorotan. Apa pun kata publik, Garavito sudah dimajukan ke pengadilan untuk dua kasus kejahatannya. Dalam persidangan, Garavito mengaku perbuatannya yang dilakukannya itu selain karena pengaruh minuman keras, juga karena "perintah" dari kekuatan lain yang mendominasi tubuhnya di luar kehendak dirinya sendiri. Ia juga bertutur bahwa semasa kecil ia mengalami perundungan seksual dan kekerasan yang terus-menerus. Putusan hakim telah jatuh pertengahan Desember lalu. Garavito divonis 52 tahun penjara, kurang delapan tahun dari tuntutan maksimal karena Garavito tak menyangkal semua tuduhan. Kolombia memang tak mengenal hukuman mati. Tapi, bisa dipastikan, si pendeta gadungan ini akan menghabiskan sisa hari-harinya di balik terali. Satu penjagal telah terkurung, tapi dunia masih jauh dari rasa tenteram. Awal Desember ini di Lahore, Pakistan, tepatnya di satu rumah kosong di kawasan pinggir kota, polisi menemukan dua mayat bocah yang tercincang dalam tong berisi cairan asam. Di samping tong, dijumpai dua kantong yang berisi lusinan sepatu anak-anak dan papan permainan. Yang membuat bergidik, si pelaku meninggalkan pesan tertulis bahwa ia telah membantai seratus orang. Semua korban juga ia cemplungkan ke cairan asam agar hancur. Tapi, ia mengancam untuk bungkam dan tidak menyebut siapa saja korbannya, serta akan segera menghabisi nyawanya sendiri. Sang pelaku, yang teridentifikasi sebagai Javed Iqbal, ini juga meninggalkan potret 16 anak yang dilaporkan hilang oleh orang tuanya. Iqbal, yang kini menghilang, pada 1990 sebetulnya sudah dikenai tuduhan tiga kali melakukan praktek sodomi paksa kepada anak-anak. Namun, saat itu ia dibebaskan karena kurangnya bukti. Saat ini polisi tengah menyusuri tiap sudut Lahore untuk mencokok pembunuh ini. Lahore adalah kota satelit khas Pakistan, yang kebanyakan penghuninya adalah kaum miskin dengan rumah yang berdempetan. Publik dan media massa mengecam polisi setempat karena kurang jeli dalam tugasnya sehingga banyak korban yang berjatuhan. Satu hal yang memberatkan polisi, rumah Iqbal berjarak sekitar 200 meter saja dari kantor polisi. Indonesia pun mengenal pembunuhan serial semacam ini. Robot Gedek merampas kehidupan 12 anak jalanan setelah menyodominya. Dukun Ahmad Suraji alias Datuk menghabisi 42 pasiennya di Medan untuk meningkatkan ilmu hitamnya, dan menguburnya di kebun tebu. Namun, motif Datuk, yang juga berbau ekonomi susah, digolongkan sebagai kejahatan pembunuhan serial. Sementara itu, di Surabaya, seorang ibu rumah tangga bernama Astini mengaku telah membunuh—dan setelah itu memotong-motongnya—tiga orang yang dikenalnya karena masalah utang puluhan ribu rupiah saja. Tapi, Astini juga tidak bisa digolongkan pembunuh serial karena polanya yang berbeda. Ketiga orang ini sudah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Satu pertanyaan yang selalu muncul setiap kali kasus semacam ini terkuak, mengapa para penjagal ini bisa demikian lama berkeliaran? Boleh jadi, sebab yang pertama adalah sang pembunuh memang pintar. "Aksi mereka tidak bisa dideteksi karena mereka mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan," ujar Harkristuti Harkrisnowo, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia yang juga menggeluti masalah kriminalitas. Jack the Ripper, yang membantai lima wanita secara brutal di kawasan East End, London, Inggris, pada rentang waktu 31 Agustus 1888 sampai 9 November 1888, tak pernah tertangkap sampai sekarang. Akibatnya, yang muncul hanyalah ratusan teori, baik yang masuk akal maupun sesak dengan aroma persekongkolan. Ada yang menyebut Jack adalah kaum Yahudi, kulit hitam, penganut ilmu hitam, dokter, bahkan sampai Lewis Carrol, penulis cerita Alice in Wonderland. Keluarga kerajaan Inggris juga bagian dari tersangka karena korban terakhir adalah Marie Kelly. Wanita itu adalah pengasuh anak perempuan pasangan Pangeran Eddy dan seorang wanita beragama Katolik Roma. Perkawinan ini ditentang keluarga kerajaan karena mereka penganut Anglikan. Penentang ini ingin memisahkan mereka agar kemurnian darah pewaris kerajaan terjaga. Menurut satu teori, Kelly dibunuh karena ingin memeras keluarga kerajaan dengan menceritakan rencana pemisahan ini kepada tiga pelacur. Teori lain mengatakan, Kelly dibunuh karena sedang mengandung bayi hasil hubungannya dengan Pangeran Edward VII , ayah Eddy. Adapun empat pembunuhan sebelumnya adalah upaya untuk mengaburkan penyelidikan. Apa pun teori yang muncul, hanya Tuhan dan kabut malam East End-lah yang tahu siapa sesungguhnya Jack the Ripper. Pembunuh pintar lainnya yang tak kalah mengerikan adalah The Zodiac Killer, yang meneror San Francisco dan California pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Zodiac tak pernah tertangkap karena tak ada jejak berarti yang ia tinggalkan. Korban yang tewas olehnya berjumlah sembilan orang, tapi diduga total korban mendekati angka 30. Pembunuhan yang ia lakukan menggunakan berbagai cara dan alat. Zodiac diduga bekas polisi atau militer karena tampak begitu paham senjata tajam ataupun peledak. Ciri utama yang menautkan semua pembunuhan ini adalah tanda horoskop yang ditinggalkan Zodiac, serta lokasi kejadian yang selalu berdekatan dengan bangunan air. Tak ada tanda kekerasan seksual pada korban, tapi diyakini si pembunuh mendapatkan kepuasan syahwat lewat kekejamannya ini. Yang menyeramkan, biro penyidik pembunuhan serial di Amerika sampai sekarang belum bisa memastikan Zodiac ini masih hidup atau mati. Boleh jadi Jack ataupun Zodiac memang lihai untuk tidak terjerat penegak hukum. Namun, tampaknya ada alasan lain yang menyebabkan para pembunuh ini bisa leluasa bergerak. Kasus Jeffrey Dahmer bisa dijadikan contoh. Pada Mei 1991, di jalanan Milwaukee, seorang bocah laki-laki berdarah Asia keluar dari satu apartemen yang berbau busuk untuk berlarian tanpa celana. Apartemen itu milik Dahmer, seorang kulit putih berambut pirang yang tampan. Bocah itu itu bernama Konerak, dan ia sedang berlari untuk menyelamatkan hidupnya. Ia terlihat begitu ketakutan dan bingung. Sandra Smith, yang menyaksikan pemandangan ajaib itu, langsung mengontak polisi. Sandra Smith dan sepupunya yang bernama Nicole Childress, keduanya berusia 18 tahun dan berkulit hitam, berdiri dekat Konerak saat polisi datang. Dahmer juga berdiri di situ. Percakapan mulai memanas di antara Dahmer dan dua gadis itu. Dahmer menyatakan Konerak adalah pacarnya yang berusia 19 tahun dan sedang mabuk. Dahmer, yang tutur katanya lembut ini, berhasil meyakinkan polisi setelah menyerahkan kartu identitasnya. Dua gadis itu meradang karena polisi lebih memilih pria pirang itu sekalipun Konerak begitu ketakutan saat disentuh Dahmer. Polisi bahkan mengantarkan Dahmer dan calon korbannya itu kembali ke apartemen. Di tempat itu semua tertata rapi, tapi ada bau anyir mengambang di udara. Polisi menemukan foto Konerak dalam pakaian bikini. Dahmer kembali bicara santun dan manis, sementara Konerak hanya bisa bengong. Polisi tak punya pilihan untuk pamit karena merasa tak perlu mencampuri perilaku seksual pribadi. Seandainya polisi mau bertanya tentang bau tak keruan itu, Konerak bisa selamat. Bau itu datang dari mayat Tony Hughes, yang sudah membusuk tiga hari di bawah tempat tidur. Dan, polisi melewatkannya begitu saja. Mereka juga melewatkan foto kepala terpenggal yang digunakan Dahmer untuk piala. Mereka juga tak menyempatkan mengecek identitas Dahmer lebih lanjut. Padahal, si lembut tutur ini telah terbukti sebagai perundung anak-anak dan sedang menjalani hukuman percobaan. Begitu polisi berlalu, Dahmer langsung menjerat si bocah hingga tewas untuk kemudian menyetubuhinya. Ia memang penderita nekrofilia (gemar bersetubuh dengan mayat). Cerita tak berhenti di situ. Dua gadis yang melapor tadi akhirnya menyampaikan hal ini pada Glenda Cleveland, tetangga mereka, wanita berkulit hitam berusia 36 tahun. Cleveland menelepon polisi untuk mencari tahu nasib si bocah. Tapi, jawaban yang diterima adalah Konerak itu laki-laki dewasa dan polisi tak bisa mencampuri kehidupan seks warga. Dua hari kemudian, Cleveland membaca artikel tentang hilangnya bocah Laos bernama Konerak Sinthasomphone, yang mirip bocah yang lari kemarin. Ia kembali mengontak polisi, bahkan kantor FBI setempat. Namun, lagi-lagi ia tak ditanggapi. Sampai dua bulan kemudian, ketika "pintu neraka" terkuak. Pada 22 Juli 1991, dua polisi menemukan Tracey Edwars, 32 tahun, berkulit hitam, sedang dalam keadaan bingung dan terborgol di taman. Cerita Edward menggiring polisi ke apartemen Dahmer. Di sana, si pirang yang bekas tentara ini kembali dijumpai dalam keadaan tenang. Namun, kali ini, petugas yang ke sana memerlukan untuk melongok tempat tidur. Di bawah ranjang, ia segera menemukan foto-foto korban Dahmer. Segera ia berteriak kepada rekannya untuk membekuk si tuan rumah. Namun, Dahmer melawan. Sementara itu, si petugas pertama membuka kulkas dan langsung memekik karena kagetnya. Di dalam lemari pendingin itu, ada kepala terpenggal tergeletak. Berbagai potongan tubuh lain dan cairan asam penghancur juga ditemukan di situ. Penyidikan lebih lanjut akhirnya menemukan Dahmer, yang biasanya memikat korbannya di bar khusus gay ini, telah menghabisi 12 orang. Semua korban Dahmer adalah tipikal korban pembunuh serial: kaum minoritas, anak jalanan, pelacur, pecandu, penjahat kelas teri. Hilang satu atau selusin tak ada yang peduli. Ketidakpedulian, itulah sebab utama angka korban pembunuhan serial selalu "mengagumkan". Harus diakui, berapa dari kita yang tersentuh membaca berita hilangnya anak-anak dari keluarga miskin? Entah mereka jadi korban pembunuh serial atau sindikat penjual organ, perhatian kita segera teralih untuk peristiwa lain. Padahal, menurut orang bijak, ketidakpedulian adalah hal yang sangat menakutkan. Musuh tidak menakutkan karena hal terburuk yang bisa dilakukannya adalah membuat kita terbunuh. Kawan juga tidak menakutkan karena hal yang terburuk yang bisa dilakukannya adalah pengkhianatan. Ketidakpedulian, bisa menyebabkan keduanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum