"Saya merasa ditertawakan oleh Real Estate Indonesia ketika
menagih janji agar mereka juga membuat rumah-rumah murah."
-- Tjokropranolo, Gubernur DKI.
KATA-KATA itu pekan lalu diucapkan tanpa teks pada peresmian
rumah-rumah sederhana (harga termurah Rp 3 juta) di Bojong Indah
-- 7 km sebelah barat Grogol, Jakarta Barat.
Tak ayal, ucapan Gubernur mengingatkan orang lagi pada soal lama
yang nampaknya belum selesai: tuduhan bahwa perusahaan real
estate hanya membangun rumah mewah -- yang rata-rata harganya
puluhan juta rupiah sebiji. Tuduhan semacam itu umumnya diakui,
juga oleh kalangan real estate sendiri. Meskipun selalu dengan
penjelasan perusahaan real estate memang hanya bisa hidup dengan
itu, kecuali kalau pemerintah mau mensubsidinya buat membangun
"rumah murah". Toh penjelasan itu tak banyak menolong. Apalagi
setelah ada kasus yang tercium oleh Opstibpus: kredit dari Bank
Bumi Daya yang diberikan untuk pembangunan proyek Pluit, macet.
Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di kantor
pusat BBD jalan Kebon Sirih, Sabtu pagi pekan kemarin, kasus
Pluit itu pun bahkan disinggung secara istimewa, meskipun dengar
pendapat itu merupakan acara rutin setiap tahun.
"Ini cerita menarik. Meskipun saya deg-degan juga menjawabnya,"
kata Omar Abdalla, 50 tahun, sembari tertawa. Dirut BBD yang
bertubuh tinggi-besar, dan berkulit kelam itu menyulut rokok,
Dan setelah meneguk tehnya, ia mulai bercerita. Tapi ceritanya
tak boleh disiarkan pers. Dan sedikit banyak, juga mengungkap
kisah Pluit yang oleh Tjokropranolo dianggap sebagai
"malapetaka" itu.
Beberapa menit selepas acara itu, kepada TEMPO ia menyatakan
bahwa sehubungan dengan kasus Pluit -- macetnya kredit Rp 18,9
milyar -- ada sementara petugas BBD yang diberhentikan. Sejak
Opstib "menggerayangi" perbankan, ada 10 karyawan dipensiun, 17
diberhentikan dan beberapa lagi diturunkan pangkatnya. Ada pula
beberapa yang ditindak dan diserahkan kepada yang berwajib.
Omar sendiri mengakui, bahwa selain kasus Pluit itu memang
lantaran "kelemahan para petugas BBD," ia juga menunjuk keadaan
ekonomi yang tidak selamanya mantap. Pendeknya, kasus Pluit
terjadi antara lain karena Endang Widjaja -- Dirut PT Jawa
Building Indah Co -- mengalami kesulitan memasarkan rumah mewah
yang dibangunnya. Selain investasinya memang besar, tanah yang
dikuasainya pun amat luas. Lebih dari 400 Ha.
Harga bahan bangunan pun ketika itu mengalami kenaikan-kenaikan.
Endang Widjaja sejak 1971 merupakan kontraktor tunggal yang
dipercayai oleh BPO Pluit untuk membenahi tanah kosong yang
semula berupa rawa-rawa dan belukar bakau itu. Mungkinkah kredit
macet itu bisa kembali?
Penyelesaiannya, menurut Omar lagi, "semua benda yang dijaminkan
harus dijual." Jaminan itu meliputi tak kurang dari 1.000 buah
rumah mewah, sejumlah mobil dan tentu saja tanah
berhektar-hektar. "Kemacetan kredit itu sendiri tidak berarti
kerugian. Sebab siapa tahu, harga rumah-rumah itu nanti naik,"
ucap salah seorang pimpinan BBD pusat.
BBD sendiri begitu berani memberi kredit kepada Endang Widjaja,
tampaknya lantaran percaya (atau berspekulasi) bahwa Endang
Widjaja, siapa tahu, bisa ditolong. Kalangan Inspektorat Daerah
DKI sependapat dengan Omar Abdalla Katanya: "Kalau benda-benda
seperti ratusan rumah, puluhan mobil dan beberapa ratus hektar
tanah di Muara Karang misalnya disita, ya hutang itu terlunasi."
Apakah dengan itu kasus Pluit beres? Belum pasti. Sudah 8 bulan
ini -- sejak 13 September 1977 -- Endang Widjaja terjerat
jaringan Opstibpus. Mula-mula, ini ceritanya, adalah Kejaksaan
Agung yang melacak jejak Endang Widjaja. Tapi sebab soal lain:
ia dituduh menyembunyikan oknum G-30-S/PKI Sumatera Utara, P.
Harahap, yang di Medan sendiri luput dari buron. Endang Widjaja
sendiri asal Medan (lihat box Siapa Sebenarnya Endang Widjaja?).
Belakangan merembet ke soal perbankan.
Dua minggu setelah penangkapan Endang Widjaja, Opstibpus
mengungkapkan kasus ini kepada pers. Dikatakan, mula-mula Endang
Widjaja melakukan manipulasi biaya pembebasan tanah Muara Karang
dan Muara Angke yang seharusnya dibayarkan kepada rakyat
penggarap. Sebanyak 60 akte -- atas perintah Endang Widjaja --
dipalsukan oleh karyawannya, bernama P, yang seolah-olah kuasa
dari rakyat penggarap. Isinya, seolah-olah Endang Widjaja telah
membayar uang pembebasan Rp 9 milyard kepada rakyat penggarap.
Padahal yang dikeluarkannya hanya Rp 700 juta saja.
Pemalsuan akte itu menurut Opstibpus juga dikuatkan oleh Notaris
Ridwan Suselo. Sejak Sabtu sampai Senin kemarin Ridwan Suselo
tak berhasil ditemui. Tapi di kantor Ridwan di Glodok, secara
tidak langsung asistennya membenarkan bahwa Ridwan Suselo memang
disebut-sebut dalam keterangan pers Opstibpus. "Kemungkinan
besar memang pak Ridwan yang disebut-sebut itu, sebab memang di
kantor inilah akte-akte tanah di Pluit digarap."
Berdasarkan "akte otentik yang di palsukan" itulah, Endang
Widjaja berhasil 9 kali minta kredit kepada Bank Bumi Daya
(TEMPO, 15 Oktober 1977). Tapi Endang Widjaja ternyat tidak
menyetorkan uang hasil penjualan ratusan rumah yang dibangunnya
kepada BBD sebagaimana bunyi perjanjian. Menurut Opstibpus, uang
tersebut dimasukkan dalam rekening perusahaannya sebagai "hutang
perusahaan kepada pribadinya." Padahal, sudah 100% hasil
penjualan rumah-rumah itu yang telah diterima oleh Endang
Widjaja. Yakni 25% uang muka yang langsung diterima dari pembeli
dan 75% sebagai kredit personal loan dari bank kepada para
pembeli, yang menjaminkan tanah dan rumahnya.
Dengan itu, para pembeli diikat sebagai penerima kredit. Mereka
harus mengangsur pengembaliannya melalui Endang Widjaja. Tapi
kesempatan ini pun dimanfaatkannya, menurut tuduhan itu, dengan
menahan sebagian uang setoran. Maka rumah-rumah yang telah
terjual itu telah 2 kali dijaminkan kepada BBD. Pertama untuk
jaminan mendapatkan kredit yang kemudian mencapai Rp 12,5
milyar. Kedua "dijaminkan" oleh para pembeli (lewat Endang
Widjaja), hingga Endang Widjaja berhasil mendapat Rp 3 milyard
dari sebuah bank lain, dengan "mendapat kuasa" dari pembeli
sebagai angsuran harga rumah yang 75%.
Dua minggu kemudian, 10 Mei 1978 yang lalu, sekali lagi
Opstibpus memberikan keterangan pers. Kali ini rupanya
pemeriksaan sudah cukup mantap, hingga oleh Majen E.Y. Kanter SH
-- Ketua Tim Pemeriksa Opstibpus -- hari itu juga menyerahkan
berkasnya kepada Kejaksaan Agung. Akan jadi jelaskah kasus ini
segera? "Setiap saat persoalannya bisa berkembang terus," tambah
Kanter.
Rupanya begitu. Semula disebut angka Rp 15,5 milyard sebagai
jumlah yang dimanipulir. Belakangan membengkak jadi Rp 18,9
milyard. Sampai minggu lalu, berapa jumlah rumah sitaan dan yang
belum lunas dibayar, masih berbeda antara tim BPO Pluit dan
Opstibpus. Hari-hari ini pun, tim Kejaksaan Agung masih sibuk
mengusut surat-surat rumah dan bertanya jawab dengan para
penghuni rumah yang disegel. Tim lainnya memeriksa para penghuni
yang dituduh mendapat "hadiah pelicin" dari Endang Widjaja.
Dalam keterangannya kepada pers, Kanter menyebut bahwa Endang
Widjaja telah memberi "hadiah pelicin" kepada sejumlah pejabat
DKI -- termasuk Dinas Pengawas Pembangunan Kota Sub Dit Agraria
Jakarta Utara dan petugas Pajak -- juga sementara orang-orang
BPO Pluit serta BBD. Pelicin itu meliputi uang kontan, tanah,
rumah, kios mobil dan "fasilitas lain" yang tak disebutkan
berupa apa. Yang jelas disebutkan: ada yang berupa uang kontan
Rp 60 juta. Ada yang berupa rumah seharga antara Rp 40 juta
sampai Rp 250 juta.
Untuk R.S. Natalegawa, bekas Direktur Perkreditan BBD, misalnya,
dalam keterangan pers disebut rumah seharga Rp 100 juta dan 2
kios masing-masing seharga Rp 15 juta.
Natalegawa sendiri memang sudah pensiun sejak 1976. Ia
digantikan oleh Moh. Samadikoen, yang dikatakan pernah menjadi
wartawan LKBN "Antara."
Nata kemudian bekerja di Gunung Putri Real Estate pimpinan bekas
juara bulutangkis, Ferry Sonneville. Begitu kasus Pluit
terungkap, Nata diciduk dari kantornya di Skyline Building jalan
Thamrin, Jakarta. Rumah Nata yang disita di Jalan Gereja
Theresia, Menteng, kini ditempati salah seorang direktur BBD
lainnya. Di pintu garasinya tertempel tulisan: "Milik Pemerintah
RI."
Seminggu setelah Bndang Widjaja ditahan -- dan dua minggu
sebelum keterangan pers Opstibpus yang pertama-seseorang yang
menamakan dirinya "Si Angin" menulis laporan sekitar kasus Pluit
ke alamat P.O. Box 999 Jakarta Pusat yang terkenal sebagai
alamat surat Opstibpus itu. Sudahkah laporan itu masuk ke map
Opstibpus? Ka Puspen Hankam Brigjen Darjono SH menyatakan,
"kalau dialamatkan ke P.O. Box 999 tentu surat itu ya sampai."
Belakangan ternyata, sebagian info "Si Angin" tak jauh beda dari
dua kali keterangan pers Opstibpus. "Si Angin" menyebut secara
jelas "hadiah pelicin" buat orang-orang BPO Pluit. Rata-rata
paling sedikit 2 buah rumah mewah dan beberapa mobil. Ada yang
mendapat Mercy 200 atau 280S, ada yang Datsun Triple S, Corolla
atau Honda Civic.
Tak bisa lain, perkara ini tentu menyangkut nama Letkol (L) H.
Dwinanto Prodjosupadmo, yang ketika itu selain sebagai
Walikota/KDH Jakarta Utara juga ketua MPO Pluit. Kamis 6 Oktober
1977, jabatannya sebagai ketua BPO Pluit diserah-terimakan
kepada Letkol (Marinir) drs. Sujoko Kusumoprawiro. Serah-terima
itu baru pertama kali terjadi dalam masa jabatan Gubernur
Tjokropranolo. Itu pun secara tertutup, satu hal yang amat
jarang bagi para wartawan yang biasa mengkover berita di DKI.
Dan 8 bulan kemudian, bulan ini, jabatan Dwinanto sebagai
Walikota/KDH Jakarta Utara diserah-terimakan kepada Letkol (L)
Koestamto Wirjodihardjo.
Apakah Dwinanto terlibat dalam kasus Pluit? Ditemui di rumahnya
yang mewah di Cempaka Putih Tengah, pekan lalu Dwinanto, 53
tahun, mengenakan sarung palekat hijau muda berkotak-kotak. Ayah
dari 8 anak dan beberapa cucu ini tak banyak bicara. "Kasus
Pluit sudah saya laporkan semuanya kepada atasan. Sekarang ini
saya tinggal bertawakkal saja kepada Allah," kata Dwinanto yang
tahun 1975 naik haji.
Itu tak berarti ia tak bertanggungjawab. Memang, tanggung jawab
terakhir adalah di tangan Gubernur DKI. Tapi seorang walikota
wajib mengawasi BPO yang berada di daerah wewenangnya. Termasuk
perusahaan real estate yang bergerak membantu Badan Pelaksana
Otorita itu. Tentu saja perlu dilihat secara adil, lewat
mahkamah misalnya, sampai sejauh mana ada "permainan" yang
kelewat bebas di BPO itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini