Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dosen Pun Turun ke Jalan

Petisi para akademikus berbagai kampus agar Jokowi menolak revisi Undang-Undang KPK tak digubris. Sebagian akademikus pun turut mendampingi demonstrasi mahasiswa. Teror dan ancaman terus menguntit mereka

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. WIRATRAMAN, di Jember, Jawa Timur 20 Desember 2019. / TEMPO/Aris Novia Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan dosen membubuhkan tanda tangan menolak revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  • Sejumlah kampus menunjukkan reaksi berbeda saat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi meminta rektor melarang mahasiswa turun ke jalan

  • Sejumlah dosen aktif melakukan diskusi, memberi dukungan terhadap gerakan mahasiswa. Beberapa mengalami teror

SIANG itu, 26 September 2019, penerbangan Herlambang P. Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dari Surabaya menuju Yogyakarta disibukkan dengan membuat siaran pers. Pasalnya, ia menerima edaran dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir yang meminta para rektor tidak mengizinkan mahasiswa melakukan demonstrasi. Imbauan Nasir bahkan dibayangi ancaman sanksi terhadap rektor yang turut menggerakkan mahasiswa turun ke jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sepanjang perjalanan selama di pesawat, saya membuat siaran pers. Mendarat di Yogya, siaran pers saya kirim saat sudah berada di dalam taksi,” tutur Herlambang saat dihubungi Tempo, Senin, 9 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengatasnamakan Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia, Herlambang menanggapi permintaan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Nasir yang mengimbau mahasiswa tak turun ke jalan. Imbauan Nasir muncul dua hari setelah gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil pecah pada 23 dan 24 September 2019.

Demonstrasi terbesar pascareformasi ini mengusik pemerintah. Upaya penguasa meredam aksi mahasiswa mengingatkan sejumlah kalangan akademikus terhadap tekanan pemerintah terhadap kampus melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) di masa rezim Orde Baru.

Ancaman terhadap civitas academica ini sudah muncul saat aksi 23 September meledak, ketika ribuan mahasiswa di Jakarta turun ke jalan menentang pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aksi serupa pecah di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Jember, Kendari, Makassar, dan Palangka Raya.

Turunnya para mahasiswa ke jalan mendapat restu dari sejumlah dosen dan bahkan rektor, seperti Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid. Fathul tak punya alasan untuk melarang. Malah, kata dia, akan melanggar konstitusi karena mengebiri hak berpendapat. “Demonstrasi itu bentuk cinta mahasiswa kepada bangsa. Mbok aspirasi mereka didengarkan,” ujar Fathul. Bahkan ia memerintah wakil rektor I, II, dan III di universitasnya mengawal mahasiswa yang berdemonstrasi guna memastikan demonstrasi berjalan lancar dan tidak diprovokasi.

Sebaliknya, Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma melarang mahasiswa berdemonstrasi. Tapi salah satu dosen Ilmu Religi dan Budaya, Stanislaus Sunardi, mendorong mahasiswa tidak alergi politik. Aksi protes publik, kata Sunardi, muncul bukan karena perkara revisi Undang-Undang KPK semata, melainkan kegelisahan terhadap kekuatan politik. Publik mempersoalkan cara merevisi aturan tersebut yang mendelegitimasi KPK. “Itu melecehkan dan membuat mahasiswa marah,” ucap Sunardi.

Ulya Niami Efrina Jamson atau biasa dipanggil Pipin, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, juga termasuk yang mengabaikan edaran surat larangan berdemonstrasi yang dikeluarkan rektornya, Panut Mulyono. Pipin mengakui tak semua dosen atau civitas academica mendukung gerakan mahasiswa, tapi ia dan sejumlah dosen lain meyakini pentingnya membangun budaya demokrasi. Pipin terlibat aktif mendampingi mahasiswa yang menginisiasi aksi Gejayan Memanggil melalui Aliansi Rakyat Bergerak.

Keterlibatan dosen turut dilakukan Sri Lestari Wahyuningrum, dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Ia baru setahun menjadi pengajar di sana. Sebagai orang yang familier dengan gerakan mahasiswa, Ayu--panggilan Sri Lestari Wahyuningrum--menemukan tantangan baru di kampusnya.

UPN bukan kampus yang dekat dengan gerakan mahasiswa. Namun, lewat aksi 23-24 September lalu, kampus yang masih lekat dengan suasana militer lantaran dulu merupakan kampus kedinasan milik Departemen Pertahanan dan Keamanan ini mencetak sejarah baru. Sekitar 1.500 mahasiswanya turun ke jalan. “Untuk kampus yang pro-status quo tentu menarik. Rupanya, mereka (mahasiswa) bisa kritis, bahkan cukup intens melakukan konsolidasi dan melakukan mobilisasi di dalam kampus,” tutur Ayu kepada Tempo, Kamis, 19 Desember lalu.

Ayu menawarkan diri mendampingi aksi mahasiswa. Dia membantu mahasiswa memastikan rute evakuasi, mengkoordinasi perkembangan dari koalisi ke mahasiswa, lalu memastikan mahasiswa dapat saling menjaga selama demonstrasi.

Tak ada larangan dari pihak dekanat ataupun rektorat kampus itu. “Mereka percaya ini praktikum politik bagi kemahasiswaan itu sendiri,” ucap Ayu. Namun, malam harinya, ia mendapat pemberitahuan, rektorat melarang mahasiswa terlibat aksi menggunakan identitas kampus. Esoknya, mahasiswa berdemo tanpa menggunakan jas almamater.

Dukungan dari akademikus terus bergulir. Sejumlah dosen, peneliti yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia menyatakan dukungan terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Di antaranya, peneliti Andreas Harsono dan Wisnu Prasetya Utomo; Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira Ajidarma; dosen Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo; dosen Universitas Multimedia Nusantara, Muhamad Heychael; pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Haris Azhar; dosen Universitas Gadjah Mada, Khidir M. Prawirosusanto; serta dosen Universitas Tadulako, Richard F. Labiro.

Sebelum para mahasiswa turun ke jalan, ribuan akademikus dari puluhan kampus di seluruh Indonesia menandatangani petisi yang meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi Undang-Undang KPK. “Mulanya kami pikir pesan dengan 2.000-an tanda tangan itu cukup untuk membuka mata hati Presiden soal revisi Undang-Undang KPK. Ternyata enggak, ha-ha-ha...” ujar Herlambang Wiratraman.

Petisi bermula dari dosen Fakultas Ekonomi UGM, Rimawan Pradiptyo. Ia awalnya hanya mengumpulkan dukungan dari dosen di UGM. Tak tahunya, beberapa dosen kampus lain menghubunginya, meminta izin menggunakan narasi yang ia buat untuk mengumpulkan tanda tangan di kampus masing-masing. “Meutia Gani (Sosiolog UI) bilang narasinya bagus. Dia minta izin untuk ikut menyebarnya di UI,” tutur Rimawan.

Mulanya tak ada koordinasi terpusat ihwal peran para dosen dalam rangkaian aksi besar ini. Menurut Herlambang, sejumlah akademikus rata-rata punya simpul jaringan sendiri berlatar disiplin ilmu. Namun, tak dimungkiri, sejumlah dosen lintas disiplin dan kampus terhubung seusai penandatanganan petisi. Grup WhatsApp dibuat untuk membangun komunikasi dosen tiap kampus.

Saat saling terhubung, beberapa bentuk teror dialami sejumlah dosen. Ada alamat surat elektronik yang diretas, nomor telepon seluler yang dikloning, atau dihubungi nomor asing dengan kode luar negeri.

“Ponsel dan e-mail beberapa dosen, termasuk saya, diretas. Setiap saya kirim e-mail, nama pengirim bukan atas nama saya, entah siapa,” tutur Herlambang. Setelah ditelusuri, sejumlah informasi dari ponsel dan e-mail semuanya terkoneksi ke DropBox milik Kenneth Novia tersebut.

Hal serupa dialami Rimawan Pradiptyo, yang didapuk menjadi administrator grup komunikasi dosen lintas kampus. Nomor ponselnya dikloning. Untuk keamanan, semua anggota grup keluar dan membuat grup baru. Tak cukup sekali, grup baru dibuat hingga tiga kali. “Akun Facebook, Telegram, dan WhatsApp saya dihack sampai akhirnya ganti nomor,” tutur Rimawan.

Hal-hal semacam itu tak menyurutkan langkah para akademikus. Mereka menyadari tindakan yang diambil butuh kerja panjang. Dari kampus, mereka terus membangun kesadaran kritis lewat forum diskusi, terlibat merawat nalar publik. “Jika negara sudah tak mau mendengar para akademikus, apa boleh buat?” ujar Herlambang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus