Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUASAAN pemerintah terhadap aset sumber daya yang bernilai strategis seharusnya didukung Dewan Perwakilan Rakyat. Maka sikap Komisi Keuangan DPR yang malah menolak rencana pemerintah mengambil tujuh persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara sungguh terasa aneh. Apalagi sikap bertolak belakang ini tampaknya diatur sistematis dan konsisten selama dua bulan terakhir.
Tak ada yang salah dengan keputusan Menteri Keuangan Agus Martowardojo membeli saham produsen emas dan tembaga itu melalui Pusat Investasi Pemerintah senilai US$ 246,8 juta. Angka ini bahkan lebih murah US$ 25 juta dibandingkan dengan harga yang diminta Newmont. Celakanya, keputusan jitu ini malah disambut demonstrasi ribuan warga Kabupaten Sumbawa Barat. Bupati di sana, beserta Gubernur Nusa Tenggara Barat, berulang kali menolak rencana pemerintah pusat ini.
Pemerintah pusat sejatinya memang paling berhak mendapatkan tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara. Dalam kontrak karya yang diteken perusahaan Amerika Serikat itu, diatur soal kewajiban divestasi hingga 51 persen saham. Dalam perjanjian itu secara jelas disebutkan, pemerintah pusat adalah pihak pertama yang harus ditawari pembelian saham tersebut. Jika pemerintah tidak mengeksekusi haknya, baru kemudian pembelian ditawarkan ke badan usaha milik negara, selanjutnya ke pemerintah daerah.
Faktanya, sejauh ini, pemerintah pusat hanya memiliki tujuh persen saham Newmont. Jusuf Merukh, pendiri Newmont, malah sudah mengantongi 20 persen saham. Sedangkan 24 persen lainnya dikuasai PT Multi Daerah Bersaing. Ini perusahaan patungan pemerintah daerah dengan unit usaha Grup Bakrie, PT Multicapital, yang punya 75 persen saham dalam kongsi itu. Multi Daerah rupanya sangat berminat menambah porsi kepemilikannya.
Secara bisnis, memang penting mendapatkan tambahÂan tujuh persen bagi Multi Daerah. Jika misi ini sukses, dan Multi meraih 31 persen, niscaya impian menjadi pemilik mayoritas, dengan 51 persen saham, tinggal selangkah lagi. Tambahan lain bisa diraup dari memborong saham Jusuf Merukh. Dari logika ini, tampaknya tak sulit mengingkari ada tangan-tangan gelap yang berkepentingan menjegal langkah pemerintah.
Tangan itu bisa saja menjangkau para politikus di Senayan. Padahal argumen Harry Azhar Azis jelas mengada-ada. Wakil Ketua Komisi Keuangan ini melarang pemerintah menggunakan anggaran negara untuk membeli saham kecuali seizin Dewan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2008 tentang Pelaksanaan Investasi Pemerintah, tegas diatur soal hak pemerintah melakukan investasi langsung pada aset-aset strategis. Tak satu pun pasal menyebutkan keputusan investasi itu harus seizin DPR.
Muslihat macam ini bukanlah barang baru dalam urusan divestasi perusahaan tambang. Pada 2004, Grup Bakrie sukses mendapatkan 51 persen saham divestasi PT Kaltim Prima Coal, setelah pemerintah akhirnya mundur lantaran tak satu suara tentang siapa yang akan membeli saham perusahaan tambang batu bara terbesar itu. Trik serupa pernah diperagakan saat PT Freeport Indonesia melaksanakan kewajiban divestasi saham.
Menteri Agus Martowardojo tidak boleh mundur selangkah pun untuk meneruskan pembelian tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara. Tidak perlu gentar oleh tekanan dari politikus Senayan. Biar sajalah para pengunjuk rasa beraksi, toh mereka tak melakukan tindakan anarki. Jika pemerintah mundur, berarti membiarkan praktek kotor dalam penguasaan tambang strategis kembali mengalahkan kepentingan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo