Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"Malapetaka Pluit" Ditengok Kembali

Terbongkarnya kasus Pluit oleh Opstibpus, sebagai malapetaka oleh Tjokropranolo. Petugas BBD ada yang diberhentikan atau diserahkan pada yang berwajib. Sejumlah pejabat DKI terlibat menerima pelicin. (kt)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya merasa ditertawakan oleh Real Estate Indonesia ketika menagih janji agar mereka juga membuat rumah-rumah murah." -- Tjokropranolo, Gubernur DKI. KATA-KATA itu pekan lalu diucapkan tanpa teks pada peresmian rumah-rumah sederhana (harga termurah Rp 3 juta) di Bojong Indah -- 7 km sebelah barat Grogol, Jakarta Barat. Tak ayal, ucapan Gubernur mengingatkan orang lagi pada soal lama yang nampaknya belum selesai: tuduhan bahwa perusahaan real estate hanya membangun rumah mewah -- yang rata-rata harganya puluhan juta rupiah sebiji. Tuduhan semacam itu umumnya diakui, juga oleh kalangan real estate sendiri. Meskipun selalu dengan penjelasan perusahaan real estate memang hanya bisa hidup dengan itu, kecuali kalau pemerintah mau mensubsidinya buat membangun "rumah murah". Toh penjelasan itu tak banyak menolong. Apalagi setelah ada kasus yang tercium oleh Opstibpus: kredit dari Bank Bumi Daya yang diberikan untuk pembangunan proyek Pluit, macet. Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di kantor pusat BBD jalan Kebon Sirih, Sabtu pagi pekan kemarin, kasus Pluit itu pun bahkan disinggung secara istimewa, meskipun dengar pendapat itu merupakan acara rutin setiap tahun. "Ini cerita menarik. Meskipun saya deg-degan juga menjawabnya," kata Omar Abdalla, 50 tahun, sembari tertawa. Dirut BBD yang bertubuh tinggi-besar, dan berkulit kelam itu menyulut rokok, Dan setelah meneguk tehnya, ia mulai bercerita. Tapi ceritanya tak boleh disiarkan pers. Dan sedikit banyak, juga mengungkap kisah Pluit yang oleh Tjokropranolo dianggap sebagai "malapetaka" itu. Beberapa menit selepas acara itu, kepada TEMPO ia menyatakan bahwa sehubungan dengan kasus Pluit -- macetnya kredit Rp 18,9 milyar -- ada sementara petugas BBD yang diberhentikan. Sejak Opstib "menggerayangi" perbankan, ada 10 karyawan dipensiun, 17 diberhentikan dan beberapa lagi diturunkan pangkatnya. Ada pula beberapa yang ditindak dan diserahkan kepada yang berwajib. Omar sendiri mengakui, bahwa selain kasus Pluit itu memang lantaran "kelemahan para petugas BBD," ia juga menunjuk keadaan ekonomi yang tidak selamanya mantap. Pendeknya, kasus Pluit terjadi antara lain karena Endang Widjaja -- Dirut PT Jawa Building Indah Co -- mengalami kesulitan memasarkan rumah mewah yang dibangunnya. Selain investasinya memang besar, tanah yang dikuasainya pun amat luas. Lebih dari 400 Ha. Harga bahan bangunan pun ketika itu mengalami kenaikan-kenaikan. Endang Widjaja sejak 1971 merupakan kontraktor tunggal yang dipercayai oleh BPO Pluit untuk membenahi tanah kosong yang semula berupa rawa-rawa dan belukar bakau itu. Mungkinkah kredit macet itu bisa kembali? Penyelesaiannya, menurut Omar lagi, "semua benda yang dijaminkan harus dijual." Jaminan itu meliputi tak kurang dari 1.000 buah rumah mewah, sejumlah mobil dan tentu saja tanah berhektar-hektar. "Kemacetan kredit itu sendiri tidak berarti kerugian. Sebab siapa tahu, harga rumah-rumah itu nanti naik," ucap salah seorang pimpinan BBD pusat. BBD sendiri begitu berani memberi kredit kepada Endang Widjaja, tampaknya lantaran percaya (atau berspekulasi) bahwa Endang Widjaja, siapa tahu, bisa ditolong. Kalangan Inspektorat Daerah DKI sependapat dengan Omar Abdalla Katanya: "Kalau benda-benda seperti ratusan rumah, puluhan mobil dan beberapa ratus hektar tanah di Muara Karang misalnya disita, ya hutang itu terlunasi." Apakah dengan itu kasus Pluit beres? Belum pasti. Sudah 8 bulan ini -- sejak 13 September 1977 -- Endang Widjaja terjerat jaringan Opstibpus. Mula-mula, ini ceritanya, adalah Kejaksaan Agung yang melacak jejak Endang Widjaja. Tapi sebab soal lain: ia dituduh menyembunyikan oknum G-30-S/PKI Sumatera Utara, P. Harahap, yang di Medan sendiri luput dari buron. Endang Widjaja sendiri asal Medan (lihat box Siapa Sebenarnya Endang Widjaja?). Belakangan merembet ke soal perbankan. Dua minggu setelah penangkapan Endang Widjaja, Opstibpus mengungkapkan kasus ini kepada pers. Dikatakan, mula-mula Endang Widjaja melakukan manipulasi biaya pembebasan tanah Muara Karang dan Muara Angke yang seharusnya dibayarkan kepada rakyat penggarap. Sebanyak 60 akte -- atas perintah Endang Widjaja -- dipalsukan oleh karyawannya, bernama P, yang seolah-olah kuasa dari rakyat penggarap. Isinya, seolah-olah Endang Widjaja telah membayar uang pembebasan Rp 9 milyard kepada rakyat penggarap. Padahal yang dikeluarkannya hanya Rp 700 juta saja. Pemalsuan akte itu menurut Opstibpus juga dikuatkan oleh Notaris Ridwan Suselo. Sejak Sabtu sampai Senin kemarin Ridwan Suselo tak berhasil ditemui. Tapi di kantor Ridwan di Glodok, secara tidak langsung asistennya membenarkan bahwa Ridwan Suselo memang disebut-sebut dalam keterangan pers Opstibpus. "Kemungkinan besar memang pak Ridwan yang disebut-sebut itu, sebab memang di kantor inilah akte-akte tanah di Pluit digarap." Berdasarkan "akte otentik yang di palsukan" itulah, Endang Widjaja berhasil 9 kali minta kredit kepada Bank Bumi Daya (TEMPO, 15 Oktober 1977). Tapi Endang Widjaja ternyat tidak menyetorkan uang hasil penjualan ratusan rumah yang dibangunnya kepada BBD sebagaimana bunyi perjanjian. Menurut Opstibpus, uang tersebut dimasukkan dalam rekening perusahaannya sebagai "hutang perusahaan kepada pribadinya." Padahal, sudah 100% hasil penjualan rumah-rumah itu yang telah diterima oleh Endang Widjaja. Yakni 25% uang muka yang langsung diterima dari pembeli dan 75% sebagai kredit personal loan dari bank kepada para pembeli, yang menjaminkan tanah dan rumahnya. Dengan itu, para pembeli diikat sebagai penerima kredit. Mereka harus mengangsur pengembaliannya melalui Endang Widjaja. Tapi kesempatan ini pun dimanfaatkannya, menurut tuduhan itu, dengan menahan sebagian uang setoran. Maka rumah-rumah yang telah terjual itu telah 2 kali dijaminkan kepada BBD. Pertama untuk jaminan mendapatkan kredit yang kemudian mencapai Rp 12,5 milyar. Kedua "dijaminkan" oleh para pembeli (lewat Endang Widjaja), hingga Endang Widjaja berhasil mendapat Rp 3 milyard dari sebuah bank lain, dengan "mendapat kuasa" dari pembeli sebagai angsuran harga rumah yang 75%. Dua minggu kemudian, 10 Mei 1978 yang lalu, sekali lagi Opstibpus memberikan keterangan pers. Kali ini rupanya pemeriksaan sudah cukup mantap, hingga oleh Majen E.Y. Kanter SH -- Ketua Tim Pemeriksa Opstibpus -- hari itu juga menyerahkan berkasnya kepada Kejaksaan Agung. Akan jadi jelaskah kasus ini segera? "Setiap saat persoalannya bisa berkembang terus," tambah Kanter. Rupanya begitu. Semula disebut angka Rp 15,5 milyard sebagai jumlah yang dimanipulir. Belakangan membengkak jadi Rp 18,9 milyard. Sampai minggu lalu, berapa jumlah rumah sitaan dan yang belum lunas dibayar, masih berbeda antara tim BPO Pluit dan Opstibpus. Hari-hari ini pun, tim Kejaksaan Agung masih sibuk mengusut surat-surat rumah dan bertanya jawab dengan para penghuni rumah yang disegel. Tim lainnya memeriksa para penghuni yang dituduh mendapat "hadiah pelicin" dari Endang Widjaja. Dalam keterangannya kepada pers, Kanter menyebut bahwa Endang Widjaja telah memberi "hadiah pelicin" kepada sejumlah pejabat DKI -- termasuk Dinas Pengawas Pembangunan Kota Sub Dit Agraria Jakarta Utara dan petugas Pajak -- juga sementara orang-orang BPO Pluit serta BBD. Pelicin itu meliputi uang kontan, tanah, rumah, kios mobil dan "fasilitas lain" yang tak disebutkan berupa apa. Yang jelas disebutkan: ada yang berupa uang kontan Rp 60 juta. Ada yang berupa rumah seharga antara Rp 40 juta sampai Rp 250 juta. Untuk R.S. Natalegawa, bekas Direktur Perkreditan BBD, misalnya, dalam keterangan pers disebut rumah seharga Rp 100 juta dan 2 kios masing-masing seharga Rp 15 juta. Natalegawa sendiri memang sudah pensiun sejak 1976. Ia digantikan oleh Moh. Samadikoen, yang dikatakan pernah menjadi wartawan LKBN "Antara." Nata kemudian bekerja di Gunung Putri Real Estate pimpinan bekas juara bulutangkis, Ferry Sonneville. Begitu kasus Pluit terungkap, Nata diciduk dari kantornya di Skyline Building jalan Thamrin, Jakarta. Rumah Nata yang disita di Jalan Gereja Theresia, Menteng, kini ditempati salah seorang direktur BBD lainnya. Di pintu garasinya tertempel tulisan: "Milik Pemerintah RI." Seminggu setelah Bndang Widjaja ditahan -- dan dua minggu sebelum keterangan pers Opstibpus yang pertama-seseorang yang menamakan dirinya "Si Angin" menulis laporan sekitar kasus Pluit ke alamat P.O. Box 999 Jakarta Pusat yang terkenal sebagai alamat surat Opstibpus itu. Sudahkah laporan itu masuk ke map Opstibpus? Ka Puspen Hankam Brigjen Darjono SH menyatakan, "kalau dialamatkan ke P.O. Box 999 tentu surat itu ya sampai." Belakangan ternyata, sebagian info "Si Angin" tak jauh beda dari dua kali keterangan pers Opstibpus. "Si Angin" menyebut secara jelas "hadiah pelicin" buat orang-orang BPO Pluit. Rata-rata paling sedikit 2 buah rumah mewah dan beberapa mobil. Ada yang mendapat Mercy 200 atau 280S, ada yang Datsun Triple S, Corolla atau Honda Civic. Tak bisa lain, perkara ini tentu menyangkut nama Letkol (L) H. Dwinanto Prodjosupadmo, yang ketika itu selain sebagai Walikota/KDH Jakarta Utara juga ketua MPO Pluit. Kamis 6 Oktober 1977, jabatannya sebagai ketua BPO Pluit diserah-terimakan kepada Letkol (Marinir) drs. Sujoko Kusumoprawiro. Serah-terima itu baru pertama kali terjadi dalam masa jabatan Gubernur Tjokropranolo. Itu pun secara tertutup, satu hal yang amat jarang bagi para wartawan yang biasa mengkover berita di DKI. Dan 8 bulan kemudian, bulan ini, jabatan Dwinanto sebagai Walikota/KDH Jakarta Utara diserah-terimakan kepada Letkol (L) Koestamto Wirjodihardjo. Apakah Dwinanto terlibat dalam kasus Pluit? Ditemui di rumahnya yang mewah di Cempaka Putih Tengah, pekan lalu Dwinanto, 53 tahun, mengenakan sarung palekat hijau muda berkotak-kotak. Ayah dari 8 anak dan beberapa cucu ini tak banyak bicara. "Kasus Pluit sudah saya laporkan semuanya kepada atasan. Sekarang ini saya tinggal bertawakkal saja kepada Allah," kata Dwinanto yang tahun 1975 naik haji. Itu tak berarti ia tak bertanggungjawab. Memang, tanggung jawab terakhir adalah di tangan Gubernur DKI. Tapi seorang walikota wajib mengawasi BPO yang berada di daerah wewenangnya. Termasuk perusahaan real estate yang bergerak membantu Badan Pelaksana Otorita itu. Tentu saja perlu dilihat secara adil, lewat mahkamah misalnya, sampai sejauh mana ada "permainan" yang kelewat bebas di BPO itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus