Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

’Wakil Rakyat’ Penjaja Anggaran

Gedung Dewan menjadi bursa transaksi gelap penentuan kebijakan publik. Penyusunan anggaran atau pembahasan pasal rancangan undang-undang kerap dilumuri politik uang. Kepala daerah bersusah payah menyiapkan sogokan buat memperoleh alokasi anggaran.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pria itu bersua di satu restoran, lantai tiga Plaza Senayan, Jakarta. Pria pertama Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar, Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Lelaki lainnya Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar Dewan Perwakilan Rakyat. Berjabat tangan, lalu saling menanyakan kabar, keduanya kemudian duduk di tempat kosong restoran itu.

Malam itu, Oktober 2009, menurut sumber yang mengetahui pertemuan tersebut, Setya bertanya, ”Mau ikutan dengan grup kami?” Yang ditanya menjawab mantap, ”Bisa, Pak.” Dua pria memahami kosakata yang sama. Kalimat Setya itu merupakan kode ala Senayan untuk menawarkan jasa pengalokasian anggaran proyek infrastruktur di suatu daerah.

Setya mengangguk-angguk. Ia berpesan agar Jefferson melanjutkan urusan anggaran ini dengan stafnya di Dewan. Pertemuan di restoran tanpa jamuan itu usai dengan cepat. Pada saat itu, Tomohon membutuhkan dana segar Rp 50 miliar untuk pembangunan jalan dan jembatan. Jefferson berharap dana bisa masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tomohon tahun berikutnya.

Sumber Tempo menyebutkan, setelah pertemuan tersebut, anggota staf wali kota termuda di Indonesia itu, ditemani seorang pengusaha asal Sulawesi Utara, beberapa kali menjalin kontak dengan Shely, anggota staf Setya. Dalam komunikasi disebutkan, Jefferson harus menyetor uang muka Rp 3 miliar, enam persen dari anggaran Rp 50 miliar yang akan dialokasikan. ”Tak boleh kurang sedikit pun,” kata sumber ini.

Menjelang tutup bulan, anggota staf Jefferson bersama pengusaha sponsor bertemu dengan Shely di ruang kerja Setya, lantai 12 Nusantara I Gedung DPR. Keduanya menenteng tas belanja berisi ratusan lembar dolar Amerika Serikat. Tak banyak cakap, tas itu berpindah tangan. Dan benar, belakangan Tomohon mendapat tambahan anggaran Rp 50 miliar dari pos dana percepatan pembangunan.

Jefferson, yang dua pekan lalu divonis sembilan tahun penjara dalam perkara korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan kini ditahan di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, tak membantah atau membenarkan informasi itu. ”Kamu tahu dari mana? Saya tak mau berkomentar,” katanya.

Dihubungi Tempo, Shely menyangkal pernah menerima uang dari pengusaha atau staf pemerintah Tomohon. ”Saya tidak tahu soal itu. Di DPR memang banyak gosip yang tak jelas,” ujarnya. ­Setya juga membantah bertemu dengan Jefferson dan menawarkan bantuan penempatan anggaran. ”Tidak ada itu,” katanya seusai kuliah umum di Universitas Lampung, Jumat pekan lalu.

Seorang pengusaha yang pernah dekat dengan Setya Novanto mengatakan peran Bendahara Umum Partai Golkar dalam mengegolkan anggaran untuk daerah sangat besar. Bahkan ­Setya menjadi pintu masuk utama bagi mereka yang ingin meraup dana anggaran melalui jalur Partai Beringin. Dimintai komentar, Setya kembali membantah. ”Saya tak ikut-ikutan. Tudingan itu aneh,” ujarnya sambil berlalu.

Dugaan praktek percaloan anggaran di Dewan kembali dibicarakan setelah terbongkarnya perkara suap untuk Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Pada 21 April lalu, Wafid ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima cek senilai Rp 3,2 miliar dari Direktur PT Duta Graha Indah Mohammad el-Idris, penggarap proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang. Mindo Rosalina Manulang, Direktur Marketing PT Anak Negeri yang mendampingi Mohammad el-Idris, juga ditangkap.

Setelah ditangkap, Rosalina, yang menjadi anak buah Muhammad Nazaruddin, pemilik Anak Negeri dan Bendahara Umum Partai Demokrat, menyebutkan uang untuk Wafid bakal dibagikan ke sejumlah anggota Komisi Olahraga Dewan. Belakangan, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah berganti pengacara, Rosalina menyatakan tak mengenal Nazaruddin. Ia juga menyangkal dana bakal dibagikan ke Senayan.

Penyusunan anggaran memang merupakan lahan basah bagi anggota Dewan. Para ”wakil rakyat” menggunakan proses persetujuan yang merupakan kewenangan mereka untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan penelusuran Tempo, banyak anggota Dewan menghubungi kepala-kepala daerah, menawari mereka anggaran tertentu, dan kemudian memotong 5-10 persen sebagai ”fee”. Uang ini harus dibayar di muka, tunai.

Proses serupa dilakukan dengan pengusaha untuk persetujuan anggaran pengadaan suatu barang. Tawar-menawar juga dilakukan untuk memutuskan pasal-pasal krusial dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang (lihat ”Bursa Pasal ala Senayan”).

l l l

TRANSAKSI gelap dilakukan politikus dari hampir semua fraksi. Seorang pengusaha mengaku beberapa kali bertemu dengan anggota Dewan dari Partai Demokrat. Terakhir, pertemuan diadakan di sebuah restoran hotel bintang lima di Jakarta Pusat, sekitar tiga bulan lalu. Ia menyebutkan ditemui antara lain oleh Nazaruddin dan Sutan Bhatoegana, membicarakan alokasi anggaran untuk suatu pos pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam di ruang privat, para politikus Demokrat menjelaskan setor­an yang perlu disiapkan. Sebagai ilustrasi, alokasi anggaran senilai Rp 50 miliar memerlukan ”bantuan” satu anggota DPR dengan imbalan delapan persen atau Rp 4 miliar. Untuk alokasi anggaran Rp 500 miliar, dengan begitu, dibutuhkan peran sepuluh anggota Dewan dan sogokan Rp 40 miliar. ”Pak Nazaruddin bilang jumlah itu kecil,” kata pengusaha ini.

Sadar bakal mengeluarkan uang muka sangat besar untuk proyeknya, pengusaha ini mundur teratur. ”Saya coba nawar, tapi enggak boleh kurang sepeser pun. Pelit bener mereka,” ujarnya.

Seorang pengusaha tambang mengatakan Partai Demokrat merupakan pintu yang paling banyak diminati. Maklum, partai ini memiliki kursi mayoritas di DPR, sehingga peluang mengegolkan alokasi anggaran lebih besar. Lobi dengan Demokrat ini biasanya digelar di hotel mewah, seperti Ritz-Carlton, Bellagio, Sultan, atau Gran Melia. Menurut pengusaha ini, dalam setiap lobi yang dilakukan lewat Demokrat, hampir selalu ada Nazaruddin.

Nazaruddin ketika dihubungi Tempo memilih tak mau memberikan komentar sedikit pun. Ia mengatakan sejumlah hal, tapi menolak pernyataannya dipublikasikan. Sedangkan Sutan Bhatoegana tak bisa dimintai pendapat. Ia tak membalas pesan pendek dan panggilan yang dikirimkan ke telepon selulernya.

Sekretaris Fraksi Demokrat Saan Mustopa membantah kabar para kadernya sering ”berjualan” dengan pihak yang ingin melancarkan proyek. Demokrat juga tak pernah memerintahkan kadernya mencari uang untuk partai. ”Kalau sampai ada yang ’buka warung’ seperti itu, laporkan saja. Nanti kami usut,” katanya.

Partai-partai lain tak kurang bagian. Seorang kepala daerah bercerita, ketika berkumpul, para kepala daerah biasanya bertukar cerita tentang anggota Dewan yang bisa dititipi anggaran atau proyek. Kesimpulannya, para kepala daerah cenderung memanfaatkan jalur partai yang mendukungnya pada saat pemilihan.

Seorang bekas anggota Panitia Anggaran mengatakan tiap partai biasanya memiliki sejumlah anggota yang giat menjala uang. Kader partai ini ditempatkan di Badan Anggaran, perangkat Dewan yang beranggotakan 85 orang dari pelbagai fraksi secara proporsional. Di sini proses pembahasan anggaran dimainkan agar proyek yang dikawal bisa mulus. Anggota Badan Anggaran yang tak produktif menyetor uang ke partai bakal dipindahkan ke alat kelengkapan Dewan lainnya.

Di Badan Anggaran kadang terjadi peleburan anggota lintas fraksi dan lintas komisi. ”Pernah ada anggota Badan Anggaran dari Komisi Pertambangan ngotot meloloskan anggaran untuk proyek di komisi lain,” katanya.

Laode Roy Salam, analis Indonesia Budget Center, lembaga nonpemerintah yang mengawasi anggaran, mengatakan Badan Anggaran merupakan tempat paling strategis untuk mengumpulkan pundi-pundi. Apalagi pembahasan detail sangat tertutup dan tak bisa disaksikan masyarakat. Adapun Uchok Sky Khadafi dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengatakan peluang memainkan penyusunan anggaran terjadi di semua lini—dari pembahasan di tingkat daerah atau kementerian hingga Dewan.

Permainan juga melibatkan mediator, yang datang ke Senayan dan melobi legislator agar meloloskan proyek di daerahnya. Seorang mediator dari salah satu daerah di Sulawesi mengakui perannya. ”Kami harus rajin mengontak anggota DPR agar terus mengawal proyek di suatu daerah,” katanya. Biasanya, anggota Dewan yang didekati berasal dari daerah pemilihan yang sama.

Para mediator datang membawa proposal dari daerah yang sudah disetujui bupati atau wali kota. Seorang kepala daerah yang memanfaatkan jasanya bahkan mengatakan di tiap wilayah biasanya ada mediator yang rajin menyambangi bupati atau wali kota untuk menembuskan anggaran. ”Proposal itu tinggal ganti nama daerahnya, beres,” ujarnya.

Anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, mengakui percaloan anggaran oleh para wakil rakyat bisa dicium dengan mudah. Tapi, ia mengingatkan, tak semua anggota DPR menjadi calo. Ada juga anggota DPR yang meminta proyek di daerah pemilihannya disetujui tapi bukan calo. ”Yang salah itu kalau menerima komisi setelah anggaran disetujui,” katanya.

l l l

SEORANG kepala daerah dari Indonesia bagian timur mengaku beberapa kali berurusan dengan calo anggota Dewan. Dari tahun ke tahun, so­gokan yang diminta kian meningkat. Tapi para kepala daerah mau tak mau harus menerima hal ini agar pembangunan di daerahnya tetap berjalan. Apalagi untuk mendapatkan dana segar seperti dana percepatan infrastruktur daerah. Banyak bupati atau wali kota kerap meninggalkan daerahnya, menginap di sejumlah hotel di Jakarta, ”berburu” alokasi anggaran.

Tak mudah menyiapkan dana so­gokan. Lihatlah pengalaman seorang bupati satu daerah di Jawa Barat. Tahun lalu, ia menerima tawaran ”bantuan” dari politikus Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat. Ini bukan pengalaman pertamanya. ”Kami percaya dengan politikus dari Partai Keadilan Sejahtera: kalau janji bisa mengalokasikan Rp 10 miliar, pasti ditepati,” kata orang dekat sang bupati, yang ditemui Tempo di Hotel Sultan, Jakarta, dua pekan lalu. ”Mereka itu amanah.”

Setelah sang bupati setuju menggunakan jasa, orang-orangnya kemudian berhubungan dengan Andi Rahmat. Kesepakatan tercapai, bupati harus membayar 10 persen dari anggaran yang dijanjikan—jumlahnya tidak boleh disebut karena ”akan mudah dilacak”. Untuk membayar sogokan, bupati meminta para kepala dinas dan pejabat lainnya menyetor iuran. Seorang kepala bagian sampai harus meminjam deposito ibunya buat keperluan ini. Dengan tambahan dari kocek sang bupati, terkumpullah duit yang disepakati.

Tugas berikutnya: mengantar duit ke Andi Rahmat. Bupati menunjuk seorang anggota staf, yang saking ketakutan mengganti nomor teleponnya berkali-kali. ”Ia takut tersadap KPK,” kata sumber Tempo. Toh, ia sukses menjalankan misi. Dengan beberapa kali komunikasi, duit bisa diserahkan di sebuah mal di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Jasa Andi juga ditawarkan kepada seorang kepala daerah dari kawasan timur Indonesia. Menurut kepala daerah ini, tawaran Andi ditolak karena ia sudah menggunakan jalur partai lain. ”Waktu itu saya dan Andi tak sengaja ketemu di satu mal. Eh, dia langsung menawarkan bantuan,” ujarnya.

Walau enggan berkomentar banyak, Andi Rahmat membantah tegas kabar ini. Ia mengaku sebutan calo anggaran tak pas diarahkan untuk posisinya sebagai anggota Dewan. ”Kewajiban saya menurut undang-undang mengadvokasi semua kepentingan publik yang terwujud dalam politik kebijakan anggaran,” katanya.

Kewajiban memberi uang muka ini biasanya berekor panjang. Bupati umumnya telah mengikat kesepakatan dengan pengusaha sponsor yang kelak akan memperoleh proyek. Tender yang dilakukan pun hanya formalitas. Pengusaha itu pun mengikat kesepakatan: akan membagi sebagian keuntungan pengerjaan proyek untuk kepala daerah. Dari uang inilah utang kepada kepala dinas atau pejabat yang menyetor iuran ditutup. ”Kami ini sebenarnya korban,” kata seorang wali kota, menggambarkan posisinya berhadap­an dengan anggota Dewan.

Pramono, Fanny Febiana, Tito Sianipar (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung)


Kamus Gaul Bahasa Senayan

Layaknya operasi kejahatan, banyak kode buat menyembunyikan transaksi gelap di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kode ini umumnya hanya bisa dipahami sesama anggota Dewan—walau orang lain sebenarnya bisa menduga maknanya.

Kode antar anggota Dewan

Gini-gini aja nih?
—diucapkan kalau tak ada tanda bakal ada kucuran uang.

Lagunya apa, Bagimu Negeri?
—ditanyakan sebelum proyek: ada uang atau tidak. Bagimu Negeri merujuk pada proyek yang tak berduit karena bait dalam lagu itu berbunyi ”Kami mengabdi...”.

Kok puasa terus, kapan bukanya?
—diucapkan kalau tak ada tanda bakal ada kucuran uang.

Hitungannya jago, tambah-tambahan hebat, tapi membaginya kurang pintar...
—menyindir pejabat yang tak pernah membagi duit.

Mana nih air zamzam-nya?
—menanyakan kucuran uang.

Berapa meter kirimannya?
—meter dipakai menggantikan kata ”miliar”.

Kok kuenya pahit, kurang manis nih…
—protes karena jumlah duit yang dibagikan kurang.

Nah, begitu lho, makanannya enak-enak. Kami suka sekali dengan kiriman Anda kemarin...
—puas dengan kiriman duit.

Ada makan siang, mau ikut enggak?
—memberi tahu ada proyek yang akan digarap.

Lagi ketemu pasien
—anggota Dewan sedang bernegosiasi dengan pejabat atau pengusaha.

Kode dari penyetor uang (pengusaha/pejabat)

Kami sudah kirim lima bola, bisa untuk main sama teman-teman
—setoran duit Rp 500 juta.

Ada kiriman buku dari Amerika. Maaf, di dalamnya ada tiket nonton jazz 10 lembar
—ada kiriman amplop berisi US$ 10 ribu.

Alur Anggaran

Mei-Agustus

Pembicaraan pendahuluan tentang asumsi makroekonomi, pokok-pokok kebijakan fiskal, kebijakan umum, dan prioritas anggaran rencana kerja pemerintah.

Konsultasi penyusunan rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga.

Agustus-Oktober

Pembahasan oleh Badan Anggaran

  • asumsi makroekonomi
  • defisit
  • besaran pendapatan
  • besaran belanja, termasuk transfer ke daerah

    Pembahasan oleh Komisi
    alokasi dan penggunaan

    Sidang Paripurna
    penetapan Undang-Undang APBN

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus