Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Internasional Tao Yuan, Taiwan, 13 Juli 2006. Seorang perempuan 27 tahun dengan perut membusung tampak ikut dalam arus kedatangan penumpang dari luar negeri. Semua serba asing bagi Lim Shio Lian, perempuan asal Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, itu. Tetapi ia terus berjalan mencari wajah pria setempat yang berusia dua kali lipat darinya.
Pria yang ia cari adalah seorang kuli bangunan bernama Shin Chung. Beberapa waktu sebelumnya, si lelaki datang ke Indonesia khusus mencari istri. Dan lewat proses perjodohan ala sangjitan, hatinya tertambat pada Lian, janda beranak tiga—tapi pada saat lamaran itu, Lian mengaku masih gadis.
Bagaimana dengan Lian? ”Sesungguhnya saya tidak berselera. Wajahnya tidak cakep. Giginya merah karena suka nginang (makan sirih),” kata Lian, yang ditemui di kediaman suaminya itu di Chiayi, Taiwan. Tetapi kemelaratan memaksanya berpikir lain. Pinangan diterima dan sekarang ia sudah di Taiwan. Anak mereka juga sudah lahir dan kini berusia dua minggu.
Semua itu bermula ketika ia bercerai dengan suaminya terdahulu. Lelaki yang memberinya tiga anak itu dipenjara karena terjerat kasus narkoba. Hidupnya pun yang sudah susah semakin mengenaskan. Sehari-hari bersama dua anaknya—yang seorang lagi ia titipkan ke bekas mertua—Lian menumpang di rumah kontrakan orang tuanya. Di rumah petak berukuran 3x7 meter itu berjejalan keluarga Lian bersama tujuh orang lainnya, termasuk adik dan keponakannya.
Uin Nio, ibu Lian, menjadi penyangga keluarga dengan bekerja sebagai tukang masak di vihara kampung. Ayahnya, meski kelihatan gagah, ternyata menganggur karena menderita ambien parah. Lian mencoba membantu dengan bekerja menjadi penjaga tempat hiburan ketangkasan di Jakarta Kota.
Tak tahan deraan kemiskinan, Lian memutuskan mengikuti praktek perjodohan dengan orang Taiwan. Ia lalu menghubungi Cin Lo, yang biasa menjadi perantara. Maka dimulailah hari-hari yang mendebarkan. Beberapa kali dia dipertemukan dengan pria Taiwan di sebuah hotel di Jelambar, sebelum diminati suaminya saat ini.
Dalam proses itu Lian sebetulnya nyaris dikawini seorang sopir taksi berumur 52 tahun. Saat itu sudah sampai ke proses sangjitan. Mereka pun sudah berbulan madu di hotel. Namun, lelaki itu tak pernah kembali ke Jakarta sepulang ke Taiwan untuk mengurus surat nikah. ”Katanya di Taiwan dia menabrak orang.” Kami punya kepercayaan kalau mengalami suatu kecelakaan, niat baik harus dibatalkan,” katanya.
Lian berharap, dengan perkawinannya ini ia dapat membantu keluarganya di Indonesia. ”Saya pingin kerja di sini agar dapat membelikan susu anak saya di Indonesia,” kata Lian. Tentu saja ia merahasiakan agendanya itu. Sang suami sudah mengancam, kalau Lian ketahuan punya anak, uang chesaw sebesar 300 ribu NT (sekitar Rp 84 juta) harus dikembalikan.
Tampaknya, harapan itu bakal menjadi kenyataan. Meski cuma kuli bangunan, suaminya cukup berada. Dia adalah anak tunggal dari pasangan petani berusia akhir 60-an. Mereka tinggal bersama di rumah berlantai dua seluas 500 meter persegi. Di belakang rumah masih ada kebun kecil yang ditanami jagung dan sayur-sayuran. Juga ada peternakan ayam. Mertua Lian masih memiliki kebun luas dan sawah tak jauh dari sana. Di garasi tampak tiga sepeda motor dan mobil bak terbuka.
Kehidupan sosial Lian juga tampak cukup baik. Seperti disaksikan Tempo saat mengunjunginya, para tetangga menyapanya ramah. Oleh suaminya, Lian juga didorong segera dapat berbahasa setempat agar proses interaksi semakin lancar.
Oh ya, suaminya juga meminta Lian menjaga penampilan agar tetap kelihatan segar dan langsing. Caranya, dia telah menganggarkan 150 NT (Rp 42 ribu) agar istrinya rutin pergi ke salon sepekan sekali. ”Di Jakarta boro-boro ke salon, makan saja susah, ha-ha-ha…”
Istiqomatul Hayati/TW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo