Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
#ReformasiDikorupsi adalah dua masalah besar yang sedang publik dihadapi.
#ReformasiDikorupsi mengingatkan tentang perjuangan yang belum tuntas.
Selama negara masih memberi celah kepada koruptor, gerakan #ReformasiDikorupsi akan tetap ada.
RENCANA tim kampanye Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (AMUKK) mengkampanyekan perihal mundurnya demokrasi ambyar. Setelah berembuk di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, mereka bersepakat menghitamkan gambar profil WhatsApp masing-masing untuk menggambarkan kekecewaan mereka terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka gemas lantaran DPR dan pemerintah tidak kunjung mendengarkan masukan mereka tentang berbagai persoalan publik. Mereka juga menilai negara hanya dikendalikan oleh sejumah elit. Kampanye lewat gambar profil itu akan dimulai beberapa hari sebelum peringatan Hari Demokrasi Internasional, yang jatuh pada 15 September. “Niatnya, kalau ada orang yang sadar bahwa profil kami semuanya berubah menjadi hitam, kami akan ditanya, ‘Ada apa?’ Lalu kami jawab, ‘Demokrasi sudah mati,’” kata anggota tim kampanye, Riska Carolina, Jumat, 20 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi publik ternyata menyalahartikan pancingan gambar hitam itu. Orang mengira mereka sedang mempersuasi perihal pencegahan bunuh diri. Musababnya, mereka kompak mengganti gambar profilnya pada 10 September lalu, tepat pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. “Jadi pemilihan waktunya yang salah, ha-ha-ha...,” ujar Riska.
Agar tak disalahpahami lagi, mereka setuju membubuhkan sesuatu di tengah-tengah gambar hitam tersebut. Anggota tim kampanye AMUKK kembali berembuk. Disepakatilah tambahan tulisan #ReformasiDikorupsi. Menurut Riska, dua kata yang tergabung dalam tanda pagar ini adalah penyatuan dua masalah besar yang sedang masyarakat hadapi.
Menurut anggota AMUKK, Alghiffari Aqsa, kata “korupsi” harus ada karena publik sedang mempertanyakan nasib Komisi Pemberantasan Korupsi. Waktu itu DPR sudah meloloskan Inspektur Jenderal Firli Bahuri, yang diduga melakukan pelanggaran etik saat menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2018, sebagai calon Ketua KPK. DPR juga sedang ngebut membahas revisi Undang-Undang KPK demi bisa disahkan sebelum masa kerja Dewan berakhir. Mereka menilai pemilihan Firli dan rencana pengubahan Undang-Undang KPK adalah bentuk pelemahan komisi antirasuah. “Kata ‘korupsi’ ini harus dipakai karena ini musuh bersama,” ucapnya.
Sedangkan kata “reformasi” merujuk pada reformasi yang dimulai pada 21 tahun lalu. Banyak aktivis terlibat dalam demonstrasi yang mendorong reformasi tersebut. Sebagian dari mereka kini menjadi bagian dari pemerintah dan DPR. Lewat tanda pagar itu, AMUKK ingin menyatakan perkembangan reformasi yang diciptakan para aktivis tersebut tak sesuai dengan reformasi yang diinginkan pada dua dasawarsa silam. Tagar tersebut juga diniatkan untuk mengingatkan tentang gerakan 1998.
Aktivis Dhyta Caturani, yang ikut berdemo pada 1998, mengatakan kala itu reformasi ditujukan untuk membuka keran demokrasi dan kebebasan setelah 32 tahun terbelenggu di bawah Orde Baru. Namun, setelah rezim Soeharto tumbang, kondisi reformasi malah mundur. Misalnya kasus pelanggaran hak asasi manusia berat 1965 yang terjadi di bawah Orde Baru belum juga diselesaikan. Malah ditambah dengan banyak kasus pelanggaran HAM baru, seperti kriminalisasi terhadap aktivis. “Reformasi belum selesai,” katanya.
Maka, sejak berdemo menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang KPK pada 17 September lalu, sebagian aktivis yang berdemo di depan gedung DPR membawa tulisan #ReformasiDikorupsi. Tagar itu juga ditembakkan di media sosial semua lembaga swadaya masyarakat dan anggota yang berdiri di bawah AMUKK. Tagar itu pun disambar mahasiswa dan para pedemo di daerah.
Analis media sosial, Drone Emprit, mencatat tagar itu digunakan dalam 6.800 cuitan di semua media sosial pada 22 September lalu, sehari sebelum aksi besar dilakukan. Cuitan dengan tagar ini terus meningkat sampai 153 ribu pada hari puncak aksi, 24 September.
#ReformasiDikorupsi masih digunakan sampai sekarang. Menurut Riska, selama negara masih memberi celah kepada koruptor, menggunakan kuasanya untuk kepentingan segelintir elite, dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada kelompok marginal, selama itu pula gerakan #ReformasiDikorupsi akan tetap ada. “Mungkin suatu saat nanti gerakan ini akan diwariskan dan berubah nama, tapi semangat perjuangannya enggak akan berubah,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo