SEKARANG, bagaimana kita mesti menilai profesionalisme Tentara Nasional Indonesia? Terlalu banyak rasanya kesalahan dan dosa yang dilakukan militer ketimbang kebaikan-kebaikan, juga prestasi, yang ditorehkannya. Seumpama anak sekolah, rapor tentara merah semua.
Angka merah pertama diperoleh TNI—dulu disebut ABRI—ketika menjadikan Tanah Rencong, Aceh, sebagai daerah operasi militer. Angka merah berikutnya berderet. Siapa yang menculik para aktivis mahasiswa menjelang lengsernya Soeharto? Tentara. Siapa yang diduga menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti? Tentara. Siapa yang menghajar massa dan mahasiswa di depan Kampus Atmajaya, Semanggi, Jakarta, November tahun lalu? Tentara. Siapa Agus Isrok, yang tertangkap tangan dengan segepok narkotik dan obat-obatan terlarang? Tentara. Siapa yang mengusulkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, yang banyak diprotes itu? Tentara. Siapa yang stres dan memuntahkan peluru malam-malam di kaki Semanggi, dua pekan lalu? Tentara juga, walau masih dalam penyelidikan. Tidak aneh jika mayoritas responden jajak pendapat TEMPO yang dilakukan di 25 kota di 15 provinsi berpendapat, tentara memang lebih merupakan penyebab ketimbang pemecah masalah-masalah dalam negeri.
Pendapat tersebut, menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, merupakan sesuatu yang wajar. Salah satu penulis buku Bila ABRI Menghendaki dan Bila ABRI Berbisnis ini mengungkapkan bahwa pelbagai masalah dalam negeri itu lahir karena ada benturan kepentingan antara kelompok-kelompok masyarakat di daerah dan tentara. Di Aceh, misalnya, orang-orang yang berontak karena tidak tahu lagi kemana rasa keadilan dapat diperoleh dianggap oleh tentara sebagai masalah. Banyak di antara anggota korps seragam hijau yang kemudian bertindak berlebihan dalam menindak orang-orang yang dianggap ancaman bangsa. Tindakan tersebut dinilai Indria sebagai ketidakprofesionalan militer.
Sebaliknya, apa prestasi menonjol atau aksi nyata tentara yang bisa membuat rakyat bangga? Selain uluran tangan bantuan ketika bencana alam gempa bumi di Liwa, Lampung, kecelakaan pesawat di Palembang dan Medan, pendakian puncak gunung tertinggi di dunia, Everest, rasanya menghitung jasa-jasa militer selama dua tahun terakhir ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Dari perspektif inilah, harap dimaklumi seandainya citra aparat berseragam hijau sedang merosot tajam di mata masyarakat. Publik tak cukup punya alasan tepat untuk mengacungkan dua jempol kepada mereka. Padahal para responden masih sangat berharap dari institusi TNI. Terbukti lebih dari separuh responden memang masih menganggap anggota militer sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Tapi jangan lupa, lebih dari sepertiganya berpendapat tidak. Bila bertemu anggota tentara di jalan pun, hampir semua peserta jajak pendapat merasa biasa-biasa saja. Padahal, idealnya, kehadiran seorang aparat tentu akan memberi rasa aman dan tenteram bagi warga, bukan?
Jangan heran, sebagian besar responden menilai, anggota militer lebih baik kembali ke fungsinya sebagai prajurit profesional. Dalam benak publik, tak perlulah TNI cawe-cawe, ikut mengurusi persoalan sipil dan politik, apalagi bisnis. Militer tidak layak berbisnis, lebih-lebih kalau kemudian jadi beking. Sebab, itu hanya akan meresahkan masyarakat. Begitu menurut hampir semua responden.
Masyarakat tampaknya berpendapat sekaranglah saatnya masyarakat madani diberi kesempatan memberdayakan dirinya sendiri dalam urusan sipil. Tentara hanya sekadar tut wuri handayani, mendukung dari belakang. Pendapat ini tercermin dari pilihan responden, yang kebanyakan menganggap tak perlu ada lagi militer di kursi parlemen. Begitu pula dalam hal kepemimpinan nasional. Mayoritas responden bahkan menolak punya presiden, wakil presiden, dan jabatan publik lainnya yang berasal dari TNI. Tapi, kalau sekadar ketua salah satu induk organisasi olahraga, bolehlah. Pada masa depan, militer selayaknya hanya berperan dalam urusan pertahanan dan keamanan negara.
Tentu saja keinginan responden ditentang keras oleh Ketua Fraksi TNI-Polri DPR, Achmad Rustandi. Menurut Rustandi, siapa pun—termasuk anggota TNI—tidak boleh dibatasi haknya untuk menjadi pemimpin bangsa. Tidak boleh ada diskriminasi dalam memilih calon pemimpin bangsa, sipil atau militer. "Sebab, secara umum, anggota TNI sudah dididik menjadi pemimpin," kata Rustandi. Apalagi, masih kata Rustandi, semua yang dilakukan TNI selama ini sebetulnya bukan kemauan mereka sendiri, melainkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan sudah merupakan keputusan pemerintah.
Wicaksono, Andari Karina Anom
INFO GRAFISApa yang Anda rasakan bila bertemu tentara di jalan? | Biasa-biasa saja | 71%Aman | 12%Kesal | 10%Takut | 4%Terancam | 1%Tidak tahu | 1% | Apakah Anda menganggap tentara merupakan pelindung dan pengayom masyarakat? | Ya | 58%Tidak | 31%Tidak tahu | 12% | Bagaimana kalau TNI sebagai lembaga terjun ke dunia bisnis? | Boleh | 8%Dilarang | 52%Boleh tapi dibatasi | 28%Tidak tahu | 13% | Bagaimana bila anggota aktif TNI berbisnis? | Boleh | 12%Dilarang | 39%Boleh tapi dibatasi | 40%Tidak tahu | 9% | Apa makna "TNI berasal dari rakyat untuk rakyat" bagi Anda? | Sekadar slogan | 38%TNI memang berasal dari rakyat | 31%TNI memang mengabdi kepada rakyat | 20%Tidak tahu | 11% | Bagaimana pendapat Anda bila mengetahui keterlibatan anggota TNI sebagai "beking"? | Meresahkan | 80%Wajar | 7%Tidak tahu | 12% | Bagaimana peran TNI pada masa datang? | Hanya mengurusi masalah pertahanan dan keamanan | 66%Mengurusi masalah pertahanan, keamanan, serta sosial dan politik | 19%Tidak tahu | 15% | |
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
Bagaimana pendapat Anda tentang hal berikut ini? | Setuju | Tidak | Tidak tahu | Dwifungsi TNI | 25% | 70% | 5% |
---|
TNI mendapat kursi di DPR | 29% | 66% | 5% |
---|
TNI kembali ke barak | 61% | 19% | 20% |
---|
Dalam peristiwa berikut ini, TNI menjadi sumber masalah atau justru memecahkan masalah? | Peristiwa | Sumber | Pemecah |
---|
Aceh | 57% | 9% |
---|
Timor Timur | 42% | 18% |
---|
Ambon | 34% | 20% |
---|
Penembakan mahasiswa Trisakti | 69% | 4% |
---|
Kerusuhan Mei 1998 | 52% | 9% |
---|
Peristiwa Semanggi | 60% | 6% |
---|
Apakah anggota TNI yang masih aktif boleh menduduki jabatan di bawah ini? | Jabatan | Ya | Tidak |
---|
Presiden | 22% | 65% |
---|
Wakil presiden | 28% | 58% |
---|
Menteri | 35% | 51% |
---|
Pejabat Tinggi | 30% | 53% |
---|
Gubernur | 25% | 61% |
---|
Bupati | 24% | 61% |
---|
Direktur BUMN | 17% | 64% |
---|
Ketua organisasi olahraga | 51% | 34% |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dikerjakan Majalah TEMPO di 23 kota di 15 provinsi di Indonesia, pada 6-13 September 1999. Penarikan sampel dilakukan melalui quota sampling yang proporsional terhadap populasi di daerah yang diteliti. Jumlah responden 963 orang. Profil demografis responden dikontrol agar memiliki pola yang serupa dengan populasi penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun ke atas. Wawancara dilakukan secara tatap muka. Pengolahan data dilakukan bekerja sama dengan Prompt (PT Riset Prima Indonesia).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini