Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK banyak yang tahu, ternyata Dullah pun piawai menggunakan pena. Ia mampu menyuratkan banyak hal. Tentang dirinya, tentang Si Bung (Presiden Sukarno). Juga tentang alam dan lingkungan. Tulisannya dalam rupa prosa, juga puisi.
Seperti ketika menyapu kanvas dengan kuas di tangannya, begitulah Dullah saat bertutur dengan penanya. Mengalir mengikuti realitasnya. Deskripsinya detail. Seakan-akan menyeret siapa pun hadir dalam tulisannya. Beberapa buah penanya naik cetak. Di antaranya sajak “Kepada 15 Kawan”, yang dimuat dalam Gema Tanah Air karangan H.B. Jassin, terbitan Balai Pustaka, 1951, juga otobiografinya.
Tulisannya tentang Si Bung, “Bung Karno. Pemimpin, Presiden, Seniman” pun dimuat harian Merdeka Minggu—belakangan media ini tak terbit lagi. Oleh redaksinya, tulisannya itu dikemas secara serial atau bersambung, dari edisi 14 Maret 1982 hingga 22 Mei 1983. Penggambarannya begitu lengkap. Detail. Menampilkan sisi-sisi lain kehidupan si Bung, tentunya dengan si penulis. Eksklusif. Diperkaya dengan deskripsi yang menawan. Bahasanya lugas, tapi bersahaja. Tak menghilangkan sisi khasnya.
Ihwal Dullah dan Si Bung, pertalian terjalin pada akhir 1949 atau awal 1950 di Ibu Kota Yogyakarta. Suatu ketika, Presiden membutuhkan tambahan tenaga yang bisa membantunya dalam urusan kesenian istana. Ia meminta masukan dari sejumlah seniman yang sudah berada di lingkungan dekatnya, antara lain Sudjojono dan Affandi. Dalam rekomendasi mereka, tersebutlah nama Dullah. Sukarno segera memanggilnya. Dullah pun serta-merta menerima panggilan itu. Hingga ibu kota kembali ke Jakarta.
Nah, cerita bersambung di harian itu merupakan pengalaman Dullah sepanjang sepuluh tahun pengabdiannya di istana bersama Si Bung. Isinya segala hal. Terutama momen-momen keseharian. Kebanyakan di luar acara resmi kenegaraan. Lebih pada kehidupan pribadi Si Bung. Di Yogyakarta, Bali, Jakarta. Juga perjalanan muhibah kenegaraan ke berbagai negara. Uniknya, tulisan ini dikemas layaknya catatan harian. Bergaya surat dari si penulis yang ditujukan kepada istri tercinta, Fatimah.
Kegemaran menulis sebenarnya ditekuni Dullah sejak jauh sebelum bersama Si Bung. Setidaknya sejak masa pendudukan Jepang. Jepang masuk ke Kota Solo pada Maret 1942. Bagi Dullah, inilah masa penjajahan yang paling sarat rasa pahit dan getir. Hampir sepanjang masa penjajahan Jepang, ia bersama 15 teman sepergerakan menjalani hidup di dalam bui. Mereka ditangkap kempetai, polisi militer Jepang.
Nama lengkapnya Jan Jaerabbi Fatimah. Usianya lebih muda dua tahun. Ia dipacari Dullah semasa penjajahan Belanda, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Saat mereka berpacaran, gadis peranakan Pakistan itu berdinas sebagai guru di Holland-Inlandsche School. Berkenalan ketika aktif di gerakan kepanduan, mereka menikah pada 1939.
Surat-surat yang ditulis Dullah kepada istrinya itu sebenarnya lebih sebagai catatan pribadinya. Catatan tentang dirinya dan Si Bung. Sebuah surat, misalnya, menceritakan kebiasaan Si Bung menjelang pidato kenegaraan peringatan Proklamasi 17 Agustus. Si Bung selalu menulis sendiri naskah pidatonya. Berikut ini penggalan tulisan Dullah yang dimuat dalam edisi 14 Maret 1982.
Ibune Kenung,
Engkau ingat, tiap kali sebelum 17 Agustus, sekitar dua-tiga minggu, Bung Karno selalu “ngungsi” dari Istana Merdeka Jakarta entah ke Istana Bogor, atau ke pesanggrahan sederhana di Tampak Siring, Bali, untuk menulis pidato kenegaraan, yang akan diucapkan pada 17 Agustus di teras depan Istana Merdeka. …tidak jarang aku juga diajak serta ikut-ikut “ngungsi” meninggalkanmu sendirian di rumah dengan anakmu yang masih kecil itu.
“Ibune Kenung”, atau “Ibunya Kenung”, adalah panggilan sayang Dullah buat istrinya. Kenung nama panggilan anak laki-laki mereka, Sawarno, yang semata wayang—kelak, dari pernikahannya dengan Palupi Indrastuti, ia mempersembahkan empat cucu.
Dullah sebagai penulis juga jeli menangkap hal-hal sepele. Ringan, tapi menarik. Seperti Si Bung dengan vulpen-nya. Berikut ini penggalan tulisannya yang dimuat dalam edisi 21 Maret 1982.
…tiap kali Bung Karno menulis pidato kenegaraan, tak pernah menggunakan mesin tulis, tapi dengan tangan memakai vulpen. Vulpen itu mereknya “Parker” dengan ukuran ujung pena sedang, artinya tapak atau bekas ujung pena itu tidak runcing dan tidak terlalu tebal.
Apabila mendapat vulpen baru selalu dicoba dulu bekas atau tapak ujung penanya. Kalau runcing atau terlalu tebal tidak mau.
Dullah (kiri) dan Bung Karno (kanan) di Grand Canyon, Amerika Serikat, 1956. /Buku Dullah, Raja Realisme Indonesia
Di antara kesibukan Bung Karno berkutat dengan naskah pidatonya, Dullah mengisi waktu dengan melukis. Dalam setiap kesempatan. Di mana pun. Yang menarik, ia selalu mengambil posisi di depan pintu kamar tempat Si Bung menulis. Bukan semata-mata mencari perhatian Si Bung. Malah sebaliknya. Dullah ingin tahu apa yang sedang dikerjakan Si Bung.
Kadang Dullah salah tingkah, takut Si Bung terusik, terganggu oleh ulahnya. Tapi dorongan keingintahuannya lebih besar. Karena itu, ia tetap nekat selalu mengambil posisi di depan pintu kamar Si Bung yang terbuka. Suatu ketika, tiba-tiba Si Bung keluar, serta-merta menghampirinya. Dullah sesaat merasa syok, kendati tak memperlihatkannya. Ia takut Si Bung marah karena terganggu olehnya.
Namun yang dikhawatirkan tidak terjadi. Malah sebaliknya. Paras Si Bung tetap adem, serta-merta mengamati lukisannya. Lebih dari itu, yang menarik, Si Bung memberikan masukan soal bagian-bagian yang dianggapnya harus dibetulkan. Entah soal warnanya, bentuknya, entah goresannya. Bagi Dullah, sungguh, itu pelajaran yang amat berharga. Dan banyak momen menarik lain yang diabadikan Dullah dengan ujung penanya.
Kegemaran menulis sebenarnya ditekuni Dullah sejak jauh sebelum bersama Si Bung. Setidaknya sejak masa pendudukan Jepang. Jepang masuk ke Kota Solo pada Maret 1942. Bagi Dullah, inilah masa penjajahan yang paling sarat rasa pahit dan getir. Hampir sepanjang masa penjajahan Jepang, ia bersama 15 teman sepergerakan menjalani hidup di dalam bui. Mereka ditangkap kempetai, polisi militer Jepang.
Selama menjalani masa tahanan itu, Dullah giat menulis. Sebagai seniman, tampaknya ia memerlukan media untuk berekspresi. Tatkala cat, kanvas, dan kuas tak mungkin dihadirkan, ia tak lantas pasrah. Menulis adalah cara lain baginya. Di dalam bui, ia melampiaskan perasaannya dalam sajak-sajak. Karena tidak ada kegiatan lain yang bisa dilakukan, ia rajin menulis. Di dalam kamar yang pengap. Nyaris tidak ada cahaya, sekalipun di siang hari. Sendiri.
Selama dibui, Dullah dan teman-temannya diperlakukan dengan kejam. Saat menjalani pemeriksaan, mereka kerap dihajar dengan sepatu lars kempetai. Hingga berdarah-darah. Mereka diperlakukan seperti itu lantaran ancaman hukumannya teramat istimewa, yakni hukuman mati. Waktu terus bergulir. Hingga kemudian, pada suatu saat, sejumlah perwira tentara Jepang mengumumkan pembatalan hukuman dan proses pembebasan. Bagi Dullah, itulah saat yang paling melegakan.
Cukup banyak sajak yang dibuatnya. Kumpulannya diberi tajuk Anak Rakyat. Salah satunya, “Kepada 15 Kawan”, yang merefleksikan kekejaman selama di bui, dimuat di sejumlah media lokal dan luar negeri. Sajak itu antara lain dicetak dalam buku The Flaming Earth, terbitan Pakistan, 1949, bersama puisi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani.
Banoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo