Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Langkah Tentara Kita

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentara Indonesia memang khas. Mereka bukan saja memanggul senjata, tapi juga berpolitik dan berbisnis selagi masih aktif. Apa saja yang sudah mereka torehkan dalam perjalanan mereka yang hampir seumur Republik ini? Kelahiran Pada 22 Agustus 1945 terbentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai cikal-bakal tentara nasional. Pucuk pimpinan dipegang oleh bekas opsir-opsir Pembela Tanah Air (Peta). Pemuda dan laskar rakyat boleh bergabung. Tugas utama adalah menjaga keamanan, bukan melakukan perlawanan terhadap Jepang, Belanda, ataupun Inggris. Setelah para pemimpin yakin bahwa Belanda tak mau melepas Indonesia, BKR ditingkatkan statusnya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Pada Januari 1946 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pengubahan TKR menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Organisasi baru ini dinyatakan sebagai satu-satunya tentara yang resmi, akibatnya jumlah anggota membengkak. Akhirnya pada 5 Mei 1947 TRI bersama laskar rakyat dilebur dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konflik sipil-militer Pada 1 Agustus 1949 Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Letjen Sudirman mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak setuju perintah gencatan senjata dengan tentara Sekutu. Peristiwa ini menandai konflik antara sipil dan militer yang terangkat ke publik untuk pertama kali. Pokok persoalan, tentara tak setuju dengan perjuangan diplomatik yang dilakukan para pemimpin negara. Peristiwa 17 Oktober 1952 tercatat sebagai pembangkangan militer terhadap pimpinan sipil secara telanjang. Perwira ABRI di bawah A.H. Nasution memaksa Sukarno membubarkan DPRS. Gerakan ini gagal dan perwira yang terlibat ditangkap, walau sesudah itu masih boleh aktif. Dwifungsi Pada November 1958, A.H. Nasution memperkenalkan konsep "Jalan Tengah" yang menjadi cikal-bakal dwifungsi ABRI. Inti konsep ini adalah pemberian kesempatan pada militer sebagai salah satu kekuatan politik untuk berperan di pemerintahan atas dasar asas negara kekeluargaan. Konsep ini dicetuskan untuk mencegah militer melakukan kudeta terhadap sipil yang dikhawatirkan bila sekali terjadi akan terulang lagi. Konsep Nasution dimatangkan lewat doktrin Tri-Ubaya Cakti yang merupakan hasil Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung. Kekaryaan Anggota militer yang pertama kali mengecap kursi kabinet adalah Kolonel Nazir yang menjabat Menteri Pelayaran dalam Kabinet Djuanda pada 1957. Namun baru dalam Kabinet Kerja I pada 1959, jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan dipegang militer, yaitu A. H. Nasution. Setelah Soeharto berkuasa, makin banyak militer yang jadi menteri di departemen-departemen strategis, gubernur (22 orang di 26 provinsi pada awal Orba), duta besar, dan jabatan lainnya. Kondisi ini masih berlanjut sampai sekarang. Perambahan bidang lain makin merajalela. Pada 1967 anggota ABRI mulai dapat jatah kursi gratis di DPR 43 kursi. Kursi DPRD pun ikut diembat walaupun dalam beberapa kasus jadi sangat tidak proporsional, misalnya dari tujuh DPRD di Tim-Tim, ketuanya semua berasal dari ABRI dan bukan putra daerah sehingga asas keterwakilan sangat minim. Golongan Karya Militer membidani lahirnya Golongan Karya pada 1964 dengan anggapan partai politik saat itu adalah sumber konflik, jadi perlu kelompok nonpartai yang bisa mendukung kebijakan mereka. Pada perkembangannya, Golkar justru jadi partai pemerintah Orde Baru. Wajib hukumnya bagi ABRI untuk memenangkan Golkar di setiap pemilu selama pemerintahan Soeharto. Bisnis di tangan militer Tentara mulai "terpanggil" berbisnis pada masa darurat (1949-1959), terutama saat nasionalisasi perusahaan Belanda. Namun baru pada era Orde Baru-lah kepiawaian militer kita menerbitkan rasa kagum. Pada 1968, Ibnu Sutowo mengubah Permina menjadi Pertamina. Sekalipun resminya Pertamina adalah badan usaha milik negara (BUMN), Ibnu hanya bertanggung jawab terhadap pimpinan ABRI karena ia punya otoritas penuh. Ibnu baru goyah pada 1976 setelah Pertamina ternyata berutang lebih dari US$ 10 miliar. Tapi selain pencopotan, tak ada sanksi hukum untuk Ibnu. BUMN lain yang juga dikuasi militer adalah Badan Urusan Logistik (Bulog). Selain berkiprah di BUMN, tiap-tiap angkatan juga membentuk yayasan dan koperasi. Yang paling spektakuler adalah Yayasan Kartika Eka Paksi di bawah payung Angkatan Darat yang memiliki 26 perseroan terbatas. Proyek raksasa mereka adalah superblok Sudirman—berkongsi dengan pengusaha Tommy Winata—yang menelan investasi sebesar US$ 3,25 miliar. Bisnis lain? Masih banyak. Sayangnya batas antara bisnis institusi dan perorangan sering tak jelas. Maka di antara kegiatan bisnis itu ada yang jauh dari legal seperti jadi backing tempat judi dan maksiat lainnya. Bahkan ada pula yang jadi bandar obat bius. Daerah Operasi Militer Di dua daerah Aceh dan Tim-Tim—juga sebagian Irian Jaya, daerah operasi militer (DOM) berarti mimpi buruk berkepanjangan. Puluhan ribu orang meninggal dan hak asasi manusia jatuh ke titik nadir selama tahun-tahun pemberlakuan DOM di daerah tersebut. Kini DOM telah dihapus, tapi kemanusiaan masih juga tak bergerak posisinya. Kini yang menggelisahkan militer adalah kemungkinan terbentuknya pengadilan internasional bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (untuk sementara khusus Tim-Tim) Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus