Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gara-gara DPR Ngebut

Puluhan lembaga swadaya masyarakat yang semula berfokus pada isu garapan masing-masing menjadi bergandengan tangan. Menentang keinginan Dewan Perwakilan Rakyat  mengesahkan berbagai revisi dan rancangan undang-undang.

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi demonstran membentangkan spanduk menolak RANCANGAN KUHP dan UNDANG-UNDANG KPK yang baru di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, 23 September 2019./ TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kelompok masyarakat sipil menilai masih terdapat banyak masalah dalam draf terakhir Rancangan KUHP yang dibahas Panitia Kerja DPR.

  • Aliansi Nasional Reformasi menyatakan ada banyak kemunduran dalam RKUHP.

  • Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menduga revisi Undang-Undang KPK sengaja dilakukan untuk melemahkan KPK.

STATUS yang diunggah seorang politikus di akun media sosialnya membuat geger awak Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 16 September lalu. Sang politikus menulis bahwa Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Dewan Perwakilan Rakyat baru saja menyelesaikan pembahasan terakhir RKUHP di Hotel Fairmont, Jakarta, 15 September malam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para anggota ICJR yang memantau perkembangan pembahasan RKUHP sejak 2007 merasa kecolongan. Mereka sebelumnya tak mendengar informasi bahwa Panitia Kerja sedang ngebut membahas revisi KUHP. Menurut peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, agenda pembahasan revisi yang bisa diakses oleh publik diunggah di situs DPR terakhir kali pada Mei 2018. Setelah itu, tak ada kabar agenda lagi. Mereka harus mencari-cari informasi sendiri dengan bertanya kepada para anggota DPR atau staf ahli DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga swadaya masyarakat tersebut mendapat kabar bahwa Panitia Kerja melakukan rapat tertutup, juga menggelar rapat dengan pemerintah. Mereka mendapatkan draf yang dibahas oleh kedua lembaga tersebut dari sumber mereka. Namun dari draf yang mereka peroleh, kata Maidina, masih terdapat banyak masalah. “Tapi tiba-tiba ada postingan yang mengatakan mereka menyelesaikan pembahasan akhir dengan rapat tertutup. Dari situ kami kesal,” ujarnya, Kamis, 19 Desember lalu. ICJR khawatir DPR ngebet mengesahkan rancangan tersebut sebelum masa kerjanya berakhir dua pekan kemudian.

Kabar rapat tertutup itu mereka sebarkan ke grup WhatsApp “Aliansi Nasional Reformasi KUHP”. Ada 33 lembaga swadaya masyarakat yang bergabung dalam aliansi itu. Informasi tersebut juga masuk ke grup Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan RDemokrasi (AMUKK), perkumpulan masyarakat yang lebih besar, yang sebagian anggotanya adalah awak Aliansi Nasional dan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi. AMUKK dibentuk pada awal September lalu untuk merespons kemunduran demokrasi. Salah satu indikasinya adalah pemerintah dan DPR tak mendengar suara rakyat. Mendengar kabar bahwa Panitia Kerja sudah menyelesaikan pembahasan, anggota AMUKK langsung gempar.

Tagar reformasi dikorupsi dalam aksi mahasiswa di depan gedung mpr/dpr, senayan, jakarta, 23 september 2019./ICJR

Dua anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Riska Carolina dan Ryan A. Syakur, yang ada di dua grup itu, segera bertolak ke Fairmont. Riska menuturkan, petugas hotel membenarkan ada pemesanan ruangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang menginisiasi perubahan KUHP, untuk 14-16 September. “Tapi, saat kami datang, ruangan yang mereka gunakan ternyata sudah kosong,” kata Riska, Jumat, 20 Desember lalu.

Khawatir draf tersebut tiba-tiba diketuk tanpa mereka tahu isi terakhirnya, para anggota Aliansi Nasional Reformasi pun mencari draf rancangan tersebut ke anggota Panitia Kerja ataupun tenaga ahlinya. ICJR dan beberapa lembaga lain juga berburu draf tersebut ke mahasiswa tim ahli perumus revisi yang terdiri atas para guru besar hukum pidana, antara lain Muladi, Harkristuti Harkrisnowo, Eddy O.S. Hiariej, dan Marcus Priyo Gunarto. Mereka akhirnya mendapatkan rancangan tersebut.

Para anggota Aliansi Nasional Reformasi sepakat ada banyak kemunduran dalam rancangan paling anyar itu. Menurut Maidina, paling tidak ada 17 isu yang masih bermasalah, seperti perihal penghinaan terhadap pemerintah yang sah, kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, urusan privasi, serta hukum yang berlaku di masyarakat. AMUKK, yang sudah berencana berdemonstrasi di depan gedung DPR untuk menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari itu, juga menyuarakan perihal RKUHP. Mereka menentang DPR mengesahkan dua revisi peraturan yang bermasalah itu.

Sehari setelah kehebohan terjadi di antara anggota Aliansi, DPR tiba-tiba mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi sejak semula memprotes niat DPR merevisi undang-undang tersebut. Mereka menduga revisi sengaja dilakukan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. DPR juga dianggap melemahkan KPK dengan meloloskan Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai calon pemimpin KPK, padahal Firli diduga melakukan pelanggaran etik saat menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2018. “Kami dan Koalisi Masyarakat Sipil memikirkan langkah advokasi yang akan dilakukan,” ucap peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, Rabu, 18 Desember lalu.

aksi icjr menentang rANCANGAN kuhp dan ruu kpk di jakarta, september 2019./ Reuters/Willy Kurniawan

Belum lagi hilang kekagetan itu, sehari kemudian Komisi Hukum DPR mengesahkan RKUHP di tingkat I--pengesahan di Komisi Hukum sebelum dibawa ke sidang paripurna, satu langkah sebelum DPR bisa mengesahkan revisi tersebut menjadi kitab undang-undang. “Kami syok,” kata Riska.

Melihat gelagat DPR ogah mendengar masukan mereka, para anggota LSM yang bergabung dalam AMUKK makin merapatkan barisan. Selain beranggotakan Aliansi Nasional Reformasi dan Koalisi Masyarakat Sipil, AMUKK beranggotakan beberapa aliansi besar lain. Mereka berkali-kali berembuk di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta Pusat dan kantor Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta Selatan.

Dalam salah satu pertemuan, lembaga-lembaga tersebut menjabarkan kajian mereka. ICJR dan PKBI, misalnya, menjelaskan kemunduran RKUHP hasil rapat Panitia Kerja DPR di Fairmont. Sedangkan Aliansi Masyarakat Sipil memaparkan tentang kemungkinan nasib pemberantasan korupsi ke depan jika Undang-Undang KPK yang baru tetap digunakan dan Firli memimpin komisi antirasuah itu. “Kami melihat KPK sebagai benteng terakhir menghadapi oligarki,” tutur Ketua YLBHI Asfinawati, Kamis, 5 Desember lalu.

Sedangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan perihal konflik Papua, kriminalisasi aktivis, dan pelanggaran HAM berat. LSM lain juga memasukkan permasalahan yang belum diselesaikan negara. Misalnya soal pembakar hutan di Kalimantan dan Sumatera yang tak kunjung diseret ke pengadilan. “Disepakatilah tujuh tuntutan,” ujar anggota staf Divisi Advokasi Kontras, Falis Aga Triatama, Jumat, 20 Desember lalu.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati./TEMPO/M Taufan Rengganis

Mereka kemudian bergabung dalam tim-tim kecil. Salah satunya divisi kampanye. Tim ini antara lain membuat #ReformasiDikorupsi untuk berkampanye di media sosial dan melakukan konferensi pers. Semua lembaga yang memiliki jaringan di daerah dan mahasiswa juga diminta menularkan gerakan tersebut.

Sebagian lainnya merancang demonstrasi yang lebih besar, yang dimulai pada 23 September. “Saat itu, kami tak menyangka masyarakat yang turun akan sebanyak itu,” tutur Asfinawati. Diperkirakan lebih dari satu juta orang dari berbagai elemen masyarakat di Jakarta dan sejumlah kota turun dalam rangkaian aksi protes yang terjadi hingga awal Oktober lalu. Aksi besar itu membuat DPR menunda pengesahan RKUHP, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, RUU Pemasyarakatan, serta RUU Pertanahan di akhir periode kerja mereka.

•••

Pergerakan para aktivis lembaga swadaya masyarakat ini tak ujug-ujug meledak. Aliansi Nasional Reformasi KUHP, misalnya, memantau perkembangan RKUHP sejak 2005, merespons penyusunan draf RKUHP oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dimulai pada 1999. Mereka menjaring masukan dari masyarakat di berbagai daerah, menyusun daftar inventaris masalahnya, dan mengkampanyekan kepada masyarakat tentang rencana revisi peraturan tersebut sepanjang 2006-2007.

Ketika pemerintah memasukkan draf tersebut ke DPR pada 11 Desember 2012, Aliansi lalu memasukkan daftar inventaris masalah yang mereka susun ke DPR. Mereka juga memantau pembahasannya di parlemen. “Kalau tak bisa masuk ke ruang pembahasan, kami menaruh rekaman,” kata Maidina Rahmawati.

Mereka memasukkan setiap hasil pembahasan yang mereka dapatkan ke situs milik mereka, reformasikuhp.org, agar masyarakat, termasuk mahasiswa, bisa ikut memantau kemajuan pembahasannya. Sebab, baik pemerintah maupun DPR tidak mempublikasikan hasil diskusi tersebut. Mereka juga beberapa kali membangun diskusi tentang KUHP dan RKUHP dengan mahasiswa.

Lantaran aktif memantau jalannya pembahasan, Aliansi Nasional mengetahui banyak pasal yang masih bermasalah dan berpotensi merugikan masyarakat. Ketika DPR berencana mengesahkan rancangan tersebut pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Republik Indonesia, mereka menolak dan berdemo. Mereka meminta DPR dan pemerintah tak memaksakan pengesahan rancangan tersebut sebelum semua persoalan diatasi dan disepakati bersama masyarakat. KPK juga meminta perihal korupsi tak dimasukkan ke RKUHP. Presiden Joko Widodo akhirnya meminta DPR menunda pengesahannya.

Aktivis Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi, Dhyta Caturani, di Jakarta./TEMPO/Nurdiansah



Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga sudah menolak pelemahan KPK sejak kasus “Cicak Versus Buaya” jilid ketiga pada 2015. Kala itu, KPK menetapkan calon tunggal Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka kepemilikan rekening yang mencurigakan. Polri lalu menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Bambang dituduh menyuruh para saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Tapi, sebelum Koalisi Masyarakat Sipil terbentuk, para anggotanya, seperti Indonesia Corruption Watch, YLBHI, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Transparency International Indonesia, Saya Perempuan Anti Korupsi, serta Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengawal isu korupsi, terutama KPK, jauh sebelumnya. Selain beranggotakan lembaga-lembaga tersebut, AMUKK beranggotakan masyarakat yang tak tergabung dalam LSM, seperti aktivis Dhyta Caturani dan Adhito Harinugroho.

Mereka juga kerap mendiskusikan berbagai isu dalam forum-forum kajian, termasuk dengan mahasiswa. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, misalnya, berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengadvokasi penggusuran paksa rumah puluhan warga Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur. “Kami bekerja sama dengan LBH Jakarta sejak dulu,” tutur Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM UI Elang M. Lazuardi.
 
Sampai kini, baik AMUKK maupun aktivis mahasiswa tetap memantau perkembangan respons pemerintah dan DPR terhadap tujuh tuntutan mereka. “Permintaan kami perbaikan revisi, bukan penundaan,” kata Falis Aga Triatama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus