Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Terguncang Demo Milenial

Presiden Joko Widodo semestinya menyadari bahwa demonstrasi mahasiswa dan pelajar kali ini bukanlah fenomena biasa.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terguncang Demo Milenial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelombang unjuk rasa di Jakarta dan sejumlah kota lain itu merupakan tamparan keras bagi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Aksi mereka seolah-olah mengirim pesan: para elite penguasa tidak bisa seenaknya mengatur negara dengan mengabaikan kepentingan publik.

Generasi milenial yang dikira apatis ternyata peduli terhadap urusan negara. Mereka memprotes Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terlalu mengurusi privasi dan moral warga negara—masalah yang memang menyentuh langsung kepentingan generasi mereka. Mahasiswa pun menyoroti isu kontroversial yang lain, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Wajah mereka masih imut dan lucu. Poster-poster yang mereka bawa pun berisi kata-kata jenaka. Tapi keliru besar jika pemerintah menyepelekan aspirasi mahasiswa dan pelajar. Apalagi mereka mewakili kelompok umur 15-24 tahun, yang mencapai 40 juta jiwa—masuk kelompok besar dalam piramida kependudukan. Salah pula bila pemerintah menghadapi demo milenial dengan cara represif karena justru makin memancing kemarahan khalayak.

Tragedi Kendari seharusnya tidak perlu terjadi. Immawan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, tewas tertembak saat demo di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, pekan lalu. Rekannya, Yusuf Kardawi, yang terluka dan sempat dirawat di rumah sakit, akhirnya juga meninggal. Adapun di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar Indonesia, Faisal Amir, terluka parah akibat demo di depan DPR pekan lalu.

Pemerintah mesti segera mengusut tuntas tragedi itu. Kepolisian juga perlu mengungkap pedemo bayaran yang selalu menunggangi aksi mahasiswa. Merekalah yang biasanya membikin rusuh. Upaya merusak demonstrasi mahasiswa dengan cara kotor seperti itu mengingatkan kita pada pola yang sering diterapkan Orde Baru.

Jokowi seharusnya paham bahwa pendekatan keamanan tidak akan efektif meredam kekesalan publik. Mengerahkan para pendengung (buzzer) untuk mempengaruhi opini masyarakat juga malah memperkeruh suasana. Para mahasiswa pun tidak bisa dipaksa mendekam di kampus tanpa ikut memikirkan urusan negara. Presiden semestinya tidak memerintahkan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Mohamad Nasir meredam demo di kampus-kampus. Cara pembungkaman seperti ini hanya akan mencederai kebebasan berpendapat.

Akar persoalan sebenarnya justru berada pada penguasa. Pemerintah Jokowi terkesan terlalu jemawa setelah melakukan konsolidasi politik pasca-pemilihan umum. Presiden Jokowi berhasil merangkul Prabowo Subianto, rivalnya dalam pemilihan presiden yang lalu. Partai politik juga berlomba-lomba merapat ke pemerintah dan tak satu pun menyatakan beroposisi.

Situasi itulah yang boleh jadi membuat Jokowi terlena. Pemerintah mulai mengingkari amanat reformasi dengan dalih untuk melancarkan investasi dan pembangunan. Presiden lalu merestui pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi Undang-Undang KPK. Setelah demonstrasi terjadi di mana-mana, barulah Jokowi mengubah sikap. Ia mempertimbangkan membikin peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) mengenai pembatalan revisi Undang-Undang KPK yang telah disetujui DPR.

Alasan pemerintah bahwa keberadaan KPK menghambat investasi jelas mengada-ada. Logikanya, pemberantasan korupsi justru akan memangkas ekonomi biaya tinggi dan menghemat anggaran negara. Pelemahan lembaga ini hanya akan membuat para politikus dan elite penguasa leluasa melakukan korupsi atau menerima suap. Motif tak elok seperti ini mudah tercium oleh masyarakat.

Rancangan undang-undang yang lain pun lebih banyak melindungi kepentingan penguasa ketimbang masyarakat. Rancangan KUHP, misalnya, memuat pasal penghinaan yang bertujuan menjaga martabat presiden dan wakil presiden. RUU Pemasyarakatan juga menjadi sorotan karena memberikan hak remisi dan rekreasi bagi koruptor. Adapun RUU Pertanahan lebih memihak pada kepentingan pengusaha. Konsesi pemakaian tanah negara dipermudah dan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Dipilih langsung oleh rakyat, Presiden Jokowi semestinya tidak menciptakan tatanan yang hanya menguntungkan segelintir elite politik. Sikap elite partai politik tak bisa menjadi pegangan karena belum tentu mencerminkan kepentingan publik. Mereka cenderung bersikap pragmatis. Partai politik terkesan hanya membutuhkan suara pemilih pada saat pemilu.

Demo kaum milenial sebetulnya tengah mendobrak sistem politik kita yang memanjakan elite penguasa dan mengabaikan kepentingan khalayak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus