Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Victor's Justice'

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

T. Mulya Lubis
Pengacara dan Pengamat Hukum

PERDANA Menteri dan Menteri Pertahanan Australia berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang sangat keras dan dalam beberapa hal tidak proporsional soal Timor Timur. Pernyataan yang mengatakan bahwa pasukan multinasional bisa saja memburu kaum milisia, kalau perlu memasuki Timor Barat jelas merupakan suatu pernyataan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Harus dicatat bahwa Indonesia dan Australia tidak dalam keadaan perang sehingga menurut hukum internasional setiap negara harus menghormati territorial integrity dari setiap negara.

Untunglah Panglima Interfet, Mayjen Peter Cosgrove, menolak memasuki wilayah Timor Barat karena itu tidak termasuk dalam mandat yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB kepada pasukan multinasional Interfet. Jika kondisi Tim-Tim ingin diperbaiki, yang harus dilakukan adalah memulihkan kembali keamanan dan keteriban serta menyeret pelaku-pelaku kejahatan—akibat pelanggaran Konvensi Jenewa, laws of war, genocide, atau crime against humanity—baik ke pengadilan nasional maupun internasional.

Fokus perhatian seharusnya diarahkan kepada suatu penyelidikan yang menyeluruh dan obyektif terhadap semua pihak yang terlibat dalam jajak pendapat. Konsentrasi ke arah penyelidikan inilah yang kita semua mesti lakukan secara bersama-sama dengan melibatkan pihak-pihak yang dikenal berpengalaman dan berintegritas sehingga hasil penyelidikan itu diterima sebagai suatu yang kredibel dan diterima oleh semua pihak untuk dijadikan dasar dalam menindaklanjutinya. Dan tidak lanjut ini tentu bisa saja bermuara ke pembentukan peradilan yang bersifat khusus (international tribunal), seperti yang terjadi di negara bekas Yugoslavia dan Rwanda. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB diberitakan sudah mendapat lampu hijau dari Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk memulai penyelidikan pelanggaran hak asasi di Timor Timur. Kabarnya beberapa kuburan massal juga sudah akan digali.

Soalnya, apakah terbentuknya suatu peradilan khusus itu bisa berperan sebagai perantara peradilan yang fair dan menghormati due process of law? Bagaimana agar peradilan khusus ini memberikan rasa adil bagi semua pihak? Pertanyaan seperti itu selalu muncul seusai suatu konflik bersenjata pada masa lalu. Ketika tokoh Nazi, Goering, diadili di Nuerenberg Trial pertanyaan soal keberpihakan para hakim juga muncul. Amat terkenal bagian dari pembelaan Goering yang mengatakan, "The victor will always be the judge, and the vanquished will always be the accused."

Bagi yang diadili, persepsi itu tentu sangat kental dan manusiawi. Namun yang harus dicegah adalah kemungkinan international tribunal itu berubah menjadi forum bagi, yang disebut Goering, keadilan sang pemenang perang tadi. Keadilan adalah keadilan dan harus berlaku bagi semua, meskipun penerapannya akan dipengaruhi juga oleh sense of justice dari para hakim. Karenanya, tak dapat tidak, para hakim yang akan dipilih nanti haruslah datang dari kalangan ahli-ahli hukum internasional yang dikenal sangat berpengalaman dan berintegritas. Kalau perlu mereka datang dari negara yang tidak termasuk negara-negara anggota pasukan multinasional Interfet.

Yang tidak kalah penting dalam mempersiapkan peradilan yang mungkin akan terwujud ini adalah diaturnya hak-hak dari para tersangka, baik itu kalangan milisia maupun anggota TNI. Bagaimanapun asas praduga tidak bersalah tetap harus dijunjung tinggi dan semua hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum dari penasehat hukum harus dijamin. Juga hak-hak untuk mendapat bantuan penerjemah dan rohaniawan serta komunikasi dengan anggota keluarganya harus secara tertulis disediakan, tentu dalam rumusan yang disetujui oleh Dewan Keamanan PBB.

Kita tidak tahu di mana (dan kapan) international tribunal itu akan diselenggarakan. Namun pemerintah bersama-sama dengan organisasi profesi hukum di negeri ini perlu mempersiapkan diri. Kecaman dan kutukan terhadap kejahatan perang dan kemanusiaan harus kita lakukan, tapi kewajiban memberikan pembelaan terbaik bagi mereka yang diseret ke pengadilan internasional ini juga merupakan kewajiban profesional yang harus diantisipasi. Langkah-langkah ke arah itu mesti dilakukan sejak sekarang. Tapi, anehnya, pemerintah Indonesia belum mulai berpikir ke arah ini.

Sejak dini kita perlu mempersiapkan pembelaan ini karena kita pun tidak ingin peradilan itu akan menjadi forum bagi keadilan sang pemenang atau victor's justice. Hendaknya kita menyadari bahwa tragedi Timor Timur adalah kekalahan dari hak asasi manusia dan keadilan. Janganlah hak asasi manusia dan keadilan dikalahkan pula oleh victor's justice.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum