Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajahnya kelihatan tertekan. Melcy, 23 tahun, sudah dua bulan ini menjalani perkawinan ala sangjitan dengan suaminya di Kota Chiayi, 300 kilometer dari Taipei, Taiwan. Selama itu pula ia sulit berkomunikasi dengan suami, Aheng, maupun mertuanya. Bukan hanya bahasa yang menjadi kendala, tetapi juga sikap keluarga barunya yang tak ia pahami.
Tempo mengunjungi rumah Aheng yang besar dan luas akhir November lalu. Aheng, 23 tahun, berwajah ganteng dan berbadan tegap. Dia menyambut hanya dengan senyum. Lalu sejurus kemudian dia kembali ke kegiatan semula: menuang teh dari teko ke dalam cangkir tembikar, minum, dan membuang ampasnya. Begitu berkali-kali ia melakukannya tanpa hirau pada sekeliling. Lian, yang menemani Tempo, membisikkan bahwa Aheng dikenal agak idiot.
Demikianlah nasib Melcy, rupanya. Ia berjodoh dengan seorang lelaki lemah mental, dari negeri seberang pula. Tetapi hingga detik itu Melcy tampaknya tak menyadari keadaan sang suami. Melcy hanya bisa bingung. ”Kalau saya tanya apa bahasa Cinanya lampu, dia hanya tersenyum,” tutur Melcy mencontohkan kebingungannya.
Melcy sejatinya bukan dari Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Sulung dari empat bersaudara ini berasal dari Parung Panjang, Bogor. Ayahnya seorang kenek angkutan kota (angkot), dan ibu buruh cuci. Ia pernah bekerja sebagai penjaga toko telepon genggam di Bekasi. Tetapi nasibnya ”jalan di tempat”.
Lalu ia ”curhat” pada tantenya yang tinggal di Kampung Belakang minta dicarikan pekerjaan. Eh, tantenya malah menawarinya kawin dengan pria Taiwan. Sejak itu ia tinggal di kediaman sang tante, menunggu lamaran. Berkali-kali tante dan calo membawanya ke sebuah hotel di Jelambar untuk diperlihatkan pada pria Taiwan yang sedang ”turun” mencari jodoh.
Sampai akhirnya datanglah Aheng, yang diantar ibunya. Pada saat itu Melcy sebetulnya sudah melihat banyak keganjilan, salah satunya Aheng selalu diatur-atur. Pemuda itu juga tak bicara sepatah kata pun. Ia hanya diberi tahu pekerjaan Aheng menjaga depot bensin di Chiayi.
Rupanya, tamu dari Taiwan itu merasa cocok. Akhirnya lamaran (sangjitan) dilakukan. Menurut Melcy, dalam proses itu orang tuanya mendapat uang Rp 5 juta. Tantenya pun mendapat bagian dari calo. Ia sendiri menerima 2.500 NT (sekitar Rp 700 ribu). Hari itu juga kedua anak manusia ini dipertemukan di sebuah kamar dan Melcy kehilangan kesuciannya. ”Cuma tiga hari suami di Jakarta,” katanya.
Setelah itu, Aheng dan keluarganya pulang ke Taiwan untuk mengurus surat-surat. Enam bulan lamanya masa menunggu, dan Melcy mengaku tak sekali pun mendapat kiriman uang. Setelah semua beres, Melcy segera berangkat ke negeri asing itu. Dan, baru-baru ini saja, kata Melcy, sang mertua mengirim uang 3.000 NT kepada orang tuanya. ”Saya sendiri nggak pernah dapat uang saku.”
Di rumah mertua, Melcy mengaku diperlakukan seperti pembantu. Setiap hari harus bangun pukul empat pagi dan membantu mertuanya berjualan di pasar hingga tengah hari. Pulang dari pasar, Melcy beres-beres, memasak untuk orang serumah, dan melayani suami. ”Capek, kak. Kalau saya kelihatan nganggur, suami maksa minta dilayani,” katanya kepada Tempo. Akibatnya, ia kerap jatuh sakit.
Selama mengobrol dengan Tempo, ibu Aheng bercakap-cakap dengan Lian dalam bahasa setempat. Lian mengatakan, menurut ibu Aheng, Melcy sering pura-pura sakit agar terbebas dari pekerjaan. Ia juga mengeluh menantunya tak mau berkomunikasi. ”Sepertinya ia sengaja tak mau ngomong biar tak paham kalau saya ngomel,” ujar ibu Aheng, ditirukan Lian.
Melcy memang berbeda dengan kebanyakan perempuan Kampung Belakang, yang mendapat suami sudah jauh berumur. Sayangnya, meski masih muda, Aheng hanya bisa tersenyum.
Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo